Umurnya bahkan belum genap 10 tahun ketika ayahnya menyuruh Radif untuk masuk ke dalam pesantren. Anak kecil itu harus melewati suka dan dukanya, bergaul dengan kakak-kakak yang lebih tua darinya. Perjalanan Radif banyak menimbulkan air mata, bisakah ia melewati hari-harinya dengan tenang? Sementara di rumah ia amat di manja kedua orangtuanya.
Selamat membaca!
"Tapi, apa tidak bisa sekolahnya diselesaikan dulu?"
Ini sudah kesekian kali aku mendengar ibuku berbicara seperti itu, membujuk ayahku yang keras kepala agar kembali mempertimbangkan pendirian yang ditetapkannya.
Tentu saja hal itu tidak akan berhasil, bahkan ibuku tidak dapat mengubah keputusan ayahku. Jika sudah A maka A tidak akan berpindah ke B.
Ketika ibuku sibuk membujuk ayah, aku sendiri sibuk menatap langit sembari menghembuskan asap ke udara. Tidak... tidak... aku tidak merokok. Hanya meniup serbuk dari minuman harga 500 rupiah dengan pipet, membentuk asap seolah-olah sedang merokok.
Duduk dengan menjulurkan kaki sebelah kiri sementara kaki sebelah kanan ditekuk dengan gaya sok kejagoan, sementara baju sekolah berwarna putih yang kukenakan lengannya sedikit ku gulung ke atas, menampilkan lengan tanganku yang kurus.
"Selagi masih gratis ini kesempatan kita untuk menyekolahkannya." Ayahku berucap memberi penjelasan untuk kesekian kalinya.
Aku mencabut ilalang yang sedari tadi bergoyang-goyang dengan gerakan mengganggu, membuang sedikit daun-daunnya lalu menggigit sedikit batangnya. Menggoyang-goyangkan dengan gerakan kecil di mulutku, gayaku saat ini persis seperti preman-preman pasar kampungan.
"Tidak bisakah mereka menunggu satu tahun lagi? Atau setidaknya beberapa bulan menjelang kenaikan kelas. Sebentar lagi Radif naik kelas 6, sayang sekali jika harus pindah kesana."
Ibuku masih berusaha. Wajar saja ibuku berusaha membujuk ayah, aku masih duduk dikelas 5 sd dan ayahku ingin memasukkanku ke sebuah pesantren yang kala itu menerima siswa-siswa miskin. Aku bisa bersekolah secara gratis disana.
Sebenarnya bukan itu alasan utama ayahku kokoh untuk tetap memasukkanku ke sana, alasan kedua ayahku sangat bersemangat adalah karena sekolah gratis itu sebuah pesantren.
Keluargaku sendiri sangat ketat dan taat dalam beragama dan menjalankannya, semua kakak-kakakku sekolah di pesantren. Tetapi bukan itu inti dari semua kisah yang kuceritakan saat ini, kakak-kakakku membenci ayahku.
Kala itu, aku tidak tahu apa yang membuat mereka membenci ayahku. Aku sendiri turut membenci ayah kandungku sendiri, mengikuti kakak-kakakku. Wajar karena aku terlahir bungsu dan makhluk paling kecil dirumah itu, makhluk yang selalu mengikuti perbuatan orang-orang sekitar yang lebih tua.
"Kita yang beruntung karena mereka memberi gratisan untuk seluruhnya, tempat tinggal dan biaya makan. Kita yang seharusnya sadar diri, mengapa menyuruh mereka menunggu!."
Nada ayahku mulai naik satu oktaf, pertanda pria bermata coklat dengan jenggot sepanjang jari telunjuk itu sudah mulai marah. Akhirnya yang bisa dilakukan ibuku hanya menghela napas.
Aku sendiri? Memilih kembali menghirup serbuk minuman rasa-rasa seharga 500 rupiah ke udara, memilih tidak perduli dengan yang terjadi.
Meski di dalam hati aku merasa gelisah tetapi tidak mampu membantah omongan Ayah. Lebih dari apapun, aku mencintai ayahku di dalam sudut hatiku. Menghormati setiap keputusannya atas diriku karena entah mengapa aku pikir apa yang ditentukannya untuk kebaikan para anak-anaknya.
Tetapi aku lebih tidak mempunyai nyali ketika mengatakan aku mencintai ayahku di hadapan kakak-kakakku, mereka akan mengejekku dan membulyku.
"Jangan nunggu sampai kenaikan kelas, semua itu sama saja! Disana pun dia sekolah bukan menganggur."
Nada ayahku masih berada di satu oktaf yang sama. "Dari pada menyibukkan diri membujukku sebaiknya siapkan keperluannya untuk masuk pesantren minggu depan!"
Tok! Tok! Tok!
Ketuk palu tiga kali, keputusan ini tidak bisa lagi diganggu gugat.
Ibuku mengehela napas, matanya menatapku dengan sendu. Tidak, aku tidak melihat ibuku karena aku membelakangi mereka berdua.
Tepatnya aku berada di teras terbuka yang langsung bisa melihat langit, sementara kedua orangtuaku berada di ruang tamu dengan keadaan pintu yang terbuka lebar. Mengakses mereka agar dapat melihatku lalu membicarakan tentang kelanjutan sekolahku.
Tatapan sendu ibu yang sedang memperhatikan, aku bisa merasakannya dari punggungku yang memanas. Aku sudah hapal gerak-gerik ibuku, bahkan aku tau sebentar lagi ia akan menyuruhku masuk untuk mengganti baju putih sekolahku yang sudah bewarna kuning.
"Radif, masuk dulu ganti baju. Setelah itu makan siang lalu tidur."
Lihat? Baru saja aku mengatakannya sudah disuruh masuk. Dengan malas-malasan aku bangkit dari dudukku, berjalan dengan gaya lemas lalu
berhenti di meja makan. Sebenarnya tidak bisa disebut meja makan, hanya meja kayu biasa yang digunakan untuk tempat sayur-mayur. Ayahku tidak sanggup membeli meja makan, seandainya sanggup ia memang tidak akan membelinya.
Bukannya menuruti kata ibuku agar membuka baju lalu makan, aku malah berdiri lama di depan lauk dan sayur-mayur yang terhidang. Cukup lama aku berdiri meneliti lauk-pauk yang terhidang, hingga kuputuskan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi. Mencuci tangan hanya dengan air dengan sentuhan yang singkat tanpa sabun, tidak terpikir olehku bahwa kuman-kuman yang berada di tanganku masih menempel.
Pasti ibuku akan merecokiku nanti, tetapi bukan itu intinya. Inti yang sebenarnya adalah, aku tidak tahu apa itu pesantren dan tempat apa itu. Meski semua kakak-kakakku berada di pesantren aku tetap tidak tahu itu tempat apa. Sejak keputusan ayah membawaku ke pesantren terdengar oleh bibiku, ia memberikan 5 buah buku tulis kepadaku
"Ini buku tulisnya, mana tau di pesantren nulis-nulis."
Kala itu aku berpikir, bahwa di pesantren hanya tempat makan dan menginap. Tempat anak-anak nakal sepertiku menetap dengan jangka waktu yang panjang. Aku tidak berpikir bahwa pesantren tempat untuk belajar.
Ibuku sendiri, meski semua kakak-kakakku masuk ke pesantren, beliau malah tidak membelikanku buku tulis. Menganggap 5 buah buku tulis cukup untuk kehidupanku disana. Hanya terfokus pada bekal makananku di sana, seluruh isi tasku makanan yang mendominasi. Takut badan kurusku menjadi tengkorak ketika berada di sana.
"Radif! Tidak dengar ibu bilang apa? Ganti bajunya dulu lalu makan, bukan makan dulu baru ganti baju!"
Aku hanya nyengir, menampilkan wajah tengil khas anak kecil yang nakal.
"Uda bolak-balik dibilangin nggak ngerti-ngerti juga! Itu tangannya kotor habis mengang sepatu, di sekolah pun tadi main guli di pasir-pasiran. Kumannya nempel semua malah makan pula!"
Repetan ibuku akan memanjang teman-teman.
"Uda di cuci itu tangannya!?"
Tanyanya dari kejauhan, meski jauh suara ibuku terasa dekat. Berada tepat di samping telingaku.
"Sudah," kujawab dengan singkat.
"Padahal uda bolak-balik di bilangin, ganti baju dulu baru makan. Nggak bisa juga, kayak mana nanti kalau di pesantren banyak kuman langsung makan. Kuman semua ... Bla ... Bla ... Bla ..."
Aku tidak dapat mendengar ucapan ibuku lagi, panjang sepanjang kereta api yang akan kunaiki minggu depan ketika akhirnya aku pergi ke pesantren. Sebagai seorang anak yang baik, apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut perkataan orangtuaku. Pada akhirnya, semua kenangan tertinggal di belakang badan, aku tidak lagi memiliki kesempatan untuk membawakan upacara bendera pada hari seninnya.
Bersambung...
Hidup yang kau kira hanya bisa menyiksamu, bisa saja dengan sekejap mata berbalik dan berubah. Menjadikan hidupmu lebih baik, bahkan tanpa kau belum bisa menyadari, kehidupanmu menjadikanmu pahlawan. Hidup yang dulu kau caci maki tanpa terasa berjalan dengan cepat dan membuatmu harus menarik kembali caci maki yang pernah kau lontarkan dulu. Hidup yang membuatmu terasingkan, tanpa benar-benar dipahami telah memberimu keramaian dan jauh dari kata 'sepi' yang dulunya selalu menemani harimu. Terserah, percaya atau tidak, hidupmu adalah yang terbaik untukmu, maka dari itu jangan pernah menyesali takdir yang telah tertulis di hidupmu, karena tanpa kau sadari hidup menyimpan alasan kenapa ia membuatmu sengsara dan tak berniat membuka mata di pagi hari.
Melody tahu hatinya berdosa, mencintai pria yang sudah menikah. Bahkan ia sanggup menjadi istri kedua lelaki itu, dan memanfaatkan kesempatan yang diberikan. Hidup hanya sekali, maka lakukanlah kesenanganmu, sekalipun itu merusak kebahagiaan orang lain.
Semua orang terkejut ketika tersiar berita bahwa Raivan Bertolius telah bertunangan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pengantin wanita yang beruntung itu dikatakan hanyalah seorang gadis biasa yang dibesarkan di pedesaan dan tidak dikenal. Suatu malam, wanita iru muncul di sebuah pesta dan mengejutkan semua orang yang hadir. "Astaga, dia terlalu cantik!" Semua pria meneteskan air liur dan para wanita cemburu. Apa yang tidak mereka ketahui adalah bahwa wanita yang dikenal sebagai gadis desa itu sebenarnya adalah pewaris kekayaan triliunan. Tak lama kemudian, rahasia wanita itu terungkap satu per satu. Para elit membicarakannya tanpa henti. "Ya tuhan! Jadi ayahnya adalah orang terkaya di dunia? "Dia juga seorang desainer yang hebat dan misterius, dikagumi banyak orang!" Meskipun begitu, tetap banyak orang tidak percaya bahwa Raivan bisa jatuh cinta padanya. Namun, mereka terkejut lagi. Raivan membungkam semua penentangnya dengan pernyataan, "Saya sangat mencintai tunangan saya yang cantik dan kami akan segera menikah." Ada dua pertanyaan di benak semua orang: mengapa gadis itu menyembunyikan identitasnya? Mengapa Raivan tiba-tiba jatuh cinta padanya?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?