/0/6109/coverbig.jpg?v=20250120174959)
Aku dan kakak lelakiku telah sama-sama berkeluarga. Rumah kami pun berdekatan. Sudah sejak lama, kakak ipar dan suamiku merantau di ibu kota. Aku mengabaikan kedekatan mereka, karena memang saudara ipar. Namun, saat mereka pulang bersama dan terlihat makin dekat. Aku dan kakakku mulai curiga. Benarkah kecurigaan kami itu?
"Ayo, Buk. Buruan berangkat. Aku dah gak sabar pengen ketemu Bapak," Teriak bocah lelakiku yang masih berusia tiga tahun. Sudah sejak semalam anak itu terus menerus merengek, tak sabar ingin segera menjemput kepulangan Bapaknya di Terminal bus Pacitan.
Sudah dua tahun Mas Tirta merantau ke Malaysia, mengadu nasip untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami ini. Sejak Bagas baru berusia satu tahun, anak kecil itu harus rela berjauhan dengan Bapaknya. Mereka hanya sesekali bercengkrama lewat video call.
Lalu, tiga hari lalu. Ketika Mas Tirta mengabarkan kepulangannya, Bagas tiap saat selalu merengek. Bertanya kapan bapaknya akan tiba di rumah. Puncaknya adalah tadi malam, Mas Tirta memjnta kami untuk menjemput di Terminal bus.
Karena kebetulan, ia pulang berbarengan dengan Mbak Kirana, istri kakakku satu-satunya. Mas Catra. Yang setahun belakangan ini bekerja di Ibu kota. Entah karena apa, sebelum ia pergi ke sana, yang kutau sesekali terdengar pertengkaran antara mbak Kirana dan Mas Catra. Mungkin karena keadaan ekonomi yang belum stabil, hingga akhirnya Mbak Kirana memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Karena Mas Catra tidak mungkin Jauh-jauh dari rumah, keahliannya sebagai tukang kayu sering kali membuatnya kewalahan. Akibat saking banyaknya orang memesan meja kursi dan lainnya.
Maka hari ini, aku dan Bagas. Juga Mas Catra dan anaknya telah bersepakat untuk menjemput pasangan kami yang baru pulang dari perantauan. Kami meminta bantuan tetangga yang telah memiliki mobil, untuk mengantarkan kami ke Terminal.
"Ayo, Buk!" Suara Bagas lagi, ketika aku masih memasang cardigan dengan terburu-buru. Lalu segera menyusul bocah yang sudah bersemangat itu, menuju mobil di halaman.
"Pak De udah datang belum?" Tanyaku memastikan.
"Udah, kok. Tuh, Pak De sama Mbak Mega nunguin di depan." Tunjuknya ke arah luar, ketika tangan mungilnya kugandeng melewati pintu depan dan menguncinya.
"Mbak!" Anak lelakiku berseru. Berhambur ke arah Mbaknya yang hanya berselisih satu tahun saja. Sejak kecil mereka terbiasa main bersama karena rumah kami yang memang berdekatan.
Ia mendekat sepupunya yang sudah berlonjak kegirangan. Berebut masuk mobil ketika Pak Anding membuka pintunya.
"Pelan-pelan, masuknya gantian," Ucap Mas Catra. Pria penyabar itu terkadang menemani dua bocah balita ketika aku sedang repot, atau pergi ke pasar. Begitu juga jika Mas Catra sedang ada panggilan kerja, anaknya akan dititipkan di rumahku.
Saking seringnya bersama, membuat anak kami saling menyayangi satu sama lain. Seperti saudara kandung sendiri.
"Apa mereka sudah sampai di Terminal?" Tanya Mas Catra ketika kami sudah berada di dalam mobil yang melaju kencang. Sementara anak-anak kami berceloteh riang.
"Mungkin sudah, Mas. Emang Mbak Kirana ndak ngasih kabar?" Tanyaku pada Mas Catra. Ia hanya menggeleng, "cuma tadi pagi, katanya sekitar jam tiga sore nyampai terminal," Jawabnya langsung menunduk. Aneh sekali, istri pulang kok wajahnya ditekuk? Tanyaku dalam hati. Namun, tak sampai hati menanyakan. Mengingat, pertengkaran yang kerap terjadi di antara mereka.
Pikiranku kembali ketika benda pipih dalam tas berbunyi nyaring. Nama Mas Tirta memenuhi layar. Sebelum menekan tombol hijau, terlebih dahulu kuarahkan layar itu pada Mas Catra. Agar ia tau, yang ditunggu mungkin sudah tiba di terminal.
"Iya, Mas?" Sapaku pada suami di seberang telepon.
"Udah berangkat, belum? Aku sama Mbak Kirana udah di Terminal ini," Suara Mas Tirta timbul tenggelam karena riuhnya suara di sana.
"Iya, Mas. Kami sudah perjalanan, sebentar lagi sampai kok," Jawabku menenangkan Mas Tirta yang sepertinya sudah lelah. Perjalanan jauh mungkin saja membutuhkan untuk segera merebahkan badan.
"Ok. Tak tunggu, ya,"
"Iya, Mas," Jawabku menenangkan sebelum sambungan telepon itu terputus. Lalu menengok ke arah Mas Catra yang memasang muka penuh tanya.
"Mereka sudah sampai, Mas," Ucapku penuh semangat. Jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan belahan jiwa yang telah sekian lama berpisah.
Mobil mulai memasuki gerbang tinggi bertuliskan Terminal bus kota Pacitan. Anak-anak langsung meloncat dari tempat duduknya, mengintip keadaan luar melalui kaca jendela mobil. Begitu semangatnya mereka menyebutkan satu persatu mobil dan bus yang dilihatnya. Maklum saja, anak desa yang baru beberapa kali menginjakkan kaki di daerah kota.
Apalagi, ketika mobil berhenti di depan orang dirindukan. Tangan mungilnya melambai-lambai dan berteriak memanggil orang terkasih. Pak Anding membuka pintu mobil, mereka langsung meloncat girang. Berlari menubruk masing-masing orang yang ditunggu kedatangannya selama ini.
Mas Tirta memeluk erat anak lelakinya, serta menciumnya beberapa kali. Lantas menatap ke arahku, ketika aku berjalan mendekat, dengan menerbitkan senyum manis penuh kerinduan mendalam.
"Mas," Ucapku. Mengulurkan tangan, menyalami dan menempelkan punggung tangannya pada hidung dan kening ini. Tak ada kata terucap, hanya memperlama menggenggam tangan kokoh itu. Mewakilkan sejuta ungkapan rindu mengungkung jiwa.
Apalagi melihat senyum pada wajah tegas berhias bulu halus tumbuh di dagu dan bawah hidung mancung. Wajah yang selalu membuat hati ini kian meleleh, enggan melirik yang lain. Ah, mungkin kedengarannya lebay. Tapi inilah aku, wanita setia sehidup semati. Semuanya hanya untuk dia seorang. Semuanya hanya untuk kebahagiaannya.
Iya, meski dari dulu sesekali Mas Tirta memperlihatkan sikap dingin dan datar. Namun, aku selalu luluh dengan rayuan maut ketika ia hendak meminta maaf karena telah membuat kecewa hati ini.
"Kamu, apa kabar?" Tanya Mas Tirta dengan suaranya yang khas di telinga ini.
"Seperti yang Mas lihat, aku baik. Apalagi ketika dengar Mas pulang," Sahutku tak kalah dramatis. Ia mengusap pucuk kepala berambut lurus sebahu ini.
"Kita makan dulu, apa langsung pulang, Mas?" Tanya Mas Tirta pada Mas Catra.
"Langsung pulang saja, kalian pasti butuh segera istirahat," Jawab Mas Catra yang langsung di setujui oleh suamiku.
Setelah membawa seluruh oleh-oleh mereka yang berupa tas besar dan kardus. Kami semua naik kembali ke dalam mobil. Pak Anding membawa kami melaju dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan pulang menuju rumah ini, aku melihat Mas Catra tak banyak bicara dengan istrinya. Meski baru ketemu setelah berpisah setahun lamanya.
Mungkin, mereka tidak terbiasa bermesraan di depan orang lain. Pikirku berusaha tenang. Meski sebenarnya ada yang sedikit mengusik kepala ini. Sejak tadi, Mas Tirta dan Mbak Kirana sesekali saling menatap dan tersenyum tipis, nyaris tak terlihat jika orang belum terbiasa di dekatnya.
Apa itu juga yang membuat Mas Catra enggan berbicara dengan istrinya? Ah, entahlah. Aku menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha menepis pikiran buruk yang bisa saja semakin memperkeruh keadaan.
Toh, tatapan mereka wajar. Tak ada yang aneh, mungkin hanya aku saja merasa aneh. Lagipula tak ada salahnya, jika kepada saudara ipar saling bertegur sapa. Tak ada larangan, bukan?
Kami turun ketika mobil berhenti di depan rumah. Lalu kembali berjalan mengantarkan mas istrinya pulang ke rumah yang terletak hanya dua ratus meter dari sini. Jarak lumayan dekat untuk ukuran dua bersaudara yang telah membina rumah tangga masing-masing.
Di sini aku sekarang, bercengkrama bersama anak dan suami tercinta. Setelah membedah semua oleh-oleh yang dibawa Mas Tirta, kami saling berbagi cerita tentang apa saja untuk melepas kerinduan ini.
Apalagi Bagas, jagoan kami. Tak henti-hentinya lengan mungil itu bergelayut manja di leher Bapaknya. Meski telah beberapa kali aku membujuk untuk melepas Bapaknya supaya bisa beristirahat, yang ada anak itu malah merajuk.
"Bagas, Bapak kan capek. Biar istirahat dulu, ya. Bagas main dulu sama robot barunya ini," Bujuk ku dengan menyodorkan robot baru dari Bapaknya. Akhirnya anak itu mengangguk. Melepaskan leher Bapaknya yang segera bangkit.
Gawai tak jauh dariku itu meraung, nampak ada tanda panggilan. Sekilas dapat terbaca tulisan di layar itu, bernama Kiran. Mas Tirta langsung menyambar gawai itu dan meminta ijin ke depan. Menimbulkan rasa penuh tanya dalam benak ini. Jika benar yang memanggil tadi adalah Mbak Kirana untuk apa?
Kenapa Mas Tirta harus menjauh dariku ketika mengangkat telepon darinya? Jika hanya sekedar bertanya kabar, bukankah dari jakarta mereka sudah satu kendaraan? Karena rasa penasaran, badan ini bangkit hendak memastikan apa yang dibicarakan.
***
Blurb Cakra adalah pemuda yatim piatu yang sajak kecil diasuh oleh pamannya. Karena kondisi keluarga paman yang kurang baik, bibi pun memarahinya setiap hari tanpa alasan yang jelas. Hingga suatu saat, paman terlilit hutang pada salah satu keluarga kaya dan tak bisa melunasinya. Maka, cakra yang harus menjadi jaminan, dengan menikahi salah satu anak dari keluarga kaya itu. Masalah belum usai, cakra masih harus menerima perlakuan dari mertua yang kurang suka padanya, karena perbedaan kasta.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Usia terkadang tidak menjadi patokan buat seseorang bisa berbuat lebih dewasa. Banyak faktor yang memperngaruhinya, termasuk salah pergaulan. Khusus pembaca yang pernah mengalami gejolak hasrat cinta dan birahi masa remajanya, tentu kisahku ini akan sedikit memberikan kesan dan nostalgia terindah masa-masa remajanya. Sengaja disajikan utuh memotret masa beberapa tahun yang lalu, agar siapapun yang pernah merasakan bangku SMA dan dunia perkuliahan, bisa lebih menghayatinya. Namun demikian pada beberpa bab kisah ini hanya cocok buat dewasa karena mengandung adegan dewasa, mohon bijak dalam memilih bab-bab tertentu
Adult content 21+ Farida Istri yang terluka, suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Perasaan tersakiti membuatnya terjebak kedalam peristiwa yang membuat Farida terhanyut dalam nafsu dan hasrat. Ini hanya cerita fiktif. Kalau ada kesamaan nama, jabatan dan tempat itu hanya kebetulan belaka
Ketika mereka masih kecil, Deddy menyelamatkan nyawa Nayla. Bertahun-tahun kemudian, setelah Deddy berakhir dalam keadaan koma akibat kecelakaan mobil, Nayla menikah dengannya tanpa berpikir dua kali dan bahkan menggunakan pengetahuan medisnya untuk menyembuhkannya. Selama dua tahun, Nayla setia, mencari kasih sayangnya dan ingin melunasi utang budinya yang menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi ketika cinta pertama Deddy kembali, Nayla, yang dihadapkan dengan perceraian, tidak ragu untuk menandatangani surat perceraian. Meskipun dicap sebagai barang bekas, hanya sedikit yang tahu bakatnya yang sebenarnya. Dia adalah seorang pengemudi mobil balap, seorang desainer terkenal, seorang peretas jenius, dan seorang dokter ahli. Menyesali keputusannya, Deddy memohon pengampunannya. Pada saat ini, seorang CEO yang menawan turun tangan, memeluk Nayla dan menyatakan, "Enyah! Dia adalah istriku!" Terkejut, Nayla berseru, "Apa katamu?"