Sekali-kali Aida melirik padaku dan mengangkat alis kirinya memberi kode. Dari posisi jongkoknya aku bisa melihat semua isi dalam bagian rok daster itu. Paha putih mulusnya yang padat mengangkang hingga aku bisa melihat permukaan celana dalam berwarna krem-nya yang tebal tembem abis. Bahannya cukup tipis hingga sinar matahari sore cukup menerangi pemandangan indah yang spektakuler. Ingin kubernyanyi..."Disana... tempat lahir beta..." dengan suara nge-bass dan nyeruduk nyungsep di situ kalau gak ingat-ingat. Jakunku naik-turun berulang kali karena aku meneguk ludah berkali-kali karena aku kehausan sekarang. Haus oleh yang enak-enak sekarang.
Kenalkan namaku Nasrul, orang-orang memanggilku Aseng karena aku mirip Cina. Aku sih biasa aja dipanggil begitu, karena memang dari kecil panggilanku itu. Padahal aku ini Ajo tulen alias orang Minang asli. Bapak dan Ibuku asli dari kampung di Pariaman-Sumatera Barat sana. Itu karena kulitku putih yang kuwarisi dari ibuku yang juga berkulit putih bersih. Dari kecil aku tumbuh dan besar di kota Medan. Menikah dan punya anak tiga–yang ganteng dan cantik.
Pada saat cerita ini terjadi, aku bertempat tinggal di pinggiran kota Medan yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, Mabar tepatnya nama daerah ini. (Yang orang Medan pasti tau Mabar dimana). Kupilih berdomisili disini karena dekat dengan tempatku bekerja saat itu, di pabrik yang ada di sekitar sini. Kawasan Industri Medan hanya berjarak sepuluh menit berkendara motor dari tempatku tinggal. Sebagai seorang staff administrasi senior di pabrik ini, aku sudah membangun rumah sederhana untukku tinggal dengan istri dan anak-anakku.
Rumah kami berada di dalam gang di tepi jalan yang ramai. Sudah 15 tahun kami bermukim disini dari semenjak belum terlalu banyak orang membangun rumah sampai sekarang penuh sesak. Sesak oleh rumah tinggal baik milik sendiri maupun untuk disewakan. Rumah kami walau tidak terlalu mewah, tetapi satu-satunya yang memiliki halaman luas. Bayangkan saja, halaman itu cukup untuk dibangun satu rumah lagi, kok. Banyak yang menyarankan untuk membangun rumah petak saja untuk disewakan atau kos-kosan. Tapi jangan dululah, halaman rumahku yang luas untuk anak-anakku bermain saja, pikirku. Apalagi anakku masih kecil-kecil, dimana nanti mereka bermain dengan teman-temannya? Di jalanan gang? Berbahaya karena motor ramai berlalu-lalang di sini, terkadang mobil juga seliweran keluar masuk.
Cerita ini akan dimulai dari lahirnya anak keduaku beberapa tahun lalu. Anak perempuan yang cantik dan berkulit putih bersih dengan rambut hitam legam tebal seberat 3.5 kg bernama Salwa. Anak pertamaku sudah berumur 4 tahun saat itu dan ia senang sekali menjadi abang Rio. Ada kebiasaan yang kulakukan pada semua anak-anakku, kugendong mereka keliling seputaran rumah saat pagi sebelum pergi bekerja dan sore saat pulang kerja. Mulai berumur 4-5 bulan anak-anakku kubawa berkeliling menyapa tetangga dan mengenal lingkungannya. Anakku yang tampan dan cantik terkenal di gang yang lumayan panjang ini karena sedari bayi sudah wara-wiri depan-belakang mengukur panjang jalanan gang yang sudah dibeton pemerintah.
"Cantik sekali Salwa... Udah mandi... Jalan-jalan sama papa pagi-pagi..." sapa tetanggaku, seorang ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya.
"Salwa cantik... Mau kemana pagi-pagi?" sapa tetangga lain yang sedang menyiapkan anaknya yang akan berangkat sekolah.
Salwa anak bayiku tertawa-tawa senang sepanjang perjalanan kala dijawil atau dielus pipinya oleh para penyapanya. Jadi sepanjang gang yang panjangnya kurang lebih 300 meter itu banyak sekali fans Salwa yang menyapanya tiap pagi atau sore. Kadang abangnya, Rio ikut bareng karena pengen dibelikan jajanan di warung.
"Salwa... gendong-lah? Biar nular..." pinta seorang ibu hamil muda anaknya yang keempat. Anaknya laki semua, susun paku istilah orang Medan sini yang menandakan kalau semua umur anaknya hanya beda satu tahun aja atau berdekatan. Ia berharap kalau sering-sering menggendong Salwa anaknya akan lahir perempuan juga. Kalau cantik itu belum pasti. Itu tergantung dari bibitnya... Bener gak, bos?
Prilaku ini juga ditiru wanita-wanita lain yang belum dikarunia anak. Kadang istriku memanfaatkan keadaan ini dan menyerahkan Salwa untuk dimomong mereka saat ia sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan rumah tangga. Kalau dihitung kasar aja ada sekitar 5-6 pasangan menikah yang belum dikaruniai anak. Padahal rata-rata mereka sudah menikah 3 tahun lebih.
Contohnya wanita satu ini. Bernama Aida. Suaminya bernama Agus. Sama-sama berumur 26 tahun yang sudah menikah selama 4 tahun. Baru dua tahun ini mereka berdua mengontrak sebuah rumah di gang ini. Suaminya, Agus bekerja di Kawasan Industri yang sama denganku, hanya beda pabrik saja. Ia sekarang sedang menggendong bayiku Salwa dengan riangnya. Mungkin membayangkan senangnya punya bayi cantik dan sehat sendiri. Yang lahir dari rahimnya sendiri.
"Bang Aseng... Kalo bosan dengan Salwa... kasikan Aida aja, ya?" cetusnya yang kutangkap sebagai candaan biasa.
"Ah... Ada-ada aja kau, Da... Masak anak sendiri mau dikasikan orang... Buatlah sendiri..." kataku mencoba bermain dengan candaanya.
"Gak jadi-jadi, bang Aseng... Udah empat tahun kami kawen... Gak hamil-hamil awak..." (awak adalah kata pengganti untuk aku) jawabnya sambil terus mengayun-ayun pelan Salwa di gendongannya. Dikecupnya ubun-ubun Salwa berulang-ulang.
"Ah... Mana si Agus? Masuk shift malam dia? Gas terus-lah ini kalau dia udah pulang nanti..." kataku sambil ketawa-ketiwi bercanda terus.
"Entar-entar lagi pulang dia, bang... Mana sempat lagi dia, bang... Tros tidor dia itu nanti..." keluhnya tapi menciumi gemes pipi Salwa. "Capek kali katanya dia... Padahal tak beratnya kerjanya... Cuma nengok-nengok sebentar operator mesin... tidornya dia abis itu sampe Subuh..." lanjutnya. Agus sebagai Supervisor mesin produksi. Ia pernah cerita kalau tak ada masalah, mesin-mesin di pabriknya cukup di-handle para operator saja sudah cukup. Jadi dia punya banyak waktu santai. Cukup santai sampe badannya juga melar.
"Eh... Ngomong-ngomong soal kerja... Awak permisi juga-lah, Da... Mau masuk kerja juga..." kataku setelah melirik jam tangan, memberikan gesture tubuh untuk meminta Salwa kembali. Karena Salwa yang masih kecil, 5 bulan waktu itu, lehernya belum terlalu kuat untuk menopang kepalanya, Aida menyandarkan kepala Salwa di dadanya. Ia belum terlalu paham teknik menggendong bayi karena belum pernah punya kali, ya? Aku agak kesulitan untuk mengambil Salwa dari gendongan Aida tanpa menyentuh...
Tau dong kalau gendong bayi gimana? Salah satu tangan harus masuk di ketiak bayi dan satu tangan lainnya menahan bokongnya.
...Tanpa menyentuh dada Aida tentunya. Dadanya tidak terlalu besar. Paling hanya cup B. Tapi aku jamin kalau dia hamil dan melahirkan, ukurannya pasti melonjak drastis.
Salwa berhasil berpindah tangan kembali padaku dengan sedikit insiden kecil ujung jariku menowel sedikit dadanya, lebih tepatnya bra-nya. Mudah-mudahan gak kerasa. "Da-dah, bu Aida..." kataku pamitan pada wanita itu dengan melambaikan tangan mungil Salwa.
"Da-dah Salwa... Nanti sore gendong lagi, ya?" jawabnya riang dengan muka berseri-seri sambil mengayun-ayunkan tangannya melambai pada anakku. Untung dia gak ngerasa towelan kecil tadi jadi gak ada masalah, pikirku.
Saat aku melintasi depan rumah Aida, kulihat motor Agus sudah ada di teras kecil rumahnya. Berarti dia sudah pulang. Aida ada di depan sambil menyapu dengan sapu ijuk. Ia mengangguk dan tersenyum lebar padaku. Kubalas senyumannya.
Skip-skip
Pulang kerja dengan motor Supra X 125-ku kulihat istriku sedang berjalan-jalan dengan kedua anakku di gang ini. Rio sedang asik makan es lilin sedang Salwa digendong oleh Aida lagi. Istriku sedang ngobrol-ngobrol dengannya.
"... langsung jadi... padahal waktu di pelaminan kakak lagi halangan, loh..." bisa kutebak apa yang mereka bicarakan. Pastinya sedang membicarakan masa-masa kehamilan Rio, anak sulungku. "Ini orangnya..." kata istriku tertuju padaku yang sudah berada di dekatnya.
"Jadi kakak subur kali-lah ya? Langsung jadi gitu..." komentar Aida memandang istriku dan aku bergantian. Rio langsung naik ke motor bagian depan minta jalan-jalan sore.
"Mungkin juga... Senggol langsung jadi... Mungkin bapaknya juga yang subur kali, nih... Ini Salwa juga cepat... Buka spiral... bulan depannya langsung jadi juga..." kata istriku dengan nada yang sedikit bangga kalau ia tidak ada masalah dengan mendapatkan keturunan. Mudah-mudahan memberi motivasi agar Aida terus berusaha dengan suaminya.
Salwa sudah berpindah tangan kembali pada istriku dan ia sudah nangkring di jok belakang motor. "Jalan-jalan!" teriak Rio yang minta keliling-keliling sore ini. Kami berpamitan pada Aida.
"Kalo dipikir-pikir... banyak juga ya yang belom punya anak di gang ini ya, pa..." kata istriku ketika kami melintas di gang sebelum keluar dan mencapai jalan aspal di depan sana.
"Iya... Itu Aida udah empat tahun katanya..." jawabku berhenti di mulut gang dengan lampu tangan motor berkedip ke kanan. Menunggu kesempatan untuk masuk arus kendaraan lainnya.
"Fitri juga tuh... Ini kan dia dengan laki keduanya... Dengan yang pertama dulu sempat keguguran sekali waktu di Jawa dulu... Abis itu sampe sekarang... sampe ganti laki juga belum hamil-hamil... Lima tahun..." cerita istriku tentang tetangga kami yang menyewa rumah tak jauh dari rumah kami. Gosip diantara ibu-ibu kadang lebih akurat.
"Kalo Iva?" tanyaku tentang wanita tinggal tepat dipertengahan gang. Ia membuka warung. Anaknya masih berumur tiga tahun, tapi anak pungut dari saudaranya. Ia dan suaminya sudah menikah lebih lama dari kami berdua.
"Udah sembilan tahun ato sepuluh gitu..." jawab istriku tak ingat pasti info itu. "Trus si Lita juga... Enam tahun... Laki-nya kebanyakan meranto (merantau, bekerja di kota lain)... Gimana mo buat anak?" cerocosnya di jok belakang. Salwa sudah tidur terkena angin sepoi-sepoi sore ini dan Rio masih duduk dengan anteng di depanku.
"Kalo Asri sama Wiwit ampir sama, ya? Mungut anak dulu baru dapat anak sendiri..." begitulah obrolan kami sepanjang jalan-jalan sore ini. Pulang-pulang bawa gorengan dan seplastik penuh jajanan untuk Rio.
Beberapa hari kemudian.
Masih dengan rutinitas yang sama seperti hari-hari berikutnya, pagi dan sore aku tetap membawa Salwa jalan-jalan keliling gang ini saja. Bahkan sampai ke ujung belakang gang yang masih ada sawah-sawah di pinggiran jalan tol. Ia melonjak-lonjak girang melihat kawanan kambing dan bebek. Disini masih sedikit rumah karena lebih banyak sawah sehingga lumayan sepi.
"Eh, Salwa... Maennya sampe kemari ya?" sapa seseorang yang melintas dari belakang mengendarai motor matic merah.
"Iyaa bu Aida... Salwa maennya jauh sampe kemari..." jawabku menyapanya yang niat banget pake berhenti demi menyapa Salwa. "Liat bebek... Liat embek..."
Awalnya ia ragu-ragu akan terus berkendara atau terus bercengkrama dengan Salwa, malah turun dari motornya setelah mematikan mesinnya. Aku kurang begitu memperhatikan apakah ia lirik kanan-kiri melihat situasi dahulu sebelumnya dan ia sudah minta menggendong Salwa aja. Dibawanya bayiku mendekati kawanan bebek yang sedang berada di genangan air sawah yang sudah panen.
"Aku pengen kali-lah, bang..." katanya meningkahi suara kwek-kwek bebek yang bising abis itu. Aku kurang paham apa katanya sehingga aku mendekat. Atau aku salah dengar mungkin. Ia sedang menciumi ubun-ubun Salwa, membaui aroma minyak rambut bayi yang wangi.
Aku masih tersenyum wajar saat aku sudah di dekatnya dan ia mengulangi kalimat tadi dengan tambahan, "Aku pengen kali-lah, bang... punya anak kayak Salwa..." Jelas aku kaget. Bukan sekali ini kudengar ia mengatakan itu, tetapi pandangannya kali ini berbeda. Ada tatapan mengharap disana.
"Banyak-banyak berdoa aja-lah, Da... Namanya juga rezeki, kan dari Tuhan semua..." jawabku berusaha bijak. Kebetulan aja Tuhan ngasih kemudahan pada kami berdua tetapi tidak pada mereka.
"Yang persis kayak Salwa ini aja, bang... Harus kayak Salwa..." katanya dengan nada memelas.
"Mana mungkin bisa sama, Da... Kalo gak mirip kau... yaa... nanti mirip lakikmu-lah..." kataku agak lucu. Anakku memang sangat mirip-mirip antara Rio dan Salwa. Mungkin juga nanti adik-adiknya yang lain. Warna kulitnya, perawakannya walaupun masih bisa dilihat berbeda karena laki-laki dan perempuan. Dari kedua anakku jelas keduanya menurun dariku karena aku berkulit putih sedangkan istriku lebih sawo matang cenderung gelap. Kalau mau mirip banget dengan Salwa yaa jelas tidak mungkin. Mungkin putih-putihnya bisa kali, ya secara Aida itu putih juga tetapi suaminya berkulit gelap, lebih gelap dari istriku malah.
Aida menggendong Salwa mendekat. Kukira ia akan mengoperkan Salwa padaku, malah mengatakan ini, "Dari bang Aseng aja... Pasti anaknya nanti mirip Salwa, kan?" ujarnya mengejutkan.
Kaget tentunya yang kurasakan. Kalau kuingat seperti ada denging di telingaku saat kudengar kalimat itu. "Dari bang Aseng aja..." Aida mengangguk beberapa kali untuk memastikan kalau ia benar-benar bermaksud mengatakan itu. Matanya berbinar-binar penuh pengharapan.
"Hamili, Aida bang..."
Bersambung
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Suara Renata kini mendesah saat ciuman pria muda itu mendarat di lehernya, sambil tangannya kini meremas buah dadanya yang tertutup kaos oblong itu, sofa yang sudah tua di ruang tamu di rumah sederhana itu nampak sesak dan bergoyang saat dengan nakalnya tangan Eka meremas dan memilin sekujur tubuh gadis itu “Maaaas…..”
Ciumannya kini turun ke perut yang mulus dan rata, lidahnya bermain di pusarnya, dan tangannya lalu menurunkan celana dalam yang jadi kain terakhir yang menempel ditubuh Endah, dan wanita itu mengangkat pantatnya agar Asaln dengan leluasa membuka celana dalamnya. Rimbunan semak belukar hitam menyapa tatapan Aslan, dan mata yang malu terlihat diatas sana agak samar dirundung birahi, apalagi saat dengan lembut Aslan membuka lebar pahanya, sehingga aroma kewanitaan yang segar dan alami pun menyeruak membuat nafsu kelakilakian seorang Aslan semakin membara Dengan lembut bibirnya mencium gundukan bukit rimbun dan hitam itu….. Belahannya kemudian terlihat memerah mengintip, serta bagian daging kecil yang memancing bibir Aslan untuk menyentuhnya “Auhg,,,,,, abang…..”
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. “Lihat Om sini, yang deket.” Suradi mendekat dan membungkuk. “Gemes ga Om?” Suradi mengangguk. “Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?” “Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?” “Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) "Ughh..." Marina melenguh sambil mencengkram pergelangan tangan Willem. "Sakit, Will." "Kamu mendesah barusan," bisik Willem. Marina menggigit bibirnya menahan senyum yang hendak terbit. Willem segera menegakkan punggungnya, menatap Marina dengan penuh cinta di bawah kendalinya. "Tapi sakit, jangan terlalu keras... ahhh," ucap Marina. Belum selesai ia berucap, tiba-tiba ia mendesah saat Willem menghentakkan pinggul dengan lembut. "Ahhh..." *** Seiring berjalannya waktu, Marina semakin yakin bahwa keputusannya untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasihnya, Willem Roberto, adalah langkah yang tepat. Luka yang dalam akibat keputusan Willem di masa lalu membuat Marina merasa hancur dan ditinggalkan begitu saja setelah ia menyerahkan segalanya kepadanya. Meski Marina berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi Willem, takdir mempertemukan mereka kembali setelah tujuh tahun berpisah. Pertemuan ini tidak bisa dihindari, dan Marina pun merasa tergoda oleh pesona mantan kekasihnya. Walaupun hatinya masih terluka, Marina terbawa dalam nostalgia dan hangatnya kenangan masa lalu. Keduanya larut dalam kenangan manis dan berbagi momen intim di dalam kamar hotel. Willem terus menggoda Marina dengan daya tariknya yang memikat, membuat wanita itu sulit untuk menolaknya. Marina pun berada dalam kebimbangan, diantara kerinduan akan cinta yang dulu dan ketakutan akan luka yang mungkin kembali menghampirinya. Kisah cinta Marina dan Willem kembali terjalin, namun kali ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keragu-raguan. Marina harus segera memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan atau memilih untuk bangkit, memperbaiki diri, dan menempatkan kebahagiaannya di atas segalanya.
Joelle mengira dia bisa mengubah hati Adrian setelah tiga tahun menikah, tetapi dia terlambat menyadari bahwa hati itu sudah menjadi milik wanita lain. "Beri aku seorang bayi, dan aku akan membebaskanmu." Pada hari Joelle melahirkan, Adrian bepergian dengan wanita simpanannya dengan jet pribadi. "Aku tidak peduli siapa yang kamu cintai. Utangku sudah terbayar. Mulai sekarang, kita tidak ada hubungannya satu sama lain." Tidak lama setelah Joelle pergi, Adrian mendapati dirinya berlutut memohon. "Tolong, kembalilah padaku."
WARNING AREA 21+ Harap bijak dalam membaca. Berisi kata-kata kasar dan adegan dewasa yang tak cocok dibayangkan oleh anak dibawah umur. Jadi hati-hati ya. ***** Diputuskan sang kekasih hanya karena tak mau memberikan keperawanannya membuat Renata frustasi. Ia sangat mencintai Dinar namun pria itu dengan seenak hati membuangnya. Galaunya Rena dilampiaskan oleh gadis itu mabuk di bar sampai tak sadarkan diri. Beruntung, Ervin teman Rena dari kecil sekaligus musuh bebuyutan Rena diminta oleh papinya Rena untuk mencari gadis itu. Dengan ditemukannya Rena di bar oleh Ervin, papinya Rena meminta Ervin menjadi bodyguardnya dan memantau kemana pun Rena pergi. Hal itu membuat Rena emosi. Ia selalu mencari cara untuk Ervin tak tahan dengannya. Namun waktu berlalu, siapa sangka Sebuah ciuman lembut dari Ervin mampu membuat Rena terbuai, bahkan sejak saat itu kehidupan keduanya berubah menjadi lebih panas.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Bagaimana jika keponakan yang dititipkan oleh kakak perempuan nya mulai mengacaukan seluruh tatanan kehidupan nya. Gadis kecil yang dia sangka polos menyimpan cinta mendalam untuk dirinya, memancing hasrat nya berkali-kali hingga pada akhirnya satu malam panas terjadi di antara mereka. Bagaimana caranya dia meminta restu kepada kakak nya sendiri untuk hubungan yang jelas di anggap tidak mungkin untuk semua orang. Namun siapa sangka satu kenyataan dimasa lalu terbuka secara perlahan soal hubungan mereka yang sesungguhnya.