Ella dan William adalah dua sahabat karib yang terlalu terbiasa bersama sejak kecil, membuat keduanya seringkali kesulitan mendeskripsikan status masing-masing. Terlebih Ella, yang hampir setiap hari harus menahan perasaannya untuk William yang kian hari kian membuncah. William selalu menjadi primadona di mana ia berada, bagaimana tidak, ia adalah seorang anak tunggal kaya raya tampan yang sebentar lagi akan mewarisi perusahaan sang ayah. Tak sedikit perempuan yang terang-terangan menyukai William. Hingga akhirnya hatinya jatuh untuk perempuan bernama Camelia. Meskipun demikian, di mata lelaki itu, Ella adalah perempuan nomor satu dalam hidupnya. Namun, hubungan persahabatan itu akhirnya menyulitkan Ella. Pasalnya, ia selalu dianggap menjadi penghalang hubungan William dengan Camelia. Sedangkan William tak pernah peka dengan apa yang Ella alami, perempuan itu selalu berjuang sendirian. Apakah William akan tetap memegang prinsipnya untuk selalu memprioritaskan Ella? Ataukah kehadiran sosok Camelia membuatnya menjauh dari Ella? Dan bagaimana Ella berdamai dengan perasaannya sendiri yang semakin bulat untuk William?
"Ella, nanti pulang bareng aku lagi, ya?" teriak William dari koridor kantor sambil melambaikan tangan pada sahabatnya, Ella. Sontak pandangan orang-orang di sekitar koridor itu langsung tertuju ke arah Ella, sambil berbisik-bisik ria.
"Ih, itu si FWB nya Pak William ya?"
"Gatel banget tuh cewek, sayang banget Pak Williamnya."
"Kasihan dong calon pacar Pak William?"
Begitulah kira-kira gunjingan demi gunjingan yang sayup-sayup tertangkap telinga Ella. Perempuan itu menghela nafas kasar, lantas berbalik menuju ruangannya dengan menunduk lesu.
Padahal baru dua bulan ia pindah ke kantor baru milik ayah William, sahabatnya sejak kecil. Tapi rumor-rumor menyedihkan itu sudah berkali-kali mencercanya.
Sejak kecil mereka memang selalu bersama, tumbuh bersama berdua, hingga pada akhirnya mereka kesulitan mendeskripsikan status masing-masing untuk satu sama lain.
Mereka memang hanya sahabat, tapi sepertinya juga lebih dari itu. Tapi bukan pacar juga, karena baik William maupun Ella sering berganti pacar sejak remaja.
Bahkan sekarang pun William juga sedang PDKT dengan salah satu rekan kantor. Sedangkan nasib percintaan Ella sedang menggantung karena pacar brengseknya tak bisa ia hubungi berhari-hari.
"Eh kamu mau pulang bareng aku nggak, Ella?" tawar Kinan, salah satu rekan kerja satu divisi yang nampaknya menaruh perhatian lebih untuk Ella.
"Eh sorry Kin, hari ini aku bareng William."
"Lagi?" Tak sengaja Kinan berkomentar, kalimatnya langsung menarik atensi Ella yang sebelumnya merapikan berkas-berkas di meja.
"Apa maksud kamu 'lagi'? Kamu teman baruku yang paling baik disini sejauh ini, Kinan. Aku harap kamu nggak kaya mereka-meraka itu," ucap Ella agak sensitif. Entahlah, moodnya sedang hancur usai bertemu dengan pegawai-pegawai sialan yang menggunjingnya barusan.
"I'm sorry, aku kelepasan bilang gitu. Maaf, Ella," sesal Kinan. Perempuan yang diajak bicara hanya terdiam dan menganggukkan kepalanya, sedikit merasa bersalah juga pada Kinan. Padahal laki-laki itu adalah satu-satunya rekan kantor yang mau mengajaknya bicara tanpa peduli dengan gosip tentangnya.
"Ya sudah, aku duluan ya? Kamu pasti masih nunggu Pak William. Dia ada rapat, kayanya pulang sejam lagi, kan?" tanya Kinan ragu.
"Iya, hati-hati," senyum pun mengembang di wajah cantik Ella, membuat Kinan sedikit lega.
'William rapat lagi? Hmm kenapa nggak bilang?'
---
"Hei, marah?" William mengencangkan sabuk pengaman milik Ella yang diam saja begitu masuk mobil dengan raut muka cemberut. Perempuan itu hanya menggeleng kemudian melihat keluar jendela sambil menyangga dagunya dengan tangan kiri.
"Kamu kenapa? ada yang salah? aku salah?" Lelaki itu bolak balik melihat ke jalanan dan ke arah Ella.
"Enggak, Will. Fokus nyetir aja deh."
"Lagi datang bulan ya? Eh enggak mungkin, jadwal kamu kan tanggal lima belas bulan ini."
Kalimat itu berhasil membuat Ella menoleh kearah William sambil mengerutkan dahinya.
"Kamu bahkan hafal tanggal datang bulanku?"
"Iya dong, kamu kan selalu pengen cuddle tiap tamunya lagi dateng. Kenapa emangnya?"
Ella menggeleng lagi, pikirannya kembali berkecamuk. Benar-benar tak ada hal yang tak diketahui lelaki disampingnya itu tentangnya. William memang sesayang itu pada Ella. Ia akan selalu memprioritaskan Ella diatas segalanya, bahkan dibanding dirinya sendiri sekalipun.
"William, semakin hari semakin ribet aja status kita ini. Kamu mau apa sih, Will?" batin Ella.
Lagi-lagi kalimat itu tertahan di tenggorokannya saja, tak pernah terlontar. Pernah sekali Ella jujur pada William tentang hal-hal yang mengusiknya itu, saat itu mereka masih duduk di bangku SMA dan Ella menjadi bahan bully teman-teman pacar William.
Tapi diskusi itu berakhir sedikit menggantung dengan perjanjian yang mereka simpulkan, bahwa tidak boleh ada diantara keduanya yang saling meninggalkan satu sama lain.
William pun hanya menghujani Ella dengan kata-kata manis penyejuk ragunya saat itu. Mereka berjanji, tidak akan terbawa perasaan dihubungan persahabatan mereka. Tapi kesimpulan itu agaknya tidak membantu sama sekali. Karena Ella sekarang dibuat pusing lagi karena hubungan mereka
"Hei? Ella??"
"Hah? Iya? Kenapa, Will?" Ella gelagapan, terkejut dengan teriakan William.
"Aku dari tadi ngoceh nggak kamu dengerin? Ngelamunin apa sih?" gerutu lelaki berlesung pipi cantik itu.
"Hehe lagi butuh istirahat aja kok. Tadi bilang apa?" Sejujurnya Ella memang butuh istirahat, bukan hanya tubuhnya tapi juga otak dan hatinya tentu saja. Dua bulan sudah ia kerja rodi dibawah perintah atasannya.
"Ini, aku mau mampir ke tempat Camelia dulu. Dia tadi pesen suruh beliin smoked beef di resto dekat kantor, dia bolos kerja hari ini karna sakit katanya."
"Kamu beneran PDKT sama dia?"
"Iyalah, katanya sih dia suka sama aku sejak lama hahaha."
"Hmm" Ella hanya mengangguk, matanya melirik kearah rear vision mirror yang merefleksikan bayangan dari kursi tengah mobil. Dilihatnya satu kotak besar yang ia tebak adalah smoked beef pesanan Camelia, lengkap dengan satu bucket bunga cantik disampingnya.
"Kenapa? cemburu?"
"Nggak," jawab Ella singkat, menimbulkan kerutan di dahi William.
"Kamu beneran nggak marah kan? Aku cium nih kalo marah" enteng William.
"William!! jangan bercanda. Udah, fokus sana!" Tanpa Ella sadari, pipinya merah tersipu. Perempuan itu mengutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Orang udah sampai kok." Lelaki itu menjulurkan lidahnya meledek.
Memang bukan sekali dua kali William tiba-tiba mencium Ella. Bukan di bibir, hanya kecupan singkat di pipi. Sejak kecil, William dan Ella memang sangat touchy satu sama lain, terlebih William.
Tapi tetap saja, naluri Ella berkata itu tidak benar. Setidaknya jika status mereka masih sebatas sahabat semata.
Begitu sampai di rumah gebetan William, lelaki itu turun dan mengambil hadiah untuk sang gebetan.
"Hmm, mau bunga juga," batin Ella.
Lelaki itu menghambur memeluk Camelia yang ternyata sudah menunggunya di depan rumah.
"Harus banget ya nunggu dipinggir jalan kaya gitu? Alay," batin Ella lagi.
Dua sejoli itu mengobrol selama beberapa saat, sesekali menengok kearah Ella. Mata Ella melebar saat melihat keduanya tiba-tiba... berciuman. Ya, Camelia mencium bibir William tiba-tiba. Tapi lelaki itu tak menolak, justru semakin memperdalam ciuman itu.
Hati Ella entah kenapa perih rasanya, ludahnya bahkan tak tertelan, serasa tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa memalingkan wajah sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Maaf, lama," ucap William yang langsung kembali kedalam mobil.
"Kamu lihat? sorry ya" Tangan William mengacak rambut Ella tanpa permisi.
"Apa sih, biasa aja kali. Aku juga sering ciuman sama pacarku. Tapi nggak di pinggir jalan siang-siang juga kali, Will."
"Hehe, maaf. Dia kangen aku katanya." Mendengar itu, Ella hanya merotasikan bola matanya.
"Katanya belum pacaran? Kok udah cium-cium? Apalagi nanti kalo udah pacaran? Bakal ngapain aja kamu?"
"Heh, enggak akan. Kita kan udah janji nggak akan pernah skinship lebih dari ciuman sama pacar kita. Aku akan jaga diri, kamu juga akan aku jaga. Banyak cowok brengsek diluar sana."
"Kamu juga brengsek, Will,"
"Ya tapi kamu kan cowok juga, Will. Sama aja," sinis Ella, tangannya kemudian diraih William yang segera ditepisnya.
"Ih, Ella..."
CUP
Kecupan singkat mendarat di pipi kanan wanita itu. Matanya terbelalak, siap-siap memukul William tapi ditahannya.
"Ih, William... Kan aku udah bilang jangan cium-cium aku lagi"
"Kenapa sih? Sumpah kamu berubah sejak pindah kerja deket sama aku malah nggak mau disayang-sayang" William memanyunkan bibirnya, Ella luluh juga.
"Binggo, that's it."
"Apa? "
"Hah? enggak, lupakan," pungkas Ella.
"Aku capek, Will. Capek jadi bayang-bayang kamu terus," lirihnya dalam hati.
----
Kim Liu, seorang yatim yang hanya tinggal dengan sang ibu-Kim Hyesu-sejak lahir. Ibunya adalah pemilik retoran jepang terkenal di pusat kota Seoul, usaha yang dirintis sendiri sejak muda. Kim Liu memang tak terlahir kaya, tapi keluarga kecilnya selalu hidup berkecukupan karena ibunya adalah seorang yang pekerja keras. Ayahnya adalah Park Sean, yang sudah meninggal saat ia masih berumur tiga tahun. Namun entah kenapa, sang ibu tak mau memakai marga suaminya-Park-untuk nama Liu, dan memilih menggunakan marganya sendiri. Sepanjang hidupnya, Liu tak pernah berkata tidak pada sang ibu, sebesar itulah rasa cinta Liu untuk ibunya. Dari kecil hingga berumur dua puluh lima tahun, Liu selalu menuruti kemauan sang ibu. Mulai dari memilih sekolah, berkuliah di jurusan hukum, hingga menjadi seorang pengacara yang sebetulnya bukan pilihannya sama sekali. Tapi tak apa, toh ibunya adalah satu-satunya orang yang ia miliki, pikirnya. Hingga suatu hari, ibu Liu secara tiba-tiba memintanya melakukan sesuatu yang sangat sulit ia iyakan. Yaitu, menikah dengan anak sahabatnya. Permintaan berat itu tak pernah Liu bayangkan sebelumnya. Pasalnya, kata “menikah” bahkan tak ada di kamus hidupnya. Yang ia ingin lakukan hanyalah bekerja dan menua sendiri bersama ibunya. Sampai akhirnya, terkuaklah penyakit tumor otak sang ibu, membuat Liu semakin dilema. Penyakit tumor otak yang diderita ibunya semakin parah hanya dalam waktu singkat, mau tak mau membuat Liu yang bimbang pun pada akhirnya mengiyakan permintaan sang ibu untuk menikah meskipun dengan sangat terpaksa. Lelaki perjodohan itu bukanlah sembarang orang, ia adalah Jung Jisung. Ialah anak dari seorang konglomerat berdarah Dubai-Korea bernama Jung Taejun, yang menikah dengan artis senior mantan Miss Korea, Stella Kwon. Jisung adalah CEO Utama dari TJ Group yang ada di Korea. Jisung memiliki masa lalu yang cukup kelam. Meskipun di mata dunia ia adalah sosok yang sempurna, sebenarnya ia adalah seorang penderita PTSD yang memiliki trauma besar masa kecil. Ia pernah diculik oleh komplotan warga negara asing yang mengincar harta sang ayah. Jisung pun dibebaskan dengan tebusan sebesar satu miliar won, yang akhirnya menjadi julukan kejam hingga ia dewasa. CEO 1 Miliar Won. Lelaki itu tak pernah bahagia selama 28 tahun hidupnya, ia selalu merasa kesepian. Jisung dibesarkan tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, karena pada dasarnya, ia hanyalah aset keluarga penerus perusahaan satu-satunya. Jisung tak mengenal arti cinta, hubungan sosialnya dengan orang lain benar-benar buruk. Rumor tentang hubungan asmara Jisung selalu menjadi perhatian dunia, hingga tersebar rumor bahwa dia adalah seorang penyuka sesama jenis karena tak pernah terlibat kisah asmara dengan siapapun. Demi mengubur rumor itu, sang ibu-yang kerap dipanggil Nyonya Stella-menjodohkannya dengan anak CEO perusahaan penyiaran Baro TV bernama Song Minseo. Keduanya pun berpacaran, meskipun Jung Jisung tak pernah benar-benar menyukai kekasih pilihan ibunya itu. Namun pada akhirnya, kabar tentang rencana perjodohan Jung Jisung dan Kim Liu pun sampai ke telinga publik. Orang di balik rencana perjodohan itu tak lain adalah Tuan Jung Taejun, ayah dari Jung Jisung. Ia adalah sahabat Kim Hyesu-ibu Liu-semasa bersekolah, yang sebenarnya sejak lama ingin menjodohkan anaknya dengan Kim Liu. Nyonya Stella tak menyukai rencana itu, tapi ia tak punya pilihan lain selain mengiyakan rencana suaminya yang memang selalu bersifat mutlak. Kim Liu dan Jung Jisung pun akhirnya menikah secara tertutup, yang merupakan syarat dari Liu untuk tak mengungkapkan identitas aslinya ke publik. Tapi satu minggu kemudian, ibu Liu pun meninggal dan menyisakan pilu mendalam baginya. Liu akhirnya tinggal bersama Jisung di penthousnya, meskipun tak pernah berbagi ranjang yang sama. Sejak saat itulah, mereka perlahan mulai memahami situasi masing-masing dan belajar tentang kehidupan dari satu sama lain. Kim Liu beberapa kali memergoki trauma Jisung yang seringkali kambuh dan ia selalu ada di sana untuk menenangkannya. Tanpa ia duga, lelaki dengan image sempurna itu ternyata memiliki sisi lemah yang tak orang lain ketahui, membuatnya merasa kasihan dan perlahan membantunya. Jisung yang selalu bersikap dingin dan buta akan cinta juga pelan-pelan belajar dari ketulusan Kim Liu. Meskipun Jisung selalu menganggap Liu adalah gadis bodoh dan ceroboh yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya, namun perlahan hatinya luluh untuk Liu, ia mulai menyukainya. Tapi hubungan mereka tak semulus itu. Song Minseo selalu mengusik keduanya dengan memanas-manasi Nyonya Stella yang semakin hari semakin benci dengan sang menantu, Kim Liu. Hari-hari Liu sangatlah berat, ia harus bekerja sebagai pengacara yang menyembunyikan identitasnya sebagai isteri CEO paling terkenal di Korea, juga harus bertahan dari mertua yang selalu membanding-bandingkannya dengan wanita lain. Masalah Liu bertambah ketika mantan pacarnya kembali mengusiknya. Ia adalah Lee Hyunsik, seniornya di sekolah hukum yang sekarang
Bagiamana rasanya memimpikan gadis asing yang sama selama bertahun-tahun lamanya? Kalau Diwana sudah hampir gila, katanya. Enam tahun sudah Diwana dihantui sosok gadis bergaun biru dalam mimpinya. Mimpi misterius yang selalu hadir dengan alunan gemerincing lonceng dan bau harum semerbak memabukkan. Perempuan dalam mimpinya tak pernah bisa ia ajak bicara, karena tercipta aturan-aturan magis yang membuatnya terbangun begitu ia bersuara atau hanya sekadar menyentuh gadis itu. Diwana kira semua itu hanya delusi, atau kegilaannya semata. Hingga suatu hari, dunianya seakan berhenti berotasi saat ia bertemu seseorang yang memiliki wajah sama persis dengan gadis bergaun biru dalam mimpinya. Kini birunya tak lagi sekadar ilusi gila sang pecandu, tapi ia benar-benar hidup dan bahkan bernafas direngkuhnya. Dia, perempuan dengan sejuta rahasia yang berhasil menguak takdir hidup Diwana satu per satu, bernama Nilakandi.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Bagi lelaki lain, menikahi gadis muda adalah keinginan besar mereka, tapi tidak dengan Rayyan, duda berumur 32 tahun yang di paksa oleh ibunya supaya menikahi Mayra. Mayra gadis berumur 19 tahun dan bekerja sebagai guru PAUD sekaligus pengasuh anaknya Rayyan, Asyifa yang berumur 4 tahun. Asyifa, tidak mau belajar dengan guru mana pun, hingga akhirnya bertemu dengan Mayra yang sangat menyukai anak-anak, hingga akhirnya mereka sangat dekat. Melihat kedekatan Mayra dan Asyifa, Ibunya Rayyan meminta Rayyan supaya menikahi Mayra sebagai ibu sambungnya Asyifa, akankah permintaan ibunya Rayyan terwujud?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Marsha terkejut saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Karena rencana putri asli, dia diusir dan menjadi bahan tertawaan. Dikira terlahir dari keluarga petani, Marsha terkejut saat mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah orang terkaya di kota, dan saudara laki-lakinya adalah tokoh terkenal di bidangnya masing-masing. Mereka menghujaninya dengan cinta, hanya untuk mengetahui bahwa Marsha memiliki bisnis yang berkembang pesat. “Berhentilah menggangguku!” kata mantan pacarnya. “Hatiku hanya milik Jenni.” “Beraninya kamu berpikir bahwa wanitaku memiliki perasaan padamu?” kata seorang tokoh besar misterius.
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.