/0/20700/coverbig.jpg?v=101b83e32717f89fc1e0eb3701a6f45d)
Seorang istri yang merasa kesepian karena suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya menemukan kenyamanan dalam pelukan pria lain. Namun, ketika suaminya akhirnya mengetahui, keputusan yang dibuat akan mengubah nasib mereka selamanya.
Matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang lembut ke seluruh ruang tamu. Sarah duduk di sofa, memeluk bantal empuk sambil menatap kosong ke arah jendela. Suara detak jam dinding yang monoton seolah menggema di dalam kepalanya, mengingatkannya akan waktu yang terbuang sia-sia.
"Dimas, kapan kau pulang?" gumamnya pelan, seolah berharap suaranya bisa menembus kesibukan suaminya yang tak pernah ada habisnya.
Ponselnya bergetar, menarik perhatian Sarah. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rina.
Rina: Hei, sayang! Apa kabar? Sudah lama kita tidak nongkrong!
Sarah tersenyum tipis, mencoba meredakan kesepian yang mengurungnya. Sarah: Baik, Rina. Hanya saja... Dimas lagi sibuk kerja. Sepertinya dia tidak ada waktu untukku.
Rina: Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kita bisa bertemu besok!
Sarah mengetik balasan dengan cepat. Sarah: Iya, boleh juga. Aku butuh keluar dari rumah.
Setelah mengirimkan pesan, Sarah kembali terbenam dalam pikirannya. Dia mengingat kembali momen-momen ketika Dimas masih sering menghabiskan waktu bersamanya-berjalan-jalan di taman, menonton film bersama, atau sekadar berbagi cerita sebelum tidur. Namun, semua itu kini terasa seperti kenangan samar yang semakin memudar.
Dari dapur, suara pintu lemari es yang dibuka dan ditutup mengalihkan perhatiannya. Sarah berdiri dan melangkah menuju dapur, berharap bisa menemukan Dimas di sana. Namun, ia hanya menemukan sisa-sisa makan malam yang sudah ditinggalkan.
"Dimas?" panggilnya, suaranya bergetar, harapannya hampir padam.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan.
Sarah membuka lemari, mengambil sekotak es krim dan sendok. Saat dia menyendok es krim pertama, suara kunci yang berputar di pintu membuat jantungnya berdebar. Dimas masuk dengan raut wajah lelah, kemeja yang sudah sedikit berkerut, dan dasi yang sudah dibuka.
"Maaf, sayang. Aku terlambat lagi," katanya, menyapa dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya... menunggu," jawab Sarah pelan, berusaha menahan rasa kecewa yang membara di dalam hati.
Dimas meraih segelas air dan meneguknya dengan cepat. "Tadi ada meeting yang tak terduga. Kau tahu betapa sibuknya proyek ini."
"Ya, aku mengerti," ucap Sarah, meski hatinya merintih. "Tapi aku merasa kita sudah jarang berbicara. Sepertinya kita semakin jauh satu sama lain."
Dimas menghentikan gerakannya, menatap Sarah dengan tatapan bingung. "Kita bisa berbicara nanti, bukan? Sekarang aku benar-benar lelah."
Sarah mengangguk, meski merasa ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Dia ingin berteriak, tetapi suara itu terjebak di tenggorokannya. Alih-alih, dia mencoba tersenyum, berharap itu bisa menutupi luka yang mendalam.
"Baiklah," katanya, suara yang hampir tak terdengar.
Setelah beberapa menit hening, Sarah mencoba memecah kesunyian. "Bagaimana jika kita pergi makan malam bersama akhir pekan ini? Hanya kita berdua."
"Hmm, biarkan aku periksa jadwal kerjaku," Dimas menjawab sambil melihat ponselnya, tidak memberikan perhatian penuh pada Sarah.
"Dimas, aku butuh waktu bersamamu," pinta Sarah, nada suaranya sedikit mendesak.
"Aku tahu, Sarah. Tapi pekerjaan ini penting untuk kita. Aku akan mencoba mencari waktu," jawabnya, kembali menatap layar ponselnya.
Sarah merasa hatinya teriris. "Apa aku tidak penting bagimu lagi?" Dia tidak bisa menahan pertanyaan itu.
Dimas menatapnya dengan kaget, seolah terbangun dari lamunannya. "Tentu saja kau penting. Tapi... kadang aku harus mengutamakan pekerjaan untuk masa depan kita."
"Masa depan?" Sarah mengulang, merasa kata itu hanya hampa. "Kau tahu apa yang aku butuhkan saat ini? Kau ada di sampingku, bukan sekadar berjanji."
Dimas terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan kata-kata Sarah. "Aku akan memperbaikinya, Sarah. Beri aku waktu."
Sarah menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Seperti pasangan yang saling berbagi, bukan hanya sekadar teman serumah."
Dimas meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. "Aku akan berusaha. Maafkan aku jika aku membuatmu merasa terabaikan."
Tapi kata-kata itu terasa seolah mengalir di udara. Sarah merindukan tindakan nyata, bukan sekadar janji-janji kosong. Saat Dimas melanjutkan percakapan tentang pekerjaan, pikiran Sarah melayang pada perasaannya yang semakin mendalam terhadap Arman, teman lama yang selalu ada untuknya.
Dalam keheningan itu, dia tahu bahwa kesepian yang menghimpit hatinya semakin dalam, dan mungkin, hanya waktu yang bisa membuktikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah percakapan yang menegangkan itu, Sarah beranjak dari dapur dan kembali ke ruang tamu. Dia duduk di sofa dengan pikiran yang melayang. Rasa sunyi mulai merayapi jiwa, dan dia merasa seperti berada di tengah lautan tanpa ada harapan untuk diselamatkan.
Sarah meraih ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik pesan untuk Rina. Sarah: Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Mungkin aku perlu pergi sejenak dari semua ini.
Pesan itu segera terkirim, dan dalam beberapa detik, balasan Rina muncul. Rina: Kau bisa! Mari kita bertemu besok. Kita bisa berbicara lebih banyak!
Sarah merasa sedikit lega. Ada harapan kecil untuk mendapatkan dukungan dari sahabatnya. Dia menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Ketika waktu berlalu, pikirannya berputar pada apa yang telah hilang dalam hidupnya.
Suara langkah kaki membuatnya menoleh. Dimas muncul di pintu, terlihat lebih tenang setelah momen canggung sebelumnya. "Aku sudah memikirkan apa yang kau katakan," katanya pelan, duduk di sebelahnya. "Kau benar. Kita harus lebih banyak berbicara."
"Ya," jawab Sarah, suaranya pelan. "Tapi aku merasa kita lebih sering bicara tentang pekerjaanmu daripada tentang kita."
Dimas menghela napas. "Aku tahu, sayang. Kadang-kadang, aku terlalu fokus pada pekerjaan hingga melupakan hal-hal penting di rumah."
Sarah menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Dimas, aku merasa kesepian. Aku merasa tidak ada yang peduli tentang diriku."
"Sarah, itu tidak benar!" Dimas berkata dengan nada lembut. "Aku peduli padamu. Aku mencintaimu."
"Cinta seperti apa yang kau tawarkan ketika kau lebih memilih pekerjaanmu?" Sarah merasa tertekan, dan emosinya tak tertahankan lagi. "Seolah-olah aku hanyalah nomor dua dalam hidupmu."
Dimas terdiam, menatap Sarah dengan penuh penyesalan. "Aku minta maaf jika kau merasa begitu. Aku berjanji akan berusaha lebih baik. Aku akan mengatur jadwal untuk kita berdua."
Sarah menatapnya, berharap ada perubahan nyata. "Tapi bagaimana? Kau selalu memiliki alasan untuk tidak ada di sini. Apakah kita hanya bisa saling berjanji tanpa melakukan apa-apa?"
Satu detik, dua detik-keduanya terdiam, hanya terdengar suara detakan jam dinding. Dimas akhirnya berkata, "Apa yang bisa aku lakukan agar kau merasa lebih diperhatikan?"
"Bisa kita pergi makan malam bersama? Atau nonton film? Sesuatu yang sederhana," pinta Sarah, hatinya bergetar penuh harapan.
Dimas mengangguk. "Tentu. Kita bisa melakukannya akhir pekan ini. Aku akan pastikan tidak ada yang mengganggu kita."
Sarah tersenyum kecil, meskipun keraguan masih menghantui pikirannya. "Baiklah. Aku ingin percaya."
Setelah beberapa saat berbincang, Sarah berusaha mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran. Namun, saat Dimas pergi ke kamar mandi, dia merasakan kepulan rasa cemas menyelimutinya. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengambil ponsel dan membuka kontak Arman.
Sarah: Arman, apa kau ada waktu untuk bertemu?
Tak lama kemudian, pesan itu terkirim dan Sarah menunggu dengan berdebar. Saat Dimas kembali, dia menemukan Sarah memandangi ponselnya dengan tatapan penuh harap.
"Ada apa?" Dimas bertanya, curiga dengan ekspresi Sarah.
"Tidak, hanya pesan dari Rina," jawab Sarah cepat. "Dia ingin bertemu besok."
Dimas mengangguk, tetapi Sarah bisa merasakan ketidaknyamanan di dalam dirinya. Dia tidak ingin menambah beban Dimas, tapi perasaannya terhadap Arman semakin sulit untuk diabaikan.
Ketika Dimas kembali ke sofa, mereka melanjutkan percakapan ringan tentang berita terbaru. Namun, dalam hati Sarah, perasaannya semakin rumit. Dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran Arman dalam hidupnya mulai menjadi pelarian yang nyaman, meskipun dia tahu itu tidak seharusnya terjadi.
Beberapa saat kemudian, Dimas meminta izin untuk melanjutkan bekerja di laptopnya. Sarah memutuskan untuk pergi ke balkon, merasakan angin malam yang lembut menyapu wajahnya. Di luar, bintang-bintang bersinar cerah, seolah menantangnya untuk memikirkan kembali pilihan yang ada di depan.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan pikiran yang berkecamuk. Bagaimana bisa dia merasa terjebak di antara dua dunia? Dengan Dimas, suami yang seharusnya dicintainya, dan Arman, pria yang selalu memberikan perhatian dan pengertian.
Saat ponselnya bergetar lagi, Sarah cepat-cepat melihatnya. Arman: Aku bisa ketemu jam 7 malam besok. Apa kau bisa?
Sarah menatap pesan itu, jantungnya berdebar. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Arman dapat membuka jalan yang tak terduga. Namun, apakah dia siap untuk mengambil langkah itu?
Dengan hati yang berat, dia menjawab. Sarah: Baik, kita bisa bertemu.
Saat dia menekan tombol kirim, dia merasa seolah-olah berada di ambang jurang, siap melangkah maju, tetapi juga terjebak dalam dilema yang mengancam untuk menghancurkan semua yang telah dia bangun.
Ketika malam semakin larut, Sarah kembali ke dalam rumah, berusaha menghadapi kenyataan di depannya-kesepian yang menghimpit dan keputusan yang harus segera diambil.
Bersambung...
Sebuah perselingkuhan singkat selama perjalanan bisnis menghancurkan kehidupan seorang pria yang sebelumnya setia. Satu malam yang dianggap tanpa konsekuensi berujung pada kehancuran pernikahannya dan mengubah cara pandangnya tentang cinta.
Seorang wanita yang merasa pernikahannya mulai dingin menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Namun, ketika perselingkuhan ini mulai terbongkar, ia harus menghadapi dilema antara menyelamatkan rumah tangga atau mengikuti hasratnya.
Seorang pria yang telah menikah lama merasa tergoda oleh cinta baru dari wanita yang jauh lebih muda. Saat rahasia hubungan terlarang itu terungkap, ia menyadari bahwa cintanya yang lama masih lebih berarti daripada yang ia kira.
Seorang pria terjebak dalam cinta terlarang dengan sahabat istrinya. Ketika kedua wanita itu mengetahui kebenaran, pertemanan mereka hancur, dan pria tersebut harus menghadapi konsekuensi dari janji yang pernah ia buat pada keduanya.
Pada hari pernikahannya, saudari Khloe berkomplot dengan pengantin prianya, menjebaknya atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Dia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, di mana dia menanggung banyak penderitaan. Ketika Khloe akhirnya dibebaskan, saudarinya yang jahat menggunakan ibu mereka untuk memaksa Khloe melakukan hubungan tidak senonoh dengan seorang pria tua. Seperti sudah ditakdirkan, Khloe bertemu dengan Henrik, mafia gagah tetapi kejam yang berusaha mengubah jalan hidupnya. Meskipun Henrik berpenampilan dingin, dia sangat menyayangi Khloe. Dia membantunya menerima balasan dari para penyiksanya dan mencegahnya diintimidasi lagi.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Bermula dari kebiasaan bergonta-ganti wanita setiap malam, pemilik nama lengkap Rafael Aditya Syahreza menjerat seorang gadis yang tak sengaja menjadi pemuas ranjangnya malam itu. Gadis itu bernama Vanessa dan merupakan kekasih Adrian, adik kandungnya. Seperti mendapat keberuntungan, Rafael menggunakan segala cara untuk memiliki Vanessa. Selain untuk mengejar kepuasan, ia juga berniat membalaskan dendam. Mampukah Rafael membuat Vanessa jatuh ke dalam pelukannya dan membalas rasa sakit hati di masa lalu? Dan apakah Adrian akan diam saja saat miliknya direbut oleh sang kakak? Bagaimana perasaan Vanessa mengetahui jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh Rafael untuk balas dendam semata? Dan apakah yang akan Vanessa lakukan ketika Rafael menjelaskan semuanya?