/0/12665/coverbig.jpg?v=8a8a5ae83c115e6a65e8fce70d0e221f)
Don Vincent Corleane, seorang ketua mafia yang dingin dan kejam. Dirinya harus menerima sebuah perjodohan yang telah direncanakan oleh Ayahnya dengan cucu seorang bangsawan. Silvana Aramazd, gadis bercadar yang lembut dengan dunianya yang sangat tenang. Perjodohan keduanya tak ubahnya sebuah simbiosis mutualisme, yaitu menarik Vincent dari kemelut dunia hitamnya dan mengungkap misteri kematian orang tua Silvana. Mampukah keduanya bersanding dengan dunia yang sangat bertolak belakang? Mampukah Silvana yang bagai bidadari bertahan pada ikrar suci pernikahan dengan Vincent yang dunianya penuh dengan kemaksiatan?
Vincent menjatuhkan bobotnya di jok belakang mobilnya. Ia melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Setumpuk pekerjaan kantor membuatnya merasa frustasi.
Sebuah mobil sport hitam melaju membelah jalanan kota Los Angeles. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi setiap sisinya. Vincent yang kacau berusaha untuk memejamkan mata.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat dipipi mulus seorang perempuan. Alice, kekasih Vincent itu sedang berada di sebuah club malam bersama seorang pria. Gadis itu nampak sedang bercumbu mesra dengan pria disebelahnya. Hingga sesaat kemudian seorang pria datang dengan amarah yang memuncak, menarik tangan Alice lalu menamparnya.
Suasana menjadi ricuh. Perkelahian pun terjadi tak terkendali. Vincent yang sudah dibutakan oleh amarah memukul pria itu dengan membabi buta. Menghajarnya hingga pria itu tak sadarkan diri.
Vincent menghampiri Alice yang berdiri disudut ruangan dengan badan bergetar. Gadis itu tampak syok. Vincent lantas mencekik leher Alice dan menyeretnya keluar dari club malam tersebut. Gadis itu meronta karena kesusahan bernapas. Tubuh kekar Vincent dengan mudahnya melempar gadis itu keluar.
Alice merutuki dirinya sendiri. Ia merasa bersalah telah bermain api dibelakang kekasihnya. Gadis itu memeluk kaki Vincent sembari memohon maaf. Tapi dengan segera Vincent menarik kakinya sehingga Alice kembali jatuh tersungkur.
Vincent berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Alice. Pria itu mencengkeram rahang Alice dengan tatapan mata setajam belati.
"Beraninya kau selingkuh dibelakangku, setelah apa yang telah aku berikan padamu" desis Vincent.
"Ma-af kan a-aku V-vin, se-semua tidak seper-ti yang- yang kau pi-pikir-kan" ucap Alice terbata.
"Cuih! Kau pikir aku bodoh, aku melihatmu bercumbu dengan bajingan itu dan kau masih menyangkalnya!" Vincent semakin menguatkan cengkeramannya dan membuat Alice lebih kesakitan.
"A-a-ampuni a-ku Vin, le-paskan, s-sakit" air mata membanjiri pipi mulus Alice yang memerah akibat tamparan keras tangan dingin Vincent. Sudut bibir gadis itu nampak sedikit robek hingga berdarah.
"Tunggulah, aku akan mengirimmu juga keluargamu ke neraka!" ucapnya sambil melepaskan cengkeramannya dengan kasar.
Grep
Gadis itu dengan beraninya memeluk Vincent saat pria itu akan beranjak pergi. Dengan sigap Vincent mendorong tubuh Alice hingga luruh ke tanah. Pemandangan itu tentu disaksikan oleh puluhan pasang mata, tapi mereka hanya menunduk tak berani menatap karena mereka tau siapa Vincent sebenarnya.
Vincent memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Bayangan kejadian menyakitkan beberapa hari yang lalu terus berputar didalam pikirannya. Ken yang duduk di kursi kemudi hanya melirik Tuannya melalui kaca kemudi. Ia tahu bahwa Vincent sedang tidak baik-baik saja.
Setelah kejadian tempo hari, Alice terus menghubungi Vincent bahkan dengan beraninya gadis itu mendatangi mansion mewah Vincent tapi hasilnya nihil. Pria itu benar-benar memutuskan hubungan dengan Alice, kekasih yang amat dicintainya selama 5 tahun terakhir.
Mobil sport hitam itu berhenti tepat dihalaman sebuah mansion mewah di pusat kota Los Angeles diikuti dua mobil jeep dibelakangnya. Vincent turun dan langsung menuju kamar pribadinya di lantai dua.
Pria itu melepaskan semua pakaiannya dan berjalan menuju shower. Guyuran air dingin dari shower membuat dirinya merasa sedikit rileks. Dengan memakai kaos putih dan celana pendek warna coklat ia turun menuju ruang makan.
Matanya terbelalak, seorang pria telah duduk disana dan makan malam dengan santainya. Tatapan mereka beradu. Sorot mata abu setajam mata elang seakan membunuh Vincent. Aura hitam pekat pria tersebut menguar memenuhi segala penjuru.
"Kau menatapku seakan ingin membunuhku!" seloroh Vincent.
"Ya, bisa saja itu terjadi. Tapi aku lapar, aku butuh tenaga untuk melawanmu, bukankah begitu?"
"Ck! Bajingan sinting"
Vincent duduk disamping pria itu. Kemudian menyunggingkan bibirnya. Pria itu terus mengumpat kepada Vincent. Vincent memutar matanya keatas karena malas mendengar ocehan pria disebelahnya.
"Shit! Aku datang tapi tak ada sambutan sama sekali!"
"Aku tidak menyuruhmu datang!" timpal Vincent dingin.
"Kalau bukan karena Ayah aku malas datang kesini!"
"Makan! Telingaku akan rusak mendengarkan ocehanmu yang seperti perempuan"
"Brengsek!"
Dante baru saja datang dari Italia. Ia datang ke Los Angeles atas perintah dari Tuan Corleane. Setelah kejadian pengkhianatan yang dialami Vincent tempo hari membuat Tuan Corleane merasa tidak tenang hingga akhirnya menghubungi Dante untuk datang ke Los Angeles.
Hening. Tidak ada percakapan sama sekali. Yang ada hanya suara dentingan garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Setelah makan, mereka berdua menuju ruang baca, yang berada diujung lantai dua.
Dante merebahkan diri di sofa sementara Vincent menyandarkan tubuhnya di sofa sebelahnya dengan sebuah buku tebal ditangannya.
"Kau benar melihat Alice berselingkuh?"
"Mataku tidak buta!"
"Maksudku, apa kau benar mencekik dan melemparnya keluar?"
Vincent menutup bukunya. Ia menatap ke depan sembari mengepalkan tangan.
"Seharusnya aku membunuhnya saat itu juga!"
"Bukankah kau sangat mencintainya?"
"Persetan dengan cinta!"
Dante mendengus kasar. Vincent bukanlah seseorang yang mudah mengampuni kesalahan orang lain, terlebih lagi sebuah pengkhianatan. Tak ada percakapan yang serius antara keduanya. Hanya sebuah percakapan ringan ditemani secangkir teh dan juga angin sepoi musim gugur di luar mansion.
Setelah larut malam, mereka berdua menuju kamar masing-masing. Vincent merebahkan tubuhnya diranjang kingsize miliknya. Ia teringat pernyataan Dante beberapa jam yang lalu diruang baca.
"Aku dengar Ayah sudah mempunyai calon istri untukmu"
"Hah! Omong kosong!"
"Mengapa? Apa kau masih mengharapkan jalang itu?"
Sepenggal kalimat yang dilontarkan Dante membuat Vincent merasa pusing. Pria bangkit dari ranjang. Ia menatap bingkai foto besar yang tergantung didepan ranjangnya. Tangan kekarnya meraih bingkai foto tersebut. Disana nampak seorang gadis dengan rambut blonde tersenyum indah.
Pyarrr
Bingkai foto itu pecah dilantai. Kakinya dengan kasar menginjak foto yang tergeletak dilantai dengan pecahan kaca dimana-mana. Hatinya bergemuruh. Tangannya mengepal. Matanya memerah mengingat kejadian tempo hari.
Vincent meraih jaket hitam dan menyambar kunci mobil. Tak lupa ia menyelipkan sebuah senjata di belakang pinggangnya. Pria itu melajukan mobil mewahnya membelah jalanan malam kota yang ramai.
Mobil itu berhenti didepan sebuah club malam. Ia memesan sebuah ruangan VIP disana. Dua wanita seksi masuk lalu kemudian bergelayut manja pada Vincent. Mereka mencumbu setiap inci tubuh Vincent. Pikirannya yang kacau membuatnya seperti hilang kendali.
Brakk!
Pintu ditendang paksa oleh seseorang dari luar. Nampak Dante berdiri didepan pintu dengan sorot mata elangnya. Pria itu melempar sejumlah uang untuk dua wanita tadi dan menyuruh mereka keluar.
"Kau sudah gila hah! Kau pergi tanpa pengawalan! Apa kau ingin mati konyol!" hardik Dante.
"Hahahaha, peluru bahkan tidak akan bisa membunuhku!"
"Dasar bajingan! Apa kau tidak tau bahwa kau sedang diawasi!"
Benar saja, diluar sedang terjadi sebuah keributan. Beberapa orang bertubuh gempal berpakaian hitam turun dari mobil van hitam menyerang Ken dan pengawal Dante yang sedang berjaga diluar club.
Bunyi tembakan bersahut-sahutan hingga menakuti pengunjung club. Vincent dan Dante keluar. Dua orang musuh tampak sudah tergeletak tak bernyawa, sisanya berhasil ditangkap lalu diseret ke penjara milik Vincent. Sementara Ken mengejar satu orang yang berhasil kabur.
Beberapa jam sebelum kejadian, Ken melihat Vincent keluar mansion dengan mengendarai mobil sendiri tanpa pengawalan. Dari raut wajahnya, pria itu tampak sedang marah. Ken akhirnya mengikuti mobil Vincent secara diam-diam.
Sebuah mobil van hitam mengikuti mobil mereka dari belakang. Ken akhirnya menghubungi Dante. Sesaat setelah Dante datang, perkelahian pun tak terelakkan.
'Siapa yang berani mengusik wilayahku' batin Vincent.
"Apa kau masih berurusan dengan bajingan itu?" Dante seperti tau orang yang berada dibalik penyerangan di club.
"Terakhir kali aku membunuh Damian"
"Dia akan menuntut balas. Berhati-hatilah dengannya, bajingan itu sangat licik"
"Aku tau"
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.
Amora Nouline selalu dibanding-bandingkan oleh sang ibu dengan kakak perempuannya sendiri bernama Alana Nouline! Dalam hal apapun Alana selalu unggul dari Amora, membuat sang Ibu lebih menyayangi Alana dibandingkan dengan Amora. Ketika dihadapkan dengan posisi sang ayah yang sakit parah dan memerlukan biaya rumah sakit yang tidak sedikit, Ibu dan kakak Amora sepakat untuk membujuk agar Amora menjual dirinya demi pengobatan sang ayah. Dengan hati teriris perih, terpaksa dan penuh ketakutan, Amora akhirnya menuruti keinginan ibu dan kakaknya demi kesembuhan sang ayah! Sialnya, malam itu laki-laki yang membeli Amora adalah seorang mafia dingin yang meskipun wajahnya teramat tampan namun wajah itu terlihat sangat menakutkan dimata Amora.
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Ava menarik nafas panjang sebelum melepas penutup terakhir tubuhnya. Dan kali ini, yang hadir hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya. Sore itu ia merasa menyatu dengan alam.