Jessica Marie Armantyo adalah gadis muda yang antusias terhadap perkembangan perusahaan keluarganya. Setelah ayahnya meninggal dunia, Jessica harus menjadi penerusnya. Sebenarnya dia memiliki seorang kakak lelaki, Arnold. Namun kakak lelakinya memiliki kecanduan judi sehingga membuatnya tidak layak untuk meneruskan peran ayahnya sebagai CEO. Permasalahan muncul ketika ternyata saham milik Arnold dijual kepada Joshua Danujaya untuk membayar hutang-hutangnya ketika berjudi di Makau Venesia. Tidak hanya membeli saham bagian Arnold, Joshua juga membeli saham yang dimiliki para direksi di PT Gembira Raya. Hal ini membuatnya menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan itu. Joshua yang masih muda dan memiliki jiwa pebisnis yang tajam dapat dengan mudah menyesuaikan diri di perusahaan itu. Sayangnya Jessica masih beranggapan bahwa tidak seharusnya perusahaan itu dipimpin oleh orang lain selain keluarganya. Apalagi caranya mendapatkan saham di perusahaan itu dengan cara memanfaatkan kelemahan Arnold. Itulah yang membuat Jessica sulit menerima dan tidak percaya pada Joshua. Selain permasalahan keluarga yang cukup rumit, Jessica dipusingkan dengan hubungan cintanya. Kekasihnya, Alan, yang telah berpacaran dengannya selama sepuluh tahun belum juga melamarnya. Profesi Alan sebagai content creator di YouTube mengharuskannya sering bepergian ke Eropa sehingga membuat hubungannya dengan Jessica merenggang. Alan lebih mementingkan karirnya sebagai content creator dan memutuskan untuk menunda melamar Jessica. Mendengar keputusan Alan untuk menunda melamarnya, Jessica berang. Dia memutuskan hubungan mereka. Walaupun setiap hari dia menangisi kegagalan hubungannya dengan Alan, dia bersikukuh tidak mau berpacaran lagi dengan Alan. Kecuali Alan berubah pikiran dan segera melamarnya. Joshua di sisi lain berusaha membuat perusahaan itu berkembang lebih besar. Hampir setiap hari dia bekerja bersama Jessica. Sikap gadis itu yang selalu manaruh curiga kepadanya tidak menyurutkan minatnya untuk membesarkan perusahaan itu. Selain itu, kecantikan dan kepribadian Jessica menarik hatinya. Dia pun berusaha meluluhkan Jessica. Antara bisnis dan cinta, bagaimanakah Jessica akan meraih kebahagiannya?
Jessica berjalan dengan cepat menyusuri ruang tamu rumahnya. Heels-nya terdengar nyaring mengetuk-ngetuk lantai marmer. Kemarahan terlukis jelas di raut wajahnya. Bu Windi dan Arnold sedang sarapan bersama ketika Jessica masuk ke ruang makan yang jendela-jendela besarnya menghadap ke kolam renang. Cahaya matahari pagi menghangatkan suasana di ruang makan itu. Namun suasana itu tidak bertahan lama.
Plak! Jessica menampar pipi Arnold dengan keras tanpa mengatakan apa pun.
"Jessica!" pekik Bu Windi terkejut. "Apa yang merasukimu?"
"Mama tanya saja dia! Setan mana yang membuatnya terus berjudi?" jawab Jessica sambil menunjuk muka Arnold. Kedua matanya yang biasanya terlihat indah kini mendelik ke arah kakaknya.
"Kalian keluar semua!" Bu Windi memerintah Mbak Lala dan Mbok Sum yang baru saja tergopoh-gopoh masuk ke ruang makan karena mendengar suara Bu Windi dan Jessica yang begitu keras. "Tutup pintunya dan jangan ada yang menguping!" hardik Bu Windi.
Dengan cepat Mbak Lala dan Mbok Sum undur diri dari ruangan yang hawanya tiba-tiba mencekam itu. Setelah mereka pergi, Bu Windi menatap tajam ke arah Jessica, anak bungsunya yang selalu dia banggakan kecantikan dan kecerdasannya.
"Kesalahan apapun yang Arnold lakukan, kamu tidak boleh menamparnya! Dia itu kakakmu!"
"Dia nggak pantas menjadi kakakku!"
"Jessica!" pekik Bu Windi. "Tarik ucapanmu! Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk memperlakukan keluarga dengan kasar."
"Kalau dia masih menganggap kita keluarganya, dia tidak akan menjual saham perusahaan kita ke keluarga Danujaya!" ungkap Jessica dengan suara yang meninggi. Hati Jessica sakit sekali ketika pagi ini pengacara keluarganya menghubunginya dan mengatakan bahwa saham Arnold sebanyak dua puluh lima persen telah dijual kepada keluarga Danujaya.
Bu Windi terkejut dan menatap Arnold. Dia bergeming. Bibirnya sedikit menganga, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar. Anak sulungnya yang selama ini digadang-gadang menjadi penerus suaminya untuk memimpin perusahaan telah menjual sahamnya ke keluarga Danujaya.
"Mama, maafin Arnold. Arnold nggak ada pilihan." Arnold segera berlutut memeluk kedua kaki ibunya.
"Omong kosong! Semua orang punya pilihan! Judi saja yang ada di otakmu! Kalau Papa masih hidup, sudah pasti namamu dicoret dari akta perusahaan!" pekik Jessica lagi. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya menahan amarah luar biasa.
"Ampun, Ma! Ampun! Arnold sudah taubat!" katanya memelas. Dia masih berlutut memeluk kedua kaki ibunya. Matanya terpejam. Dia tidak berani melihat ke arah adiknya.
Bu Windi sedikit membungkuk untuk melepaskan tangan Arnold yang melingkari pahanya. Dia bisa merasakan air mata si sulung membasahi celana sutra yang dipakainya. Dengan sedikit paksaan, tangan Arnold akhirnya mengendur. Bu Windi mundur beberapa langkah. Jari-jarinya merapikan celananya yang sedikit kusut dan basah oleh air mata Arnold.
"Sudah terlalu sering kamu mengatakan hal yang sama. Katanya kamu sudah kapok main judi, ternyata selama ini kamu masih melakukannya sembunyi-sembunyi. Kamu bohong sama Mama." Bu Windi melihat Arnold yang masih berlutut dan sesekali menyeka air mata dari pipinya.
"Apa dosa Mama di masa lalu sehingga kamu jadi begini, Arnold?"
"Ampun, Ma. Arnold benar-benar menyesal. Ini terakhir kali, Arnold janji!"
Bu Windi tidak menanggapi pernyataan Arnold. Dia sudah muak dengan janji-janji palsu anaknya itu. "Mama sudah nggak percaya lagi sama kamu, Arnold. Kamu benar-benar sudah mengecewakan Mama dan almarhum Papa."
Tak lagi menghiraukan Arnold yang masih menangis seperti anak kecil, Bu Windi berjalan ke arah Jessica. "Minta Pak Eric dan Bu Maria ke kantor besok pagi jam delapan. Mama mau mengadakan rapat umum pemegang saham."
"Baik, Ma," jawab Jessica singkat. Dia segera menelepon pengacara dan notaris yang biasa melayani perusahaan keluarganya. Setelah selesai menelepon, dia melihat ke arah kakaknya yang masih berlutut dan menangis. Kemarahannya yang meledak-ledak tadi tiba-tiba surut. Dia iba melihat kakaknya yang usianya hanya terpaut dua tahun darinya itu. Kakaknya tampak seperti anak kecil. Tidak sedikit pun menampilkan sikap sebagai selayaknya laki-laki yang berusia dua puluh delapan tahun.
"Berhentilah menangis. Jangan sampai Mbak Lala dan Mbok Sum melihatmu dalam keadaan memalukan seperti ini," kata Jessica sambil menarik lengan kakaknya, memaksanya untuk berdiri.
"Aku sudah menghancurkan semuanya, Jess. Sudah nggak ada gunanya aku hidup," kata Arnold dengan suara lirih.
Jessica tahu betul kakaknya seorang penakut, dia tidak akan melakukan hal yang nekat untuk mengakhiri hidupnya. "Jangan mengatakan hal-hal bodoh. Tebuslah kesalahanmu."
"Bagaimana caranya, Jess?"
"Batalkan penjualan sahammu ke Danujaya," jawab Jessica tegas.
Arnold membelalakan matanya dengan ngeri mendengar ucapan Jessica. "Membatalkan penjualan saham itu sama saja membunuhku, Jess!"
"Apa maksudmu?" tanya Jessica sambil mengerutkan dahinya.
"Uangnya sudah nggak ada."
"Nggak ada sisanya? Sedikit pun nggak ada?" desak Jessica dengan gusar.
"Sudah habis aku pakai di Makau Venesia bulan lalu," jawabnya menyebut kasino terbesar di dunia itu. Dia menunduk lesu.
Tiba-tiba kepala Jessica terasa pening. Ternyata alasan kakaknya pamit ke Cina bulan lalu untuk melihat pameran mesin-mesin industri hanyalah dusta. Dia berjudi habis-habisan di sana. Kali ini dia bertekad memaksa ibunya untuk memasukkan Arnold ke panti rehabilitasi. Kecanduannya akan judi bisa menghancurkan keluarga mereka.
***
Pagi itu Jessica dan Bu Windi berangkat ke kantor bersama. Mereka tidak banyak bicara di dalam mobil. Mereka disibukkan dengan pikirannya masing-masing. Lingkaran hitam tampak samar di bawah kedua mata Bu Windi. Semalam dia tidak bisa tidur.
"Ma, apa yang mau Mama katakan di rapat nanti?" Tanya Jessica ketika mobil mereka berhenti karena lampu merah traffic light menyala.
"Mama akan minta Pak Eric untuk menemui keluarga Danujaya. Mama akan membeli lagi saham yang dijual Arnold."
"Apa kita punya uangnya, Ma?"
Bu Windi melihat ke kejauhan dari jendela mobil yang kacanya tertutup rapat. Pandangannya menerawang. "Kalau keluarga Danujaya mau menjualnya dengan harga yang sama, kita punya uangnya. Tapi kalau mereka meminta harga yang lebih tinggi, sepertinya kita harus menjual beberapa asset atau meminjam uang dari bank."
Jessica terdiam. Kalau saja Papa masih hidup, Mama dan aku tidak akan dipusingkan dengan masalah seperti ini, batin Jessica kelu.
Segera setelah sampai di PT Gembira Raya, Pak Toni membukakan pintu New Camry di samping Bu Windi. Dengan anggun Bu Windi melangkah keluar dari mobil mewah yang baru dibelinya tahun lalu itu. Jessica tidak menunggu Pak Toni membukakan pintu untuknya, dia selalu merasa tidak sabar. Kedua wanita yang berbeda generasi itu pun berjalan beriringan menuju ruang rapat.
"Selamat pagi, Bu Windi. Selamat pagi, Bu Jessica," sapa Mila, resepsionis di kantor mereka. Mila tampak gugup melihat Bu Windi. Memang Bu Windi sudah jarang ke kantor kecuali ada masalah penting seperti pagi ini. "Peserta rapat sudah menunggu Ibu," katanya lagi.
Bu Windi tidak menggubrisnya sama sekali. Mila tampak kecewa. "Maaf ya, Mama sedang bad mood," kata Jessica sambil menepuk pundak si resepsionis. Seketika Mila menyunggingkan senyumnya. Memang benar kata para karyawan di sini kalau Bu Jessica humble, batin Mila.
Jessica buru-buru menyusul ibunya yang sudah lebih dulu masuk ke ruang rapat. Setelah menutup pintu ruang rapat, Jessica segera menuju kursi yang biasa didudukinya. Kursi di samping kursi CEO yang dulu diduduki almarhum ayahnya. Tiba-tiba matanya terpaku pada sosok asing yang ada di seberang mejanya. Jessica belum pernah melihatnya. Siapa dia?
Laki-laki tampan itu duduk dengan santai di kursi yang biasanya diduduki Arnold. Rambutnya ikal dan tampak sedikit basah. Jessica yakin itu efek pommade. Matanya yang sipit dibingkai sepasang alis tebal yang rapi. Jessica jadi penasaran, apakah alis itu dibentuk di salon?
"Maaf, siapa Anda? Rapat ini hanya terbatas untuk para pemegang saham," kata Bu Windi memecahkan keheningan di ruangan itu.
Laki-laki itu berdiri dari tempat duduknya. "Perkenalkan, nama saya Joshua Danujaya," katanya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bu Windi. "Saya pemegang lima puluh persen saham di perusahaan ini. Sepertinya saya berada di tempat yang tepat."
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dan abai. Seperti tak ingin setengah-setengah membuat Alenia menderita, takdir membuka perselingkuhan tunangan yang menjadi tumpuan terakhirnya. Alenia rapuh. Muak dengan hubungan toxic di sekitarnya, Alenia memilih pria yang lebih tua 13 tahun darinya.
Sinta butuh tiga tahun penuh untuk menyadari bahwa suaminya, Trisna, tidak punya hati. Dia adalah pria terdingin dan paling acuh tak acuh yang pernah dia temui. Pria itu tidak pernah tersenyum padanya, apalagi memperlakukannya seperti istrinya. Lebih buruk lagi, kembalinya wanita yang menjadi cinta pertamanya tidak membawa apa-apa bagi Sinta selain surat cerai. Hati Sinta hancur. Berharap bahwa masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka, dia bertanya, "Pertanyaan cepat, Trisna. Apakah kamu masih akan menceraikanku jika aku memberitahumu bahwa aku hamil?" "Tentu saja!" jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak bermaksud jahat padanya, Sinta memutuskan untuk melepaskannya. Dia menandatangani perjanjian perceraian sambil berbaring di tempat tidur sakitnya dengan hati yang hancur. Anehnya, itu bukan akhir bagi pasangan itu. Seolah-olah ada penghalang jatuh dari mata Trisna setelah dia menandatangani perjanjian perceraian. Pria yang dulu begitu tidak berperasaan itu merendahkan diri di samping tempat tidurnya dan memohon, "Sinta, aku membuat kesalahan besar. Tolong jangan ceraikan aku. Aku berjanji untuk berubah." Sinta tersenyum lemah, tidak tahu harus berbuat apa ....
"Cinta itu buta!" Laura menyerahkan kehidupannya yang nyaman untuk seorang pria. Setelah menikah dengan pria itu, dia menjadi ibu rumah tangga dan mengurus semua pekerjaan rumah tangga selama tiga tahun tanpa mengeluh. Suatu hari, dia akhirnya tersadar, menyadari bahwa semua usahanya selama ini sia-sia. Suaminya, Nikolas Riyadi, selalu memperlakukannya seperti sampah karena dia mencintai wanita lain. "Cukup! Aku sudah muak membuang-buang waktu dengan pria yang berhati batu!" Dengan patah hati, dia akhirnya mengumpulkan keberaniannya dan mengajukan gugatan cerai. Berita itu segera menjadi viral di internet! Seorang wanita muda yang kaya raya baru saja bercerai? Wanita idaman! Dalam waktu singkat, banyak sekali CEO dan pria-pria muda tampan yang datang untuk mencoba memenangkan hati Laura! Nikolas tidak tahan lagi. Pada sebuah konferensi pers, dia memohon dengan mata berkaca-kaca, "Aku mencintaimu, Laura. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Tolong kembalilah padaku." Akankah Laura akan memberinya kesempatan kedua? Baca terus untuk mengetahuinya!
Seorang janda muda yang memiliki paras wajah buruk rupa, bernama Jelita Laurenza. Akibat dari wajahnya yang jelek, dia diselingkuhi oleh suaminya (Romi) yang pada akhirnya pernikahan mereka berujung berpisah. Jelita meratapi nasib buruknya karena perceraiannya dan stigma negatif dari tetangganya. Belum genap seminggu perceraiannya, dia dikejutkan dengan kabar pertunangan mantan suaminya dengan wanita selingkuhan pria itu yang tak lain adalah manajernya sendiri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang pria tampan bernama Affandra yang ternyata adalah seorang idol terkenal yang tampan dan memiliki banyak fans. Di suatu malam, terjadilah one night stand di antara mereka berdua. Bagaimana kelanjutan hubungan Jelita dan Affandra? Bisakah Jelita yang buruk rupa menjadi cantik?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"