/0/5265/coverbig.jpg?v=687ac4d8b847490ad4dc9de61492af46)
Carissa harus melewati hidupnya yang pahit di rumah pamannya sendiri.
Carissa menundukkan wajahnya, tak mau menatap wajah ibunya lantaran keputusan yang akan mereka buat saat ini. Bagaimana dia akan meninggalkan rumahnya karena rumah yang telah ia tinggali selama lima belas tahun disita oleh pihak bank karena utang ayahnya.
Ayahnya yang tak sanggup membayar utang tersebut hanya pasrah dan meminta pengertian pada istri dan anaknya untuk mau tinggal sementara waktu di rumah paman mereka yang termasuk dalam keluarga berada.
Berbeda dengan ayahnya, pamannya adalah orang kaya di mana memiliki sebuah toko furniture yang sudah besar dan banyak cabang di Indonesia.
"Ayah mohon Ris," pinta ayahnya pada Carissa.
"Tapi Yah, itu artinya Carissa akan meninggalkan rumah ini dan sekolah juga?" tanya Carissa masih dengan mata yang basah. Dia tak ingin meninggalkan sekolahnya juga teman-temannya yang ada di sekolah saat ini.
"Maafin ayah Nak, nanti ayah pasti akan beli rumah lagi," kata ayah Carissa. Hingga Carissa pun tak bisa menawar lagi. Itu sudah keputusan bulat keluarganya jadi dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dan keesokan harinya mereka sudah tiba di sebuah rumah besar yang jauh dari kata sederhana. Sangat mewah dan terlihat jika pamannya itu adalah benar orang kaya.
Rumah dengan dua lantai, lalu halaman yang luas. Bahkan rumah tersebut ada juga kolam renang di dalamnya.
Carissa memandang ayahnya dari samping. "Kenapa ayah gak pinjam uang dari Paman aja?" tanya Carissa masih tak mengerti.
Padahal bisa saja ayahnya meminjamnya sebentar lalu mengembalikannya nanti.
Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Utang ayah terlalu besar."
"Jadi artinya ayah gak akan pernah bisa membayar utang itu?" tanya Carissa lagi. Dia sendiri yang mengatakan jika utang ayahnya sangat banyak. Jika Pamanya saja enggan meminjaminya jadi mana mungkin dia sendiri akan mampu melunasinya.
Carissa sudah putus asa dengan takdirnya. Mungkin dia bisa keluar dari rumah itu setelah dia sudah bekerja nanti.
Ibunya sudah berencana akan bekerja di toko Pamannya itu sedangkan ayahnya juga sama. Dan mereka akan diberikan gaji oleh pamannya itu sendiri.
Paman Carissa adalah adik angkat ayahnya. Jadi hal itulah mungkin yang membuat ayahnya malu untuk meminjam uang pada Rian, pamannya.
"Udah ayo masuk," ajak ayah Carissa. Langkahnya ragu seakan ia tak akan tinggal lama di rumah itu.
Di dalam rumah itu masih ada seorang perempuan yang tak lain adalah Rossa, anak dari Rian. Ia tidak memiliki ibu saat ini karena meninggal tiga tahun yang lalu lantaran penyakit yang dideritanya.
Pamannya sudah menduda selama itu dan belum memikirkan untuk menikah lagi karena Rossa tak ingin memiliki ibu baru.
Lama menunggu, seorang pembantu membukakan pintu rumah tersebut. Melihat ketiga orang berdiri di depannya, ia langsung tahu jika mereka bertiga adalah kerabat dari majikannya.
"Pak Rian udah bilang tadi pagi, kalau kerabatnya ada yang akan datang," kata pembantu tersebut. Ia kemudian mengajak mereka bertiga menuju ke sebuah ruangan khusus untuk mereka bertiga tempati.
Ruangan yang berada di belakang dekat dengan kamar pembantu.
"Kamar ini sudah dibersihkan, dan kalian tinggal menggunakannya saja," katanya membuka dua pintu kamar satu per satu.
"Carissa mau di kamar ini aja ya Yah!" seru Carissa ia memilih sebuah kamar yang lebih besar dari satunya. Dengan kasur tebal dan juga lemari putih cantik di dalamnya.
Ada sebuah jendela di salah satu sisi kamar, yang jika dibuka maka akan terlihat pemandangan kolam renang rumah tersebut.
Carissa memandang takjub pemandangan itu, jauh sekali dari rumahnya yang kecil yang berada di sebuah gang sempit.
"Kayaknya kamu bakalan betah di sini ya, Ris," kata ayahnya pada Carissa yang sedang melihat ke arah luar jendela.
Carissa diam, dia belum memutuskanya sekarang.
"Ayah dan Ibu akan di kamar sebelah, setelah itu ayah akan pergi sama Ibu ke toko paman kamu ya."
Carissa mengangguk. Dan menatap kepergian ayah dan ibunya menuju kamar yang ada di sampingnya.
Ia kemudian duduk di kasur single itu sendirian. Sambil menatap atap kamarnya yang tinggi. Kamar yang sepertinya akan nyaman untuk ia tempati. Tak akan takut jika hujan lebat turun dan membanjiri kamarnya.
Carissa lalu membaringkan tubuhnya. Rasanya sangat lelah setelah berada di perjalanan selama enam jam di dalam mobil. Ia memutuskan untuk tidur di dalam kamar itu.
Lama ia tertidur, seperti ada tangan yang menggerayangi tubuhnya. Namun Carissa tak bisa membuka matanya karena terlalu berat. Rasanya seperti tindihan-tapi bukan itu.
Ia kemudian membuka matanya dengan napas terengah-engah dan keringat yang mengucur di sekitar wajahnya.
"Cuma mimpi," kata Carissa pelan. Ia melihat jam di dinding dan sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah dua jam dia tidur di dalam kamar itu.
Kemudian ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya, lalu beranjak menuju dapur dan melihat seorang perempuan yang tak lain adalah Rossa. Anak yang seumuran dengannya.
"Udah bangun Ris," sapa Rossa sedang memakan makanannya bersama dengan seorang pria yang tak lain adalah ayahnya.
"Udah bangun?" Pria itu tersenyum pada Carissa, senyum yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia sudah lama tak bertemu dengan pamannya Rian sejak sepuluh tahun terakhir. Yang artinya dia sudah tak bertemu dengan pamannya itu ketika ia berumur lima tahun.
"Udah Paman," jawab Carissa.
"Sini makan bareng," ajak Rian pada Carissa. Dan karena Carissa lapar dia langsung berjalan saja ke meja makan yang lengkap dengan makanan yang sangat lengkap empat sehat lima sempurna.
"Udah lama kita gak ketemu, kamu udah gede ya." Pamannya menatap Carissa yang duduk di depannya.
"Ya iyalah Pa, Ocha sama Rissa kan seumuran," sahut anaknya.
"Iya juga ya." Rian tersenyum.
"Makan yang banyak Ris, ayah sama ibu kamu pulang masih nanti malam, jadi kamu jangan khawatir. Kamu bisa main sama Ocha, kalian kan seumuran jadi pasti nyambung."
Carissa hanya mengangguk lalu melahap makanannya.
"Papa mau ke mana abis ini?" tanya Rossa pada Rian.
"Tidur siang, Papa ngantuk."
Dalam hati Carissa sepertinya enak menjadi Rian, pamannya. Pulang dari toko kapan saja dan setiap bulan dia bisa menerima banyak uang dan tak perlu bersusah payah.
"Kalau gitu Ocha mau berangkat les abis ini, Ris ntar sepulang les aja ya kita mainnya. Aku ada les soalnya," kata Rossa.
"Iya santai aja Cha."
Carissa tersenyum kaku, mereka berdua hidup dalam gelimang harta tapi tidak pada keluarganya. Rasa iri itu muncul dari dalam hati Carissa saat ini.
Ia kembali masuk ke dalam kamarnya karena tak tahu harus melakukan apa saat ini.
Dia masih bingung dengan keadaan yang tiba-tiba berubah drastis seperti ini. Menjadi seseorang yang menumpang hidup di rumah orang lain.
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Cerita tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, menembus gerbang keperjakaannya, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik. Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Namun Kino mempunyai hal yang menarik yang dalam cerita ini lebih menarik dari cerita fenomenal lainnya.