Istriku mati, memilih bunuh diri, begitu tiba-tiba, tanpa tanda-tanda. Meninggalkanku dengan tia anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Seiring waktu, satu persatu alasan kematian istriku terkuak, yang membuatku terhenyak. Aku yang awalnya merasa telah menjadi suami dan imam yang sempurna, dihadapkan kenyataan yang sebaliknya. Ultimatum dari mertua membuatku berpikir ulang tentang peranku sebagai kepala rumah tangga. Nasi telah menjadi bubur, dan kini aku harus menuai apa yang sudah kutabur.
Jasad istriku diturunkan dalam liang lahat, tangan ini terulur hendak menyambutnya. Sama seperti saat aku menyambutnya dengan senyum terkembang kala meminta kesediaannya untuk menikah denganku dulu. Waktu itu, aku menjanjikannya dunia beserta isinya, yang tak pernah kupenuhi.
Berjanji saat hati bahagia itu memang paling mudah.
Hanya kali ini, aku menyambutnya di bawah dengan berusaha tegar walau tanganku gemetar tak karuan. Dengan hembusan napas panjang dan hati getir meletakkannya dalam ceruk dan memiringkan tubuhnya ke arah kiblat.
Aku masih kuat.
Dibantu orang-orang lain aku mengubur tubuh istriku dengan gundukan tanah, hati-hati sekali takut menyakitinya. Takut menyakitinya? Mengapa baru sekarang aku memikirkannya? Selama ini aku lupa bertanya bagaimana keadaannya.
10 tahun lalu, diserahkannya padaku tanggungjawab atas istriku dari ayahnya saat aku berjanji di depan penghulu, tapi rupanya aku bukanlah lelaki atas sumpahku. Setelah ia dalam genggaman, tak lagi aku merepotkan diri memberikannya perhatian.
Tak pernah sekalipun bertanya kabarnya, bahkan enggan tiap membaca pesan darinya yang bertanya keberadaanku dan kapan aku pulang. Lebih-lebih harus mendengarkan cerita hari-harinya, setiap kali ia hendak bercerita aku mengabaikannya dan memilih nongkrong dengan teman-temanku saja.
Paling dia hanya akan mengeluh soal kerjaan rutinnya sebagai ibu rumah tangga dan menjaga anak-anak kami bertiga, lagu lama kaset rusak, aku bosan. Dia wanita yang kunikahi karena kepintarannya dulu, kini isi obrolan kami bukanlah lagi tentang ilmu terbaru tapi cerita sehari-hari yang tak memiliki bobot.
Dia pikir kerja di luar tak capek, bertemu dengan banyak rekan kerja dengan karakternya masing-masing yang bikin pusing kepala. Aku pulang mau istirahat, bukan mendengarkan masalah orang lain lagi.
Sehingga, jika kulihat ia mendekat hendak mulai mengeluh, maka aku memotongnya duluan dengan keluar ngopi ke rumah tetangga agar pikiranku rileks. Waktu itu aku merasa, rumah bukanlah rumah, tapi bara api, selalu panas. Belum lagi teriakan anak-anakku yang bersahutan tak henti-henti, telingaku penging dan memunculkan emosi.
Sengaja aku pulang tengah malam, saat mereka semua sudah tertidur, dengan demikian aku juga bisa langsung istirahat setibanya di rumah. Sebal sekali, padahal besok pagi harus mulai kerja lagi.
Tentang Ali, anak bungsu yang kehadirannya karena kesalahanku yang tak sempat memutus pers*ngg*maan kami saat aku mencapi klimaks, namun aku berdalih bahwa Ali adalah permintaanmu dulu saat kita masih sama-sama kuliah.
Aku masih ingat betul sorot mata tak terimamu waktu itu dan berkata.
"Itukan dulu waktu aku belum tahu repotnya menjaga anak kecil-kecil di waktu yang bersamaan! Bahkan Rayi masih kecil 15 bulan, dan Azka baru 4 tahun, bagaimana jika nanti aku hamil lagi? Sedang kau tak pernah di rumah membantuku merawat anak-anak?"
"Kalau hamil lagi ya rejeki, alhamdulillah." Dalihku enteng sambil tersenyum padanya.
"Enteng banget ya Yah ngomongnya, kamu gak pernah tahu stressnya. Mengurus satu bayi saja sudah berat, ditambah lagi harus mengurusi kakak-kakaknya yang masih balita. Mereka juga butuh perhatian, tanganku cuma dua lho."
"Bunda, semua itu akan terasa ringan jika kita melakukannya dengan ikhlas, apa yang bunda lakukan itu tak tampak nilainya, tapi disitulah letak ujiannya. Kalau bunda bisa ikhlas menjalaninya, balasannya surga."
Aku tak lagi mendengar sanggahanmu waktu itu, saat kulirik mulutmu menganga kehabisan kata-kata. Dan itulah memang tujuanku, yaitu diammu.
Aku ingat, kau masih menyusui Rayi setelah hasil test pack mu menunjukkan garis dua. Juga rutin mengayuh sepeda untuk Azka, sulung kita yang baru masuk TK A karena kamu tak pandai membawa motor.
Hingga 5 bulan lamanya kau tetap memberikan hak ASI untuk anak kita yang kedua yang masih balita sembari menyicil tanah di kampung kelahiranku waktu itu, itupun karena inisiatif darimu.
Padahal aku merasa waktu itu masih belum siap untuk memiliki hutang, tapi kamu cerita jika ibuku bertanya kemana saja hasil kerjaku selama ini, maka demi memenuhi harapan orang tuaku kita menyicil tanah waktu itu.
Gajiku sangat mepet untuk hidup kita di kota penyangga Jakarta waktu itu, sehingga kamu berinisiatif untuk berjualan donat frozen ataupun yang siap santap untuk menambal sulam kebutuhan yang kurang.
Aku senang waktu itu, melihatmu keluar dari zona nyaman. Padahal kau melakukannya sembari mengurus rumah, Azka, Rayi dan juga jabang bayi dalam tubuhmu. Bergadang hingga tengah malam mengulen donat.
Tugasku adalah mencarikan pelanggan dari teman-temanku karena donat buatanmu memang enak, aku tak ingat bahwa tubuhmu entah bagaimana keadaannya waktu itu. Karena aku tidur sepanjang malam, tak pernah mengerti ceritamu yang mengeluh ingin rebahan tapi sudah disambut oleh tangisan Rayi 2 jam sekali setiap malam.
Aku ingat lagi, pernah kesal padamu yang masih tidur di pagi hari saat aku hendak berangkat kerja. Tak paham keluhanmu yang bilang habis begadang semalaman mengurus Azka yang demam dan Rayi yang bolak balik meminta asi.
Lebay sekali! Ngurus dua anak saja sudah seperti repotnya dokter memimpin operasi. Suami mau berangkat kerja malah tidur enak-enakan bukannya nyiapin bekal dan sarapan!
***
Lihatlah rapuhnya aku kini, saat ketiga anak kita yang masih sangat membutuhkan sosok bundanya menangis memegangi kedua tanganku sembari menatap gundukan tanah merahmu. Belum apa-apa batinku sudah lelah luar biasa.
Sesampainya di rumah, melihat dastermu tergantung di kastok membuatku tersedu sedan. Tumpah sudah semua tangisan, penyesalan, dan juga kekecewaan dari dalam diriku untukku sendiri. Kukunci pintu dan memeluk erat baju rumahmu yang dulu pernah kuprotes itu karena membuatmu tampak jelek dan tak memantik gairahku.
Wangi tubuhmu masih menempel di sana, bagaimana bisa wangi yang dulu menyebalkan ini kini membuatku candu? Kapan lagi aku dapat mengirup wangi tubuhmu secara langsung adinda? Mengapa kita tak lagi menyelesaikan semuanya dengan berbicara? Mengapa engkau memilih jalan pintas itu untuk pergi?
Bisa protes apalagi aku, karena terjawab jua mengapa kau memilih mengakhirinya. Dua hari lalu kau minta bicara, tapi lagi -lagi aku mengabaikannya karena janji futsalan dengan teman kantor.
Kau pintar, bicara denganmu adalah penghakiman atas tindakan-tindakanku yang salah. Bukan diskusi terbuka yang sehat antar dua insan manusia yang dewasa. Siapa juga yang mau disalah-salahi? Walaupun tindakanku memang salah.
Tapi kan aku imamnya? Terserah aku dong mau berbuat apa?
***
"Ayaaah... Buka pintunya... Kami lapeeer..." Rengekan Azka, diiringi tangisan Rayi dan juga si bungsu Ali.
Ah, tak bisakah mereka memberikanku waktu untuk sekedar berkabung sedih? Aku baru saja kehilangan istri, masih harus memikirkan kebutuhan mereka.
Seketika aku teringat, beginikah yang dirasakan istriku saat itu? Saat ia mengingatkan tangannya yang hanya dua? Saat ia stress ketika ketiganya membutuhkannya di waktu yang bersamaan?
Aku ingat, mereka belum makan dari kemarin, panggilan perut mereka saat ini adalah suatu kewajaran. Duh, susah sekali harus menekan emosi saat pikiran penuh oleh banyak hal lain.
Tak urung, kuseka juga airmata dan mengelus kepala mereka bertiga. Menuju dapur dan membuka kulkas untuk melihat bahan makanan yang tersedia. Saat membukanya, aku jatuh terduduk.
Kutemukan suratmu di sana.
-Untuk Suamiku.-
Begitu tulisan yang tertera di amplopmu, membuatku membukanya dengan tergesa-gesa, akhirnya aku mengetahui alasan kepergianmu, dengan demikian aku mendapat "penutupan" atas kalimat tanya besar dalam kepalaku 2 hari ini.
Jika kau membaca surat ini, artinya kau sudah lulus tahapan pertama menjadi seorang bapak, yang alpa kau lakukan 9 tahun ini.
Karena kau sudah lulus tahapan pertama, artinya tahapan selanjutnya pasti akan lebih mudah kau lalui. Berikut kujabarkan kebiasaan anak-anak kita, anggap ini kisi-kisimu melewati ujian hidup kedepan saat membersamai mereka.
Mereka makan dua kali sehari, makanan mereka tak susah-susah amat. Aku sudah tinggalkan beberapa sayuran lengkap dengan bumbunya agar kau tak kerepotan di 5 hari pertama, ingat-ingat resep dan takarannya ya! Karena setelah 5 hari tidak akan ada tutorial lagi.
Maaf ya,
Karena akhirnya aku memutuskan egois untuk mengambil cuti panjang yang tak pernah kau berikan.
Aku melirik beberapa plastik berisi sayuran yang sudah disiangi dan juga bumbu yang sudah dikupas beserta catatan kecil cara memasaknya. Tulisan tanganmu yang kembali membuat leleh airmataku.
Aku tak bisa bayangkan bagaimana kondisi mentalmu saat mempersiapkan semua ini. Apakah di sana lebih baik dibanding hidup denganku, adinda? Kau masih memikirkan kebutuhanku dan juga anak-anak kita bahkan saat hatimu kalut.
Ada ayam dan tempe ungkep juga kesukaan anak-anak. Telur dan juga nugget sebagai selingan hanya agar mereka mau makan. Maaf anak-anakmu makannya tak variatif dan mereka terbiasa dengan itu, tanganku cuma dua, Yah.
Azka gampang mimisan jika terlalu banyak pikiran dan istirahatnya kurang, pastikan dia cukup istirahat ya jika tak ingin kerepotan mengurus anak sakit. Jika musim berganti, pastikan mereka minum vitamin bintang-bintang yang mereka sukai itu.
Kaki Rayi gampang linu jika kelelahan, jika tak ingin bergadang mijetin semalaman, pastikan mengoleskan balsam di kedua kakinya jika sebelum tidur dia sudah tampak gelisah sembari menekuk kaki.
Ali belum bisa berbicara, tapi bahkan kakak-kakaknya yang belum remaja itu sendiri paham yang dia minta. Cobalah memahaminya dengan hati, bukan logika seperti yang biasanya kau lakukan dan berakhir memarahinya karena kau tak paham ia minta apa.
Mereka butuh dipahami olehmu yang dewasa, bukan justru belajar memahamimu. Jadi, seperti yang sering kau katakan dengan enteng saat aku sudah cerewet.
Sabarlah...
Begitu akhir dari suratmu yang kubolak balik karena tak percaya percakapan kita yang akhirnya baru kudengar (baca) ini berakhir begitu saja. Tapi tak ada. Tulisanmu hanya sampai situ saja.
"Ada lauk apa, Yah?" Azka menyapa dari balik bahuku ikut melongok isi dalam kulkas.
"Mm... Azka mau makan apa?"
"Ayam goreng aja, Yah." Tatapan Azka tertuju pada kotak berisi potongan-potongan ayam yang sudah diungkep dan siap digoreng.
"Oke, Azka panggil adek-adek tunggu di meja makan ya?" titahku yang dijawabnya dengan anggukan kepala.
Wangi ayam saat digoreng memenuhi ruangan saat baru masuk di wajan yang panas.
"Horeee... Ayam goreng ya Bunda?" Rayi berlari menyusul ke dapur dan tercekat saat bukan orang yang dirindukan yang berdiri menunggu ayam matang. Ia berbalik menunduk lesu ke arah meja makan dan duduk menekuk kaki.
Bagaimana ini, aku tak memikirkan rasa kehilangan mereka dan sibuk berkubang dengan kesedihanku sendiri. Saat ayam itu sudah matang, aku menyiapkan makanan mereka.
Azka menatap ayam yang kugoreng dengan masygul, begitu juga Rayi.
"Ada apa, mas Azka? Rayi? Ayo makan, keburu dingin entar."
"Azka biasanya di gorengkan paha sama bunda... Karena Azka gak pandai makan daging dada dan bagian yang banyak tulangnya."
"Iya, Rayi juga sama Yah. Adek Ali juga, suka yang banyak kulitnya soalnya rasanya lebih enak."
"Oh, ya sudah Ayah gorengkan lagi kalau begitu."
"Gorengnya jangan terlalu kering ya Yah biar gak keras."
Tak lupa Azka menambahkan instruksi. Baru kali ini aku tahu jika selera mereka berbanding terbalik denganku. Aku ingat, saat makan bersama waktu kuliah dulu kamu juga suka makan dada ayam sepertiku dengan alasan dagingnya bisa dapat lebih banyak.
Aku gak pernah ingat sejak kapan kamu beralih lebih menyukai bagian ceker, kepala dan leher.
Setelah kamu tiada kini baru aku tahu alasannya. Karena bagian-bagian terbaik telah kau berikan pada kami.
Sesak rasanya hati ini, apalagi mengingat sindiranku padamu yang sedang menggerogoti selipan daging di leher ayam.
"Meooong..." Demikian sindirku yang menerbitkan senyummu, aku benar-benar tak peka.
"Adinda, jangan ngadu sama Allah ya tentang kedzalimanku yang tak memperhatikanmu?"
Tepat di hari kematian Mas Afnan - suaminya, seorang wanita asing datang bersama seorang laki-laki dewasa. Tangis histerisnya membuat Ayna seketika menyusut mata. Siapa dia? Mengapa ia tampak lebih berduka darinya? “Maaf, anda siapa?” “Mbak Ayna, saya Maria istri kedua mas Afnan. Kami telah menikah diam-diam selama 30 tahun ini. Kenalkan ini Riko, anak kami."
(NOT) Your Ordinary Lab Girl Meha - Asisten Laboratorium Mikrobiologi di Universitas Elephas hampir saja menjadi tersangka pembunuhan berantai yang sedang marak terjadi di kotanya. Hanya karena TKP korban pertama kali ditemukan di laboratorium tempat ia bekerja. Remi - rekan kerjanya sesama asisten juga ikut terseret dalam arus konspirasi dan politik yang memanas di kampusnya. Mereka berdua difitnah di sana sini. Mau tak mau, ia harus turun tangan menyelesaikan teka teki pembunuhan ini jika tak ingin nama baiknya semakin tercemar dan kuliahnya putus di tengah jalan. Setelah kasus pertama yang dapat diselesaikannya itu, muncul kasus kedua dengan pembunuh yang berbeda. Seolah - olah menjadikannya magnet bagi para pembunuh yang kepiawaiannya dalam melancarkan aksi itu haus untuk dibongkar Meha. T A N T A N G A N Terima, atau tidak?
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Dia adalah seorang dokter luar biasa yang terkenal di dunia, CEO dari sebuah perusahaan publik, tentara bayaran wanita yang paling tangguh, dan seorang jenius teknologi papan atas. Marsha, seorang wanita dengan sejumlah besar identitas rahasia, telah menyembunyikan identitasnya yang sebenarnya untuk menikah dengan seorang pria muda yang tampaknya miskin. Namun, pada malam pernikahan mereka, tunangannya, yang sebenarnya adalah pewaris yang hilang dari keluarga kaya, membatalkan pertunangan dan membuatnya mengalami hinaan dan ejekan. Setelah pengungkapan identitasnya yang tersembunyi, mantan tunangannya tertegun dan dengan putus asa memohon pengampunannya. Berdiri dengan protektif di hadapan Marsha, seorang tokoh terkemuka yang sangat berpengaruh dan menakutkan menyatakan, "Ini istriku. Siapa yang berani merebutnya dariku?"
Warning! Explicit mature content included Mergokin pacar tidur sama teman sekampus, diusir dari kos, kucing kesayangan dilempar keluar rumah, ditambah hujan deras yang sedang mengguyur kota Pahlawan. Sungguh perpaduan sempurna untuk melatih kesehatan mental! Padahal semua ini hanya karena telat bayar kos sehari aja, malah dia ditendang dari rumah yang sudah diamanahkan untuk ia rawat oleh mendiang pemilik rumah. Ujian berat inilah yang sedang melanda hidup Mariska. Seolah Ujian Akhir Semester tak cukup membuatnya berdebar-debar karena harus pandai mengatur jadwal kuliah di sela kesibukannya bekerja. Namun, kata orang badai selalu datang bersama pelangi. Di tengah sadisnya ujian hidup yang harus Mariska hadapi ternyata takdir malah membawanya menuju tempat kos baru yang lebih modern, bersih, dengan harga sewa murah. Belum lagi jantungnya ikut dibuat berdebar kencang saat tahu pemilik kos ternyata pria muda, lajang, dan rrrr- hottie. Plus satu lagi yang bikin lebih jantungan, saat si Om kos malah ngotot ngajakin Mariska nikah detik ini juga. Kok bisa?! Apa alasannya? Ingin menghindar, tapi tak punya pilihan. Belum lagi saat keduanya semakin dekat malah Mariska jadi lebih sering mendapatan mimpi yang terasa seperti Deja Vu. Tanpa sadar memori gadis ini dipaksa kembali ke masa lalu di mana sebuah tragedi mengerikan menimpa keluarganya. Sanggupkah Mariska bertahan menjadi salah satu penghuni kos yang diisi oleh sekumpulan manusia nyentrik dengan beragam profesi tak terduga? "Mungkin ini cara Tuhan untuk mengajariku agar tak mudah menyerah." Ares tak menyangka bahwa dia akan bertemu kembali dengan cinta pertamanya melalui jalan takdir paling manis meskipun terasa tragis bagi keduanya. Lalu bagaimana dengan Mariska? Kapan ia sadar bahwa Ares adalah cinta pertamanya saat masih bocah dulu? Kisah seru mereka hanya bisa dibaca di Om Kos!
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Kara dijual oleh suaminya tepat pada malam pertama pernikahan mereka, pada lelaki bernama Angkasa. Kara harus melayani sang CEO selama satu bulan. Hari demi hari dilalui Kara bersama Angkasa, hingga Kara mengandung. Akan tetapi, Angkasa tidak mau mengakui bahwa bayi yang di dalam kandungan Kara adalah darah dagingnya--karena kesalahpahaman. Kara dicampakkan begitu saja. Kara makin menderita karena perbuatan mertua dan suaminya. Dia menghadapi penderitaan hidup seorang diri dalam kondisi mengandung. Kara akhirnya bisa sukses menjadi desainer berkat kerja keras. Angkasa muncul kembali pada kehidupan Kara. Menyesal dan meminta maaf. Akankah Kara menerima permintaan maaf Angkasa?