/0/3081/coverbig.jpg?v=9a6e554bcaa7a45079ce24a6f2a592d4)
Aku mau tidak mau harus selalu mendengar ucapan pedas Mbak Rusmi. Kakak satu-satunya yang aku tumpangi rumahnya. Ucapannya memang pedas seperti sambal cabe satu kilo. Mau gimana lagi, Mas Rian suamiku belum mampu membeli rumah. Ayah ibu sudah meninggal. Rumahnya dijual untuk menutup utang yang di tinggalkannya. Tinggal di rumah orang tua Mas Rian juga tidak mungkin. Mas Rian bukan anak bontot. Rumah orang tuanya sudah pasti akan ditinggali Dion adik Mas Rian yang terakhir. Dan katanya Dion akan menikah bulan depan.
"Mah, masa ya Mas Dandi sekarang ngasih uang harian ke aku cuma seratus ribu, mana cukup kan?" Aku tau Mbak Rusmi pasti sedang menyindirku.
Aku terdiam. Mbak Rusmi lanjut berkata "Haduh stress aku mah, mana sekarang nda bisa ke salon" tangannya memegang kepalanya. Terlihat seperti orang sangat tertekan. Aku menggelengkan kepalaku.
"Mbak tu harusnya bersyukur lima puluh ribu tiap hari buat kebutuhan pokok ya cukup to mba, bukan bermaksud membandingkan nih mba, aku di kasih Mas Rian lima puluh ribu sehari. Itupun masih sisa Mbak" jawabku sambil tersenyum. Berharap Mbak Rusmi sedikit lebih bersyukur.
Ya aku dan Mas Rian memang tinggal di rumah mbak Rusmi. Namun kami tetap membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Bahkan kadang aku melebihkan uang belanja dari yang seharusnya. Terkadang juga aku membeli lauk tanpa patungan dengan Mbak Rusmi untuk di makan bersama.
"Bilang aja ngga cukup Mah, orang kamunya aja yang mau di kasih segitu"
"Kalau buat keperluan pokok aja ya cukup mbak, paling kan sehari beras, sayur sama bumbu masak to.." jelasku.
"Alah kamu aja yang mau di kasih uang cuma segitu. Jadi istri jangan nurut terus dong Mah, kali kali minta apa ke suami gitu. Coba tampil cantik, pikirin penampilan kamu. Jangan polos polos gini aja, coba di poles dikit. Siapa tau nanti jatah harian kamu akan nambah" celotehnya.
"Ya jadi istri kan emang nda boleh nuntut suami to mba, harus bersyukur pemberian suami"
Aku memang berpenampilan apa adanya. Hanya mengenakan kerudung untuk menutupi auratku. Goresan goresan make up apalah itu, aku tidak ingin memakainya. Menurutku sudah nyaman seperti ini.
Berbeda dengan Mbak Rusmi. Tiap harian riasan riasan make up selalu menghiasi wajahnya. Rambutnya terkadang di urai dan kadang di kuncir seperti ekor kuda.
"Udahlah cape ngomong sama kamu, di kasih tau malah bawel," suaranya terdengar kesal. Wajahnya juga terlihat sewot.
Suasana dapur berubah menjadi hening. Mbak Rusmi memotong sayur. Sedangkan aku masih sibuk mencuci wajan.
Rumah Mbak Rasmi inilah tinggal dua keluarga. Mbak Rusmi, Vio anaknya yang kini baru menginjak pendidikan sekolah dasar dan Mas Dandi suaminya di tambah Aku dan Mas Rian suamiku. Sudah beberapa hari aku tinggal disini. Tepatnya setelah aku melangsungkan akad nikah. Ia sendiri yang menawarkan diri. Padahal aku sempat menolak. Tapi ia sedikit memaksa. Rumahnya yang luas dan memiliki dua lantai menjadi pertimbanganku. Katanya banyak kamar yang tidak di pakai. Mereka biasa menepati kamar lantai atas, sedangkan aku dan Mas Rian ditawari untuk tinggal di kamar lantai bawah. Tidak enak menolak terus, akhirnya kami terima tawaran mereka. Lagi pula kami belum mencari tempat untuk mengontrak.
"Eh Mah, kayaknya satu bulan lagi aku lahiran" ia tampak mengelus elus perutnya yang sudah terlihat besar.
"Terus kenapa Mbak ? Alhmadulillah dong mbak kalau sudah mau lahir" Mbak Rusmi sudah sering membicarakan itu. Dan aku sudah tau prediksi bayinya akan lahir.
"Itu.. nanti bakalan rumah ini jadi seperti panti asuhan. Rumah kecil banyak banget penghuninya, belum lagi nanti kalau kamu hamil dan anakmu lahir" pasti Mbak Rusmi punya maksud lain membicarakan ini. Rumahnya aku akui memang besar dan sangat longgar. Di tambah memiliki dua lantai yang disertai dengan balkon.
"Maksud mbak, mbak keberatan aku tinggal di sini ya?" aku mencoba mengklarifikasi apa yang ada di pikiranku. Semoga saja ini salah, batinku.
"Ya kamu harusnya tahulah, eh masa sudah menikah suamimu belum bisa beli rumah.." mbak Rusmi berusaha mengalihkan obrolan. Namun ucapannya juga masih saja pedas menusuk hati. Mana ada istri yang tega suaminya direndahkan.
"Mbak, aku tinggal di sini juga baru dua hari to, dan itu juga mbak yang minta. Mbak tau sendiri gaji Mas Rian yang hanya karyawan kantor tak seberapa. Ini juga masih terus nabung kok mbak, In Syaa Allah Secepatnya mbak"
"Ya kan bisa ngontrak dulu Mah, sampe kapan coba mau numpang terus.. bikin repot." ucapannya semakin pedas. Aku tahu secara tidak langsung ia mengusirku dari rumahnya. Kalau tau ujungnya begini, aku tidak akan pernah menerima tawarannya untuk tinggal di rumahnya. Namun aku lemah dengan ucapannya, aku percaya kala itu selepas pernikahanku ia terlihat serius menawariku, bahkan memaksa.
"Mbak kenapa ngomong ngga keberatan waktu awal aku minta izin tinggal di rumah mba sementara sebelum aku punya rumah. Kalau mbak ngomong kan aku juga ngga bisa cari tempat tinggal di tempat lain mbak. Kemarin juga ini Mbak yang maksa kan supaya aku dan Mas Rian tinggal di sini. Padahal kami sudah mau mencari kontakan."
"Ya kali Mah, kalau aku ngga nawarin dan maksa kamu pas itu mbak akan malu. Lagian kamu ngomongnya pas kumpul keluarga. Mau di taruh di mana muka Mba. Ditambah ada keluarga Mas Dandi dan keluarga suami kamu. Nanti malah mba dikiranya ngga mampu nampung kalian.Ngga ada perhatiannya sama adik" ucapan mba Rasmi semakin pedas.
Aku kadang bingung dengan jalan pikirnya. Bodohnya aku percaya begitu saja. Aku benar benar ia ikhlas menawari kami. Wajahnya sangat terlihat tulus. Aku tidak pernah berpikiran buruk pada kakakku sendiri.
"Mbak, sebelumnya kan mbak sendiri yang nawarin aku tinggal di tempat mba sementara dulu sebelum aku beli rumah. Mba yang ngomong sendiri to, rumah mbak lantai dua dan banyar kamar kosong. Makanya aku berani ngomong ke mba waktu kumpul keluarga waktu itu, untuk memastikan lagi mbak"
"Eh Mah, Kamu gimana si pilih suami. Udah jelas jelas si Ferdi anak konglomerat suka sama kamu. Kamu tolak lagi pinangannya. Dia kan juragan beras.Terkenal di mana mana, siapa coba yang tidak ingin memiliki suami sepertinya. Kalau kamu nikah sama dia kamu juga bakal dihormati kaya ratu sama warga sekitar. Andai kamu waktu itu nikah sama dia pasti nasib kamu ngga kaya gini Mah, sekarang pasti kamu jadi Bu bos. Eh malah kamu milih nikah sama Mas Rian yang kerjanya karyawan nda jelas. Suami masa gini.. ngga ada maju-majunya" bukannya menanggapi ucapanku malah Mbak Rusmi berbicara yang lain. Ucapannya tanpa rasa bersalah.
"Mbak ngga boleh ngomong gitu. Kalau mbak emang keberatan aku tingal di sini tinggal ngomong mbak, aku keluar dari sini secepatnya. Ngga usah bawa bawa si Ferdi dan menghina Mas Rian," aku sungguh tidak terima dengan ucapan Mbak Rusmi barusan. Ini sudah melewati batas. Aku masih berusaha agar suaraku tidak meninggi. Sebisa mungkin aku mengatur emosi.
Mas Rian memang orang yang sabar. Tetapi jika Mas Rian mendengar ucapan Mbak Rusmi kali ini aku yakin ia bakal tersinggung. Aku yang adiknya saja sudah sangat sakit hati. Apalagi Mas Rian yang terang-terangan di rendahkan Mbak Rusmi di depanku sendiri sebagai istrinya, pasti jauh lebih sakit.
Aku mematikan kompor. Aku berniat masuk kamar untuk menenangkan diri. Mataku sudah banjir dengan air mata yang akhirnya berhasil keluar, nyatanya aku tidak kuat menahan pedasnya hinaan mbak Rusmi. Aku berbalik badan. Aku terkejut. Mas Rian sudah berdiri mematung di dekat pintu dapur.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Selama sepuluh tahun, Delia menghujani mantan suaminya dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, hanya untuk mengetahui bahwa dia hanyalah lelucon terbesarnya. Merasa terhina tetapi bertekad, dia akhirnya menceraikan pria itu. Tiga bulan kemudian, Delia kembali dengan gaya megah. Dia sekarang adalah CEO tersembunyi dari sebuah merek terkemuka, seorang desainer yang banyak dicari, dan seorang bos pertambangan yang kaya raya, kesuksesannya terungkap saat kembalinya dia dengan penuh kemenangan. Seluruh keluarga mantan suaminya bergegas datang, sangat ingin memohon pengampunan dan kesempatan lagi. Namun Delia, yang sekarang disayangi oleh Caius yang terkenal, memandang mereka dengan sangat meremehkan. "Aku di luar jangkauanmu."