/0/6699/coverbig.jpg?v=007114197f84085426e11ce0ddeabca0)
Blurb Cakra adalah pemuda yatim piatu yang sajak kecil diasuh oleh pamannya. Karena kondisi keluarga paman yang kurang baik, bibi pun memarahinya setiap hari tanpa alasan yang jelas. Hingga suatu saat, paman terlilit hutang pada salah satu keluarga kaya dan tak bisa melunasinya. Maka, cakra yang harus menjadi jaminan, dengan menikahi salah satu anak dari keluarga kaya itu. Masalah belum usai, cakra masih harus menerima perlakuan dari mertua yang kurang suka padanya, karena perbedaan kasta.
"Cakra, ini gajimu bulan ini. Kerja dan sekolah juga yang benar. Biar jadi manusia bermanfaat buat banyak orang," Pak Tejo mendekati Cakra yang sudah bersiap pulang, ia mengulurkan tangan berisi amplop putih, tipis. Namun, begitu berarti bagi seorang Cakra.
Ia adalah anak yatim piatu yang berusaha membiayai pendidikannya seorang diri. Setiap hari ia bekerja paruh waktu di rumah makan Sanjaya, sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Pacitan.
Cakra menerima uluran amplop itu dengan mata berbinar. Terkadang ia heran sendiri, bekerja paruh waktu, tetapi mendapatkan gaji lebih dari yang lain.
"Makasih, Pak. Saya janji akan sekolah dengan benar. Sekali lagi terima kasih," ucapnya disertai senyuman hangat. Senyum meneduhkan selalu menghiasi wajah tegas milik Cakra. Pembawaannya yang ramah dan supel itu membuatnya mudah bergaul dengan siapa pun.
"Memangnya, kurang berapa semester lagi kuliahmu?" tanya pak Tejo lagi. Pemimpin rumah makan Sanjaya itu selalu bersikap baik pada semua karyawannya, terlebih kepada Cakra. Namun, Cakra sadar sebagai seorang yatim piatu, mungkin membuat orang-orang menaruh simpati kepadanya.
"Sekarang sudah semester enam, Pak. Setahun lagi saya lulus, doakan jadi lulusan terbaik, Pak," jawabnya sambil menggendong tas ranselnya. Sepulang dari kampus tadi siang, ia memang langsung menuju ke tempat kerja.
"Oh, ya pasti. Anakku dulu juga lulusan terbaik. Setahun lulus dari sekolah, tes CPNS langsung lolos," celoteh pak Tejo. Ia merasa bangga menceritakan anak lelakinya yang saat ini hidup enak dengan menjadi pegawai negeri di luar daerah.
"Wah, nasibnya bagus banget ya, Pak?" tukas Cakra
"Tapi ya harus pinter dulu, kan, biar bernasib baik?"
"Hehe ... iya, Pak. Ya sudah, saya pulang dulu," kata Cakra dengan sopan.
"Iya," Pak Tejo menjawab sambil tersenyum bangga, melihat punggung menjauh itu. Pegawai yang terbilang baru, tetapi memiliki disiplin kerja cukup tinggi.
Di luar, Cakra naik ke atas motor butut yang ia beli setahun lalu dari salah satu temannya. Dengan motor itu, ia membelah jalanan ramai malam hari, menuju kediaman rumah Pamannya yang terletak di dekat pasar Arjowinangun.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di depan rumah Pamannya itu, ia mengarahkan motor memasuki halaman berpagar besi setengah badan. Suasana di luar masih ramai, tetapi rumahnya itu telah sepi. Mungkin Paman dan Bibi telah tertidur, pikirnya.
Ia membuka pintu depan, mendapati ruang tamu yang gelap. Meyakinkan dugaannya, bahwa semua orang di rumah ini telah tertidur. Memang yang ia tahu, selama ini paman dan bibinya akan tidur lebih awal, dan bangun tengah malam untuk memasak nasi pecel dan lainnya. Usaha sang Bibi yang digelutinya selama ini.
Cakra menuju ke dapur karena merasa tenggorokannya mengering, "Baru pulang, Mas?" Mata berat menahan kantuk, terpaksa kembali melebar karena sapaan tiba-tiba di dekat pintu menuju dapur. Seketika lampu menyala, menampakkan wajah sepupu, menatap dengan pandangan tak suka.
"Iya. Memang aku selalu pulang malam, kan?" Cakra menyahut santai.
"Yang penting jangan sampai lupa sama tugas malammu di sini," Seloroh Anggara. Sirat matanya penuh kebencian yang tak pernah Cakra tahu apa sebabnya. Hanya satu kemungkinan yang ia duga, karena selama ini selalu menumpang hidup di rumah itu.
"Tuh! Tau, kan?" Anggara menunjuk ke arah dapur, perabotan kotor menumpuk di sana.
"Iya. Memang sudah jadi tugasku."
"Bagus kalo paham!" seru Anggara sambil melenggang pergi. Bukannya ke kamar, pemuda itu malah keluar entah kemana. Membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Sudah sedewasa itu, tetapi belum mengenal pekerjaan apa pun, kecuali nongkrong hingga larut malam. Tak peduli bagaimana orangtuanya bersusah-payah mencari uang untuk kebutuhan hidup dan pendidikannya.
Cakra melanjutkan langkah menuju dapur. Di sana, setiap malam tumpukan perabotan kotor selalu setia menunggu kepulangannya. Mungkin memang ia satu-satunya petugas cuci piring di rumah ini. Bahkan sebanyak itu, seperti bekas makan sejak tadi pagi tetap dibiarkan begitu saja. Hingga ia pulang kerja. Tak peduli lagi bagaimana lelahnya akibat beraktivitas seharian penuh.
Mengingat kondisinya yang hanya menumpang hidup orang rumah ini sejak kecil, ia tak ingin ribut. Segera menyelesaikan pekerjaan meski rasa lelah membuat matanya berat.
Krumpyang!
"Haduh, gelas kesayangan Bibi, pecah?" Seketika matanya melebar, menyadari kesalahan fatal yang dilakukan tanpa sengaja.
"Apa lagi yang kau pecahkan?!"
Sebuah suara melengking, membuat Cakra menoleh. Di belakang, ternyata sang bibi telah berdiri sambil berkacak pinggang. Wanita itu mendekat, dan membeliak ketika melihat gelasnya pecah.
"Gelasku!" pekiknya, "Kamu bisa kerja nggak, sih?!"
"Maaf, Bi. Aku udah ngantuk banget, jadi ya nggak sengaja," jawab Cakra tenang.
"Makanya, jangan terlalu malam kalo pulang!" hardik sang bibi. Masih juga belum mengerti alasan Cakra setiap hari selalu pulang malam, dalam kondisi badan letih. Meski beberapa kali ia memberikan penjelasan, tetapi selalu salah di mata wanita galak itu.
"Iya. Maaf," jawab Cakra.
"Maaf ! Maaf saja terus, awas kalo ada yang pecah lagi!"
"Iya, Bibi."
Setelah punggung itu menjauh dari arah dapur, Cakra kembali berkutat dengan tumpukan cuciannya. Harus selesai secepatnya, agar bisa tertidur, dan besok bisa bangun pagi. Karena biasanya, setiap pagi sebelum berangkat ke kampus ia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Layaknya pembantu rumah tangga.
Jam setengah sebelas malam, Cakra baru bisa merebahkan badan remuknya. Diatas ranjang tua beralaskan kasur lantai, yang entah kapan ia membelinya waktu itu. Kamar sempit yang biasa ia tempati itu, berbeda jauh dari kamar paman dan bibinya. Juga kamar Anggara yang terbilang mewah.
Namun, lagi-lagi ia tak pernah mempermasalahkannya. Ia sadar betul posisinya saat ini, hanya yatim piatu yang diasuh oleh sang Paman.
Cakra terlelap sangat pulas, akibat raga yang setiap hari diporsir. Hingga tak menyadari bahwa hari telah berganti.
Byur!
"Akh! Apa-apaan ini?"
"Kamu yang apa-apaan! Sudah siang begini masih enak-enakan tidur. Dasar pemalas! Kamu nggak pernah mikir, gimana Paman dan Bibimu ini banting tulang siang dan malam. Untuk cari makan buat kamu!"
Suara uring-uringan itu memang sudah menjadi kebiasaan di rumah itu. Namun, diguyur air karena bangun kesiangan sepertinya baru kali ini. Seketika Cakra melompat dari atas tempat tidur, sibuk menyeka air berbau tak sedap yang baru saja mengguyur wajahnya.
"Maaf, Bi. Aku kesiangan," ucap Cakra tergagap.
"Lihat, jam berapa sekarang?" Teriak Bibi menunjuk ke arah jam dinding, sudah jam tujuh pagi. Cakra membelalak.
"Jam tujuh? Aku pasti telat," gumamnya.
"Paman dan Bibimu sudah bangun sejak tengah malam, sampai sekarang belum istirahat. Kamu malah enak-enakan molor. Ingat, ya. Jangan berangkat sebelum semuanya beres!"
"Iya, Bi,"
"Buk, jangan kasar-kasar sama anak yatim. Nanti kalo kualat, gimana?" Tiba-tiba Paman sudah berada di antara mereka. Melerai, meski tak pernah berhasil. Karena tak pernah menang melawan mulut judes sang istri.
"Terus saja, Bapak bela anak itu. Sampai kita nggak punya apa-apa lagi karena memenuhi kebutuhannya!" seru bibi, membuat paman Karwo terdiam seribu bahasa.
Paman dan Cakra bergeming, saat Bibi hendak pergi dari kamar itu. Namun, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh, "Kamu harus ganti gelasku yang kamu pecahkan semalam!" tegasnya.
"Iya, Bi. Ini sekarang saja, mumpung saya lagi ada uang," Cakra menyahut sambil membuka amplop yang tergeletak di atas meja sejak tadi malam. Bibi pun mengernyit, ia berjalan mendekati pemuda itu lagi.
"Banyak uang kamu rupanya," gumam Bibi sambil merebut beberapa lembar yang sedang di pegang Cakra.
"Bi. Memang harus sebanyak itu?"
"Iya. Memang kenapa?" Belum sempat ia menjawab, bibi telah menghilang dari balik pintu kamar. Cakra menghela napas berat, sejenak menoleh ke arah sang Paman yang menyentuh lembut pundaknya.
"Sabar ya, Cakra."
Aku dan kakak lelakiku telah sama-sama berkeluarga. Rumah kami pun berdekatan. Sudah sejak lama, kakak ipar dan suamiku merantau di ibu kota. Aku mengabaikan kedekatan mereka, karena memang saudara ipar. Namun, saat mereka pulang bersama dan terlihat makin dekat. Aku dan kakakku mulai curiga. Benarkah kecurigaan kami itu?
Rumor menyatakan bahwa Fernanda, yang baru kembali ke keluarganya, tidak lebih dari orang kampung yang kasar. Fernanda hanya melontarkan seringai santai dan meremehkan sebagai tanggapan. Rumor lain menyebutkan bahwa Cristian yang biasanya rasional telah kehilangan akal sehatnya dan jatuh cinta pada Fernanda. Hal ini membuatnya jengkel. Dia bisa menolerir gosip tentang dirinya sendiri, tetapi fitnah terhadap kekasihnya sudah melewati batas! Lambat laun, ketika berbagai identitas Fernanda sebagai seorang desainer terkenal, seorang gamer yang cerdas, seorang pelukis terkenal, dan seorang raja bisnis yang sukses terungkap, semua orang menyadari bahwa merekalah yang telah dibodohi.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?