/0/4652/coverbig.jpg?v=d65af4827065cd698cb613fd3cd492d3)
Prastu menemukan seorang wanita tergeletak di trotoar. Wanita itu bernama Erika Hana, seorang manager yang bekerja untuk sebuah industri makanan. Karena janji orang tua keduanya di masa lalu, mereka terpaksa harus bertunangan tanpa cinta.
Wanita itu masih berbaring di tempat tidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku menemukannya tergeletak di trotoar dalam perjalanan pulang dari kedai mie ayam milikku. Aku tidak kenal wanita itu sama sekali. Mungkin dia terlalu banyak minum alkohol namun kalau kuperhatikan wajahnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti wanita pemabuk atau wanita yang bekerja di klub malam.
Aku tidak bermaksud buruk terhadapnya, hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu wanita itu supaya tidak kedinginan di luar sana saat hujan begini. Bajunya sudah ku ganti dengan yang kering. Meski ukurannya kebesaran, setidaknya dia tidak akan masuk angin karena mengenakan baju yang basah.
Sambil menunggunya bangun, aku menyibukkan diri bermain playstation. Memasang semua kabel penghubung ke smart TV. Logo produsen muncul begitu kutekan tombol pada remote. Selanjutnya, aku menekan tombol untuk menghubungkan ke playstation. Menu game kemudian muncul. Sudah lama sekali aku tidak memainkan playstation yang sudah lama kubeli ini.
"Siapa?"
Terdengar suara parau dari belakang.
"Sudah bangun?" tanyaku tanpa menoleh ke sumber suara karena mataku fokus pada layar dan jariku asik menekan konsol.
"Ke ... kenapa aku di sini?"
Aku tidak langsung menjawab. Suara konsol game terdengar lebih menyenangkan.
"Kamu siapa?" tanyanya lagi.
Aku masih tidak memperdulikannya dan fokus pada permainanku. Lalu tiba-tiba saja layar smart TV berubah jadi gelap.
"Aish! Lagi seru, nih!" umpatku.
Wanita itu mengacungkan remote, seakan-akan benda itu adalah senjata. Rambut hitam panjang sebahu wanita itu terlihat lepek dan kusut. Mata sipitnya melebar.
"Kamu siapa? Kenapa aku di sini?"
Aku meletakkan konsol game di lantai, berdiri dan pelan-pelan mendekat. Tatapan matanya awas. Sembari terus mengarahkan remote seperti mengarahkan pistol, dia mundur selangkah-selangkah seiring dengan langkahku yang maju mendekat.
"Bingung?"
"Apa maksudnya itu? Tentu saja aku bingung. Bangun-bangun ada di rumah orang asing!" nadanya mulai meninggi.
"Justru aku yang bingung. Lagian, kamu ngapain tidur di trotoar malam-malam begini? Apa kamu mabuk?"
Aku mendekatkan wajahku lalu mengendusnya.
"Gak bau alkohol sama sekali."
Kaki jenjangnya terus melangkah mundur hingga masuk kembali ke kamar.
Aku duduk di tepi tempat tidur sementara, dia tetap waspada, menjaga agar bagian depan badannya tetap berhadapan denganku.
"Aku mau pulang!" rengeknya.
Dengan santai aku meraih gorden, menyibak nya. Menunjuk suasana di luar, begitu gelap di tengah derasnya hujan.
"Masih hujan deras di luar. Sudah larut malam juga."
"Pokoknya aku mau pulang!"
Degar!
Petir menggelegar di luar sana, bak lampu flash kamera yang memotret objek. Wanita itu merosot ke lantai sambil menutup kedua telinga dengan tangan kurusnya.
"Yakin berani pulang sendiri?" tanyaku sambil menyilangkan kaki.
"Pokoknya aku mau pulang, titik!" bentaknya.
"Oke!"
Aku menarik tangan yang menempel di telinganya, mengantarnya ke pintu kemudian menghempas tubuhnya keluar, mengunci pintu secepat mungkin.
Bukannya bermaksud kasar terhadap wanita tapi, dia sendiri yang merengek ingin pulang.
Degar!
Petir kembali menggelegar di langit dalam waktu sepersekian detik.
"Buka! Buka pintunya!" teriak wanita itu dari luar.
Dia menggedor pintu dengan keras.
"Buka pintunya, woy!"
"Pulang saja sendiri!" teriakku dari dalam.
Bukannya berhenti menggedor pintu, dia malah menggedor semakin keras. Nyaris memecah gendang telinga.
"Berisik! Katanya mau pulang?" bentakku sembari membuka pintu lebar-lebar.
Wanita itu terisak, mengedikkan bahu mendengar bentakanku.
"Masuk!" perintahku.
Dia masuk dengan langkah lunglai, menunduk dan takut. Namun begitu melewatiku yang berdiri memegang pintu, dia berlari ke ruang tamu, duduk di lantai beralaskan karpet berwarna biru muda.
"Merepotkan!" umpatku pada diri sendiri.
Aku melenggang ke belakang konter dapur. Mengambil gelas kaca lalu memenuhinya dengan cairan berwarna bening dari dispenser. Aku membawanya ke hadapan wanita itu.
"Tenang dan minum dulu!"
Gemang, tangan wanita itu merebutnya dengan kasar, nyaris tumpah namun diteguknya juga cairan berumus kimia H2O itu, habis dalam sekali teguk bak seorang kelana dari gurun pasir yang menemukan oasis.
Aku bersila berhadapan dengannya di atas karpet.
"Jangan dekat-dekat!" bentaknya.
Aku mengusap wajah, mengela napas dan mengembuskannya kasar.
"Mau aku keluarkan lagi atau bagaimana?" Kutatap dalam-dalam matanya yang basah.
Lagi-lagi, dia hanya terisak.
"Aku bukan orang jahat, Nona!"
Dia memeluk lutut.
"Kalau lapar, di atas meja makan ada bubur. Mungkin udah sedikit dingin tapi, masih layak makan, kok. Kamu mau pulang pun gak bisa!"
Derau air di luar sana semakin deras, hujan malam ini tidak akan mereda dalam waktu singkat.
"Besok aku harus tunangan, kalau gak pulang malam ini apa kata orang tuaku nanti?" ucapnya lirih.
"Kalau hujannya sederas ini tidak akan segera mereda. Di luar juga bahaya!" Aku mengingatkan.
"Malam ini boleh pakai kamarku, aku tidur di kamar sebelah," ucapku sembari meninggalkannya yang masih duduk memeluk lutut.
Aku masuk ke dalam selimut putih. Meski mencoba untuk memejamkan mata tetap saja alam bawah sadarku tidak dapat mendorongku untuk masuk ke mimpi. Pikiranku terganggu oleh wajah tirus wanita itu. Dari jendela kamar ini, aku melihat dengan jelas hidung pesek yang mengembang dan mengempis karena menarik napas.
***
Sudah jam setengah dua belas malam, sejak dia merengek ingin pulang aku jadi hanya mengerjap- ngerjapkan mata di atas kasur. Entah sudah berapa posisi yang kucoba untuk memaksa diri ke alam mimpi akan tetapi tetap saja, aku mengkhawatirkannya. Tidak tahan lagi dengan perasan gelisah ini, aku menghampirinya. Posisi duduknya tidak berubah, masih memeluk duduk dan menopang dagunya di atas lengan.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Alih-alih menjawab pertanyaanku dia menangis sejadi-jadinya.
"Eh ... Ssssst!" Aku menempelkan jari telunjuk di bibir. Mencoba menenangkannya.
"Ini tengah malam, bisa-bisa suaramu mengganggu tetangga!" bisikku.
Melihat tingkahnya seperti bocah, aku menepuk pipiku. Entah kenapa aku jadi menyesal membawanya ke sini meski niatku baik.
"Nona, tenanglah!" tegasku sekali lagi.
Mataku berkelana mencari sesuatu untuk menenangkannya lalu, terhenti ketika mataku menangkap bungkus teh hijau di atas konter dapur. Otakku bergerak dengan cepat, memerintah untuk menyeduhkannya teh hijau. Aku kembali padanya dengan cangkir yang mengeluarkan uap, duduk bersila di depannya.
"Minumlah!" Kusodorkan cangkir benda di tanganku kepadanya.
"Ini udah malam, setelah ini tidur, ya!" ucapku kepadanya yang sedang menyeruput teh.
Wanita itu mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat.
"Kamu gak ngapa-ngapain aku, kan?" tanyanya penuh curiga.
"Ngapa-ngapain gimana?"
Sejurus kemudian dia mengerutkan badan. Menyadari dia sudah salah sangka, aku menepuk pipi.
"Huft. Jangan negatif thinking begitu. Aku pilih-pilih kalau soal wanita. Aku gak selera sama wanita yang tiduran di trotoar!" ucapku.
Mata wanita itu kembali memincing. Aku sudah salah sangka karena menganggapnya menerima niat baikku.
"Tapi, kamu itu laki-laki. Tampangmu mesum!"
Seenaknya saja berkata begitu. Benar-benar wanita tidak tahu diri. Padahal aku sudah menolongnya sampai mengorbankan waktu tidurku.
"Masih bagus tampangku saja yang terlihat mesum. Kalau kamu dipungut oleh pria mesum beneran gimana?" umpatku.
Matanya memandangku lurus-lurus, menutup seluruh bagian depan tubuhnya dengan lutut.
"Kalau gak percaya padaku, kamu cuma punya satu pilihan. Keluar!" ucapku.
Dia malah membulatkan mata, ujung bibirnya melengkung turun.
"Di luar sana bahaya malam-malam begini. Kamu bisa ketemu pria hidung belang, begal atau anjing liar."
Melihat wajahnya memucat, aku menghentikan kata-kataku.
"Besok pagi aku akan mengantarmu pulang. Sekarang tidurlah!"
"Bener?"
"Kenapa harus bohong?"
Aku berdiri, sekali lagi memperingatkannya untuk kembali tidur. Ragu-ragu, dia melangkah pelan ke kamarku. Menutup pintu kemudian, aku tidak tahu lagi kegiatannya di dalam kamar kesayanganku itu.
Prima Jayashree, seorang pewaris keluarga Jayashree yang sudah naik tahta menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya, Jayashree Company. Prima dituntut untuk segera menikah dan memiliki pewaris selanjutnya Jayashree Company. Tuntutan itulah yang membawa Prima untuk liburan ke Jepang demi melepaskan rasa frustasinya. Dipandu oleh teman lama yang bekerja di Jepang, Prisma berkeliling kota Tokyo. Di hari kedua tour, Prima membaca sebuah selebaran yang menyewakan keluarga untuk menemaninya. Berbekal bahasa Jepang yang kurang fasih, Prima kemudian menyewa keluarga dengan anggota seorang istri dan seorang anak. Akan tetapi, di hari terakhir penyewaan, Prima berpikir untuk membawa anggota keluarga sewaannya pulang ke Indonesia. Akankah Prima berhasil membawa keluarga sewaan menjadi keluarga yang sesungguhnya meski harus mendustai Sang Ayah?
Novel Ena-Ena 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti CEO, Janda, Duda, Mertua, Menantu, Satpam, Tentara, Dokter, Pengusaha dan lain-lain. Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Pelan tapi pasti Wiwik pun segera kupeluk dengan lembut dan ternyata hanya diam saja. "Di mana Om.. ?" Kembali dia bertanya "Di sini.." jawabku sambil terus mempererat pelukanku kepadanya. "Ahh.. Om.. nakal..!" Perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan pelukanku.. bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk.. kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya.. lalu mencium bibirnya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. "Oh.. Om.." desahnya pelan.
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."