/0/13466/coverbig.jpg?v=81e65921a2deae8529f27d361223e649)
Istriku mati, memilih bunuh diri, begitu tiba-tiba, tanpa tanda-tanda. Meninggalkanku dengan tia anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Seiring waktu, satu persatu alasan kematian istriku terkuak, yang membuatku terhenyak. Aku yang awalnya merasa telah menjadi suami dan imam yang sempurna, dihadapkan kenyataan yang sebaliknya. Ultimatum dari mertua membuatku berpikir ulang tentang peranku sebagai kepala rumah tangga. Nasi telah menjadi bubur, dan kini aku harus menuai apa yang sudah kutabur.
Jasad istriku diturunkan dalam liang lahat, tangan ini terulur hendak menyambutnya. Sama seperti saat aku menyambutnya dengan senyum terkembang kala meminta kesediaannya untuk menikah denganku dulu. Waktu itu, aku menjanjikannya dunia beserta isinya, yang tak pernah kupenuhi.
Berjanji saat hati bahagia itu memang paling mudah.
Hanya kali ini, aku menyambutnya di bawah dengan berusaha tegar walau tanganku gemetar tak karuan. Dengan hembusan napas panjang dan hati getir meletakkannya dalam ceruk dan memiringkan tubuhnya ke arah kiblat.
Aku masih kuat.
Dibantu orang-orang lain aku mengubur tubuh istriku dengan gundukan tanah, hati-hati sekali takut menyakitinya. Takut menyakitinya? Mengapa baru sekarang aku memikirkannya? Selama ini aku lupa bertanya bagaimana keadaannya.
10 tahun lalu, diserahkannya padaku tanggungjawab atas istriku dari ayahnya saat aku berjanji di depan penghulu, tapi rupanya aku bukanlah lelaki atas sumpahku. Setelah ia dalam genggaman, tak lagi aku merepotkan diri memberikannya perhatian.
Tak pernah sekalipun bertanya kabarnya, bahkan enggan tiap membaca pesan darinya yang bertanya keberadaanku dan kapan aku pulang. Lebih-lebih harus mendengarkan cerita hari-harinya, setiap kali ia hendak bercerita aku mengabaikannya dan memilih nongkrong dengan teman-temanku saja.
Paling dia hanya akan mengeluh soal kerjaan rutinnya sebagai ibu rumah tangga dan menjaga anak-anak kami bertiga, lagu lama kaset rusak, aku bosan. Dia wanita yang kunikahi karena kepintarannya dulu, kini isi obrolan kami bukanlah lagi tentang ilmu terbaru tapi cerita sehari-hari yang tak memiliki bobot.
Dia pikir kerja di luar tak capek, bertemu dengan banyak rekan kerja dengan karakternya masing-masing yang bikin pusing kepala. Aku pulang mau istirahat, bukan mendengarkan masalah orang lain lagi.
Sehingga, jika kulihat ia mendekat hendak mulai mengeluh, maka aku memotongnya duluan dengan keluar ngopi ke rumah tetangga agar pikiranku rileks. Waktu itu aku merasa, rumah bukanlah rumah, tapi bara api, selalu panas. Belum lagi teriakan anak-anakku yang bersahutan tak henti-henti, telingaku penging dan memunculkan emosi.
Sengaja aku pulang tengah malam, saat mereka semua sudah tertidur, dengan demikian aku juga bisa langsung istirahat setibanya di rumah. Sebal sekali, padahal besok pagi harus mulai kerja lagi.
Tentang Ali, anak bungsu yang kehadirannya karena kesalahanku yang tak sempat memutus pers*ngg*maan kami saat aku mencapi klimaks, namun aku berdalih bahwa Ali adalah permintaanmu dulu saat kita masih sama-sama kuliah.
Aku masih ingat betul sorot mata tak terimamu waktu itu dan berkata.
"Itukan dulu waktu aku belum tahu repotnya menjaga anak kecil-kecil di waktu yang bersamaan! Bahkan Rayi masih kecil 15 bulan, dan Azka baru 4 tahun, bagaimana jika nanti aku hamil lagi? Sedang kau tak pernah di rumah membantuku merawat anak-anak?"
"Kalau hamil lagi ya rejeki, alhamdulillah." Dalihku enteng sambil tersenyum padanya.
"Enteng banget ya Yah ngomongnya, kamu gak pernah tahu stressnya. Mengurus satu bayi saja sudah berat, ditambah lagi harus mengurusi kakak-kakaknya yang masih balita. Mereka juga butuh perhatian, tanganku cuma dua lho."
"Bunda, semua itu akan terasa ringan jika kita melakukannya dengan ikhlas, apa yang bunda lakukan itu tak tampak nilainya, tapi disitulah letak ujiannya. Kalau bunda bisa ikhlas menjalaninya, balasannya surga."
Aku tak lagi mendengar sanggahanmu waktu itu, saat kulirik mulutmu menganga kehabisan kata-kata. Dan itulah memang tujuanku, yaitu diammu.
Aku ingat, kau masih menyusui Rayi setelah hasil test pack mu menunjukkan garis dua. Juga rutin mengayuh sepeda untuk Azka, sulung kita yang baru masuk TK A karena kamu tak pandai membawa motor.
Hingga 5 bulan lamanya kau tetap memberikan hak ASI untuk anak kita yang kedua yang masih balita sembari menyicil tanah di kampung kelahiranku waktu itu, itupun karena inisiatif darimu.
Padahal aku merasa waktu itu masih belum siap untuk memiliki hutang, tapi kamu cerita jika ibuku bertanya kemana saja hasil kerjaku selama ini, maka demi memenuhi harapan orang tuaku kita menyicil tanah waktu itu.
Gajiku sangat mepet untuk hidup kita di kota penyangga Jakarta waktu itu, sehingga kamu berinisiatif untuk berjualan donat frozen ataupun yang siap santap untuk menambal sulam kebutuhan yang kurang.
Aku senang waktu itu, melihatmu keluar dari zona nyaman. Padahal kau melakukannya sembari mengurus rumah, Azka, Rayi dan juga jabang bayi dalam tubuhmu. Bergadang hingga tengah malam mengulen donat.
Tugasku adalah mencarikan pelanggan dari teman-temanku karena donat buatanmu memang enak, aku tak ingat bahwa tubuhmu entah bagaimana keadaannya waktu itu. Karena aku tidur sepanjang malam, tak pernah mengerti ceritamu yang mengeluh ingin rebahan tapi sudah disambut oleh tangisan Rayi 2 jam sekali setiap malam.
Aku ingat lagi, pernah kesal padamu yang masih tidur di pagi hari saat aku hendak berangkat kerja. Tak paham keluhanmu yang bilang habis begadang semalaman mengurus Azka yang demam dan Rayi yang bolak balik meminta asi.
Lebay sekali! Ngurus dua anak saja sudah seperti repotnya dokter memimpin operasi. Suami mau berangkat kerja malah tidur enak-enakan bukannya nyiapin bekal dan sarapan!
***
Lihatlah rapuhnya aku kini, saat ketiga anak kita yang masih sangat membutuhkan sosok bundanya menangis memegangi kedua tanganku sembari menatap gundukan tanah merahmu. Belum apa-apa batinku sudah lelah luar biasa.
Sesampainya di rumah, melihat dastermu tergantung di kastok membuatku tersedu sedan. Tumpah sudah semua tangisan, penyesalan, dan juga kekecewaan dari dalam diriku untukku sendiri. Kukunci pintu dan memeluk erat baju rumahmu yang dulu pernah kuprotes itu karena membuatmu tampak jelek dan tak memantik gairahku.
Wangi tubuhmu masih menempel di sana, bagaimana bisa wangi yang dulu menyebalkan ini kini membuatku candu? Kapan lagi aku dapat mengirup wangi tubuhmu secara langsung adinda? Mengapa kita tak lagi menyelesaikan semuanya dengan berbicara? Mengapa engkau memilih jalan pintas itu untuk pergi?
Bisa protes apalagi aku, karena terjawab jua mengapa kau memilih mengakhirinya. Dua hari lalu kau minta bicara, tapi lagi -lagi aku mengabaikannya karena janji futsalan dengan teman kantor.
Kau pintar, bicara denganmu adalah penghakiman atas tindakan-tindakanku yang salah. Bukan diskusi terbuka yang sehat antar dua insan manusia yang dewasa. Siapa juga yang mau disalah-salahi? Walaupun tindakanku memang salah.
Tapi kan aku imamnya? Terserah aku dong mau berbuat apa?
***
"Ayaaah... Buka pintunya... Kami lapeeer..." Rengekan Azka, diiringi tangisan Rayi dan juga si bungsu Ali.
Ah, tak bisakah mereka memberikanku waktu untuk sekedar berkabung sedih? Aku baru saja kehilangan istri, masih harus memikirkan kebutuhan mereka.
Seketika aku teringat, beginikah yang dirasakan istriku saat itu? Saat ia mengingatkan tangannya yang hanya dua? Saat ia stress ketika ketiganya membutuhkannya di waktu yang bersamaan?
Aku ingat, mereka belum makan dari kemarin, panggilan perut mereka saat ini adalah suatu kewajaran. Duh, susah sekali harus menekan emosi saat pikiran penuh oleh banyak hal lain.
Tak urung, kuseka juga airmata dan mengelus kepala mereka bertiga. Menuju dapur dan membuka kulkas untuk melihat bahan makanan yang tersedia. Saat membukanya, aku jatuh terduduk.
Kutemukan suratmu di sana.
-Untuk Suamiku.-
Begitu tulisan yang tertera di amplopmu, membuatku membukanya dengan tergesa-gesa, akhirnya aku mengetahui alasan kepergianmu, dengan demikian aku mendapat "penutupan" atas kalimat tanya besar dalam kepalaku 2 hari ini.
Jika kau membaca surat ini, artinya kau sudah lulus tahapan pertama menjadi seorang bapak, yang alpa kau lakukan 9 tahun ini.
Karena kau sudah lulus tahapan pertama, artinya tahapan selanjutnya pasti akan lebih mudah kau lalui. Berikut kujabarkan kebiasaan anak-anak kita, anggap ini kisi-kisimu melewati ujian hidup kedepan saat membersamai mereka.
Mereka makan dua kali sehari, makanan mereka tak susah-susah amat. Aku sudah tinggalkan beberapa sayuran lengkap dengan bumbunya agar kau tak kerepotan di 5 hari pertama, ingat-ingat resep dan takarannya ya! Karena setelah 5 hari tidak akan ada tutorial lagi.
Maaf ya,
Karena akhirnya aku memutuskan egois untuk mengambil cuti panjang yang tak pernah kau berikan.
Aku melirik beberapa plastik berisi sayuran yang sudah disiangi dan juga bumbu yang sudah dikupas beserta catatan kecil cara memasaknya. Tulisan tanganmu yang kembali membuat leleh airmataku.
Aku tak bisa bayangkan bagaimana kondisi mentalmu saat mempersiapkan semua ini. Apakah di sana lebih baik dibanding hidup denganku, adinda? Kau masih memikirkan kebutuhanku dan juga anak-anak kita bahkan saat hatimu kalut.
Ada ayam dan tempe ungkep juga kesukaan anak-anak. Telur dan juga nugget sebagai selingan hanya agar mereka mau makan. Maaf anak-anakmu makannya tak variatif dan mereka terbiasa dengan itu, tanganku cuma dua, Yah.
Azka gampang mimisan jika terlalu banyak pikiran dan istirahatnya kurang, pastikan dia cukup istirahat ya jika tak ingin kerepotan mengurus anak sakit. Jika musim berganti, pastikan mereka minum vitamin bintang-bintang yang mereka sukai itu.
Kaki Rayi gampang linu jika kelelahan, jika tak ingin bergadang mijetin semalaman, pastikan mengoleskan balsam di kedua kakinya jika sebelum tidur dia sudah tampak gelisah sembari menekuk kaki.
Ali belum bisa berbicara, tapi bahkan kakak-kakaknya yang belum remaja itu sendiri paham yang dia minta. Cobalah memahaminya dengan hati, bukan logika seperti yang biasanya kau lakukan dan berakhir memarahinya karena kau tak paham ia minta apa.
Mereka butuh dipahami olehmu yang dewasa, bukan justru belajar memahamimu. Jadi, seperti yang sering kau katakan dengan enteng saat aku sudah cerewet.
Sabarlah...
Begitu akhir dari suratmu yang kubolak balik karena tak percaya percakapan kita yang akhirnya baru kudengar (baca) ini berakhir begitu saja. Tapi tak ada. Tulisanmu hanya sampai situ saja.
"Ada lauk apa, Yah?" Azka menyapa dari balik bahuku ikut melongok isi dalam kulkas.
"Mm... Azka mau makan apa?"
"Ayam goreng aja, Yah." Tatapan Azka tertuju pada kotak berisi potongan-potongan ayam yang sudah diungkep dan siap digoreng.
"Oke, Azka panggil adek-adek tunggu di meja makan ya?" titahku yang dijawabnya dengan anggukan kepala.
Wangi ayam saat digoreng memenuhi ruangan saat baru masuk di wajan yang panas.
"Horeee... Ayam goreng ya Bunda?" Rayi berlari menyusul ke dapur dan tercekat saat bukan orang yang dirindukan yang berdiri menunggu ayam matang. Ia berbalik menunduk lesu ke arah meja makan dan duduk menekuk kaki.
Bagaimana ini, aku tak memikirkan rasa kehilangan mereka dan sibuk berkubang dengan kesedihanku sendiri. Saat ayam itu sudah matang, aku menyiapkan makanan mereka.
Azka menatap ayam yang kugoreng dengan masygul, begitu juga Rayi.
"Ada apa, mas Azka? Rayi? Ayo makan, keburu dingin entar."
"Azka biasanya di gorengkan paha sama bunda... Karena Azka gak pandai makan daging dada dan bagian yang banyak tulangnya."
"Iya, Rayi juga sama Yah. Adek Ali juga, suka yang banyak kulitnya soalnya rasanya lebih enak."
"Oh, ya sudah Ayah gorengkan lagi kalau begitu."
"Gorengnya jangan terlalu kering ya Yah biar gak keras."
Tak lupa Azka menambahkan instruksi. Baru kali ini aku tahu jika selera mereka berbanding terbalik denganku. Aku ingat, saat makan bersama waktu kuliah dulu kamu juga suka makan dada ayam sepertiku dengan alasan dagingnya bisa dapat lebih banyak.
Aku gak pernah ingat sejak kapan kamu beralih lebih menyukai bagian ceker, kepala dan leher.
Setelah kamu tiada kini baru aku tahu alasannya. Karena bagian-bagian terbaik telah kau berikan pada kami.
Sesak rasanya hati ini, apalagi mengingat sindiranku padamu yang sedang menggerogoti selipan daging di leher ayam.
"Meooong..." Demikian sindirku yang menerbitkan senyummu, aku benar-benar tak peka.
"Adinda, jangan ngadu sama Allah ya tentang kedzalimanku yang tak memperhatikanmu?"
Tepat di hari kematian Mas Afnan - suaminya, seorang wanita asing datang bersama seorang laki-laki dewasa. Tangis histerisnya membuat Ayna seketika menyusut mata. Siapa dia? Mengapa ia tampak lebih berduka darinya? “Maaf, anda siapa?” “Mbak Ayna, saya Maria istri kedua mas Afnan. Kami telah menikah diam-diam selama 30 tahun ini. Kenalkan ini Riko, anak kami."
(NOT) Your Ordinary Lab Girl Meha - Asisten Laboratorium Mikrobiologi di Universitas Elephas hampir saja menjadi tersangka pembunuhan berantai yang sedang marak terjadi di kotanya. Hanya karena TKP korban pertama kali ditemukan di laboratorium tempat ia bekerja. Remi - rekan kerjanya sesama asisten juga ikut terseret dalam arus konspirasi dan politik yang memanas di kampusnya. Mereka berdua difitnah di sana sini. Mau tak mau, ia harus turun tangan menyelesaikan teka teki pembunuhan ini jika tak ingin nama baiknya semakin tercemar dan kuliahnya putus di tengah jalan. Setelah kasus pertama yang dapat diselesaikannya itu, muncul kasus kedua dengan pembunuh yang berbeda. Seolah - olah menjadikannya magnet bagi para pembunuh yang kepiawaiannya dalam melancarkan aksi itu haus untuk dibongkar Meha. T A N T A N G A N Terima, atau tidak?
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)
Niat untuk melamar pekerjaan sebagai pengasuh, karena membutuhkan pekerjaan tambahan demi menyambung hidup dan membiayai pengobatan ayahnya, justru mengantarkan Laura pada kegilaan Greyson yang merenggut kesuciannya, dan mengikat untuk menjadi pemuas nafsu. Akankah Laura bersedia menjadi budak pemuas Grey demi sejumlah uang untuk pengobatan ayahnya?
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Bayangkan menikah dengan seorang pria miskin hanya untuk menemukan bahwa dia sebenarnya tidak miskin. Katherine tidak tahu apa lagi yang harus diharapkan setelah dia dicampakkan oleh pacarnya dan akhirnya menikah dengan pria lain keesokan harinya. Suami barunya, Esteban, tampan, tetapi dia pikir kehidupan pernikahannya tidak akan istimewa sama sekali. Dia terkejut ketika menemukan bahwa Esteban sebenarnya sangat lengket. Anehnya, semua masalah yang dia temui setelah pernikahan diselesaikan dengan mudah. Ada sesuatu yang ganjil. Dengan curiga, dia bertanya padanya, "Esteban, apa yang terjadi di sini?" Sambil mengangkat bahu, Esteban menjawab, "Mungkin keberuntungan ada di pihakmu." Katherine memercayainya. Bagaimanapun, dia telah menikah dengan Esteban ketika pria itu akan bangkrut. Dialah pencari nafkah keluarga mereka. Mereka terus menjalani hidup sebagai pasangan sederhana. Jadi, tidak ada yang mempersiapkan Katherine untuk kejutan yang dia terima suatu hari. Suaminya yang sederhana tidak sesederhana itu! Dia tidak percaya bahwa dia benar-benar menikah dengan seorang miliarder. Sementara dia masih memproses keterkejutannya, Esteban memeluknya dan tersenyum. "Bukankah itu bagus?" Kathrine punya sejuta pertanyaan untuknya.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?