/0/10328/coverbig.jpg?v=285cb73fd438350480124be261fee44d)
Lima tahun yang lalu, Keluarga Parasian bangkrut. Melita melahirkan anak laki-laki kembar. Dia meninggalkan satu anak kepada ayah anak itu dan membawa anak yang lain pergi. Tahun-tahun berlalu. Melita kembali sebagai ratu opini publik yang berkuasa di Internet. Selain warganet, juga ada orang lain yang mengetahui kembalinya Melita. Pria itu mencubit dagunya dan mencibir dengan dingin, "Karena kamu ingin sekali merekam sesuatu, bagaimana kalau kita merekam sesuatu bersama?" Mata Melita melebar dan tenggorokannya menjadi kering. Keesokan harinya, dia melihat seorang anak kecil yang tampak persis seperti anaknya di dalam rumah pria itu. Melita tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk anak itu. Dia bahkan mencium pipi montok anak itu. Anehnya, anak laki-laki itu sangat tidak senang. Dia memasang ekspresi serius dan memarahinya, "Jaga sikapmu!" Melita merasa kesal. Bagaimana bisa pria itu membuat putranya begitu tidak mengemaskan?
"Apa kamu sudah dewasa?"
Di bawah pengaruh obat, Melita Parasian menjawab dengan akal sehat terakhir yang dimilikinya, "Tentu saja! Aku sudah berusia delapan belas tahun hari ini!"
"Lalu kamu memutuskan untuk menjual tubuhmu begitu kamu dewasa, ya? Apa kamu sebegitu kekurangan uang? Atau kamu hanya tidak sabar untuk bisa tidur dengan pria?"
Pria itu menyentuh dagu Melita dengan jari-jarinya yang panjang dan mengangkatnya seolah memeriksa kondisi sebuah barang yang baru diperoleh.
Jari-jarinya yang kasar membelai wajah Melita dengan lembut sampai dia tiba-tiba mencubit dagunya dengan keras dan memaksanya untuk menatap matanya. Pipinya sedikit memerah karena efek obat, yang menjadi undangan tanpa suara untuk sang pria. Wangi tubuhnya yang samar memasuki hidung pria itu, membuat bagian bawah tubuhnya mengeras dan berdenyut di antara kedua kakinya.
Namun, predator tingkat tinggi dikenal lebih sabar daripada bertindak terburu-buru. Itu sebabnya, jari-jari pria itu justru bergerak menembus gaun selipnya untuk menemui kewanitaannya yang sudah basah.
Melita berseru karena ada sesuatu yang memasuki tubuhnya dengan tiba-tiba. Sebelum dia bisa bergerak mundur, bibir pria itu sudah turun ke bibirnya, membuatnya tanpa sadar menjepit kedua pahanya.
"Santai saja." Pria itu melepaskannya sejenak.
"Cepat ...," desak Melita yang sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Air liur pria itu masih berkilau di sudut mulutnya.
Sang pria membungkuk dan menyeringai.
"Kamu hanya seorang gadis muda ...."
Dia berhenti sejenak sambil menatap Melita untuk sementara waktu. Tiba-tiba, dia melonggarkan cengkeramannya dan melangkah mundur dengan dingin.
"Kamu tidak memiliki apa yang kuinginkan dari seorang wanita. Keluar dari sini." Perkataan itu membuat pria itu terlihat kejam dan menjaga jarak.
Sekujur tubuh Melita gemetar. Akan tetapi, dia sudah datang ke tempat ini dan rela mempertaruhkan segalanya, jadi dia tidak akan menerima jawaban tidak. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia menggodanya lagi.
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu bahkan belum mencobanya?" Melita mulai melepas gaun terusan merahnya, lalu bra rendanya, memperlihatkan tubuh indahnya di bawah cahaya yang redup. Dia meraih segelas anggur merah di sampingnya dan menuangkan cairan itu ke tubuhnya. Rasa dingin membuatnya gemetar tak terkendali. Meskipun saat ini dia merasa sangat malu, tindakannya menunjukkan kesungguhannya.
"Aku basah kuyup sekarang. Aku tidak bisa pergi dalam keadaan seperti ini." Anggur merah itu mengalir dari leher ke tulang selangkanya, kemudian turun ke dadanya. Tubuh gadis muda itu terlihat sangat memikat saat ini dan membuat saraf kewarasan sang pria putus.
"Hmm ... dingin ...." Melita mendekatkan diri dengan erat padanya seperti seekor kucing jinak sambil sedikit memutar pinggangnya.
"Kamu yang meminta ini."
Pria itu tertegun selama beberapa detik, tetapi begitu akal sehatnya kembali, dia menarik Melita lagi.
Dia meraih gaun terusan berwarna merah yang masih menutupi paha Melita dan menariknya sampai kain tipisnya menutupi wajah wanita itu.
Dari awal, Melita sudah tidak bisa melihat wajah sang pria dengan jelas karena kamar itu hanya diterangi oleh lampu dinding. Sekarang, dia hanya bisa melihat garis samar sosok pria itu di atas tubuhnya.
Namun, sebaliknya, tubuh Melita benar-benar terlihat jelas bagi pria itu. Ketegangan di tubuhnya menunjukkan betapa gugupnya Melita ketika tangan besar sang pria perlahan meluncur ke tulang selangkanya, berhenti tepat di ujung dadanya yang berwarna merah muda.
Pada saat ini, karena efek obat dan gerakan tangan pria itu yang selang-seling, tubuh Melita pun mulai bergetar tak terkendali. Gairah yang muncul membuatnya menginginkan pria itu untuk masuk ke dalam tubuhnya sekarang juga.
Ketika pria itu menyaksikan betapa kuat reaksi Melita terhadap sentuhannya, tatapannya berubah dingin. Semua kelembutan yang hadir sebelumnya menghilang. Bagaimana dia bisa bersimpati dengan seorang wanita yang menggunakan obat sebelum menawarkan dirinya padanya?
Akhirnya, dia membentangkan kedua kaki Melita tanpa ragu dan segera menenggelamkan dirinya ke dalam wanita itu.
"Aduh ... sakit!"
Tangan lembut Melita menekan dada sang pria, berusaha mendorongnya menjauh, tetapi dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk membuatnya bergerak.
Rasa sakit membuat tubuhnya menjadi sangat tegang, yang semakin menggairahkan pria itu.
Setiap kali sang pria mendorong dengan agresif ke dalam dirinya, dia mencapai tempat yang lebih dalam. Tubuh Melita pun mengikuti irama gerakan tubuhnya. Alisnya yang berkerut dengan erat tidak mampu membangkitkan belas kasihan pria itu.
Melita tidak tahu apakah dia akhirnya bisa beradaptasi dengan keganasannya atau apakah efek obat itu sudah sepenuhnya bekerja, tetapi begitu dia mengerang, wajahnya memerah seperti apel matang. Dia buru-buru menggigit lidahnya dengan keras, berusaha menahan erangan lain yang hendak keluar dari bibirnya.
Ekspresi wajahnya ini hanya semakin merangsang sang pria. Ketika gerakannya menjadi lebih cepat, dia mencium bibir halus Melita dengan kasar.
Suara bagian tubuhnya yang masuk dan keluar dari tubuh Melita serta benturan antar kulit membuat suhu seluruh kamar naik.
Keesokan paginya, Melita bangun dan mendapati dirinya sendirian di kamar itu. Pakaian dan tisu-tisu berserakan di lantai, menunjukkan betapa liarnya aksi tadi malam.
Setiap kali Melita bergerak, dia merasa tubuhnya seolah-olah terkoyak. Setelah berjuang dengan susah payah untuk bangun dari tempat tidur, dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya.
Saat dia melihat sebuah notifikasi transfer uang di ponselnya, dia bergegas menuju rumah sakit kota dan bahkan tidak berpikir untuk mencari keberadaan pria itu.
Selama dia punya uang, ibunya bisa mendapatkan perawatan.
Tidak ada hal lain yang lebih penting baginya, bahkan kesuciannya sendiri.
Setelah membayar biaya pengobatan, Melita memegang tangan ibunya untuk terakhir kali sebelum para perawat membawanya ke ruang operasi.
Melita menunggu selama empat jam sampai dokter keluar dan mengabarkan bahwa kondisi ibunya stabil untuk saat ini. Ketika mendengar ini, dia bersandar ke dinding dan menghela napas lega.
Hanya saja, dia tidak pernah membayangkan bahwa akibat dari tindakannya tadi malam tidak berakhir begitu saja.
Setelah beberapa minggu, Melita menemukan bahwa dirinya hamil.
Meskipun dia hanya tidur dengan pria itu malam itu, dia sudah mengandung bayinya.
Untungnya, yang harus dia lakukan selama beberapa bulan ke depan hanyalah mengurus dirinya sendiri.
Orang yang mempekerjakannya sangat baik. Dia akan menerima uang setiap bulan, yang cukup untuk menutupi biaya pemulihan ibunya.
Seiring berjalannya waktu, perutnya mulai membesar dan kondisi ibunya terus stabil.
Tepat ketika Melita berpikir bahwa dia akhirnya bisa menjalani kehidupan yang damai, dia mendapat kabar dari rumah sakit bahwa kondisi ibunya memburuk.
Saat ini, kehamilannya sudah mencapai usia delapan bulan. Meskipun dia sudah bergegas sekuat tenaga ke rumah sakit, dia tidak bisa melihat ibunya untuk yang terakhir kali sebelum beliau meninggal.
Efek syok dari kematian ibunya memengaruhi kondisi fisiknya sehingga dia melahirkan secara prematur.
"Apa yang kalian lakukan? Tunggu sebentar! Biarkan aku melihat bayiku!"
Belum sempat Melita bangkit dari kesedihan karena kehilangan ibunya, sekelompok orang mendobrak masuk dan membawa pergi anaknya.
Dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menyentuh bayi itu.
"Oh! Masih ada satu lagi!"
Dalam keadaan linglung, Melita mendengar kata-kata perawat itu.
Dengan kekuatan terakhir yang dimilikinya, Melita memaksakan diri untuk membuka mata dan menyaksikan sang perawat menggendong bayi lain yang berlumuran darah.
"Kumohon ...."
Dia mengulurkan tangannya yang gemetar ke perawat itu, menghentikannya pergi dengan bayinya yang baru lahir.
"Biarkan aku melihatnya."
Hati perawat itu melunak ketika melihat air mata mengalir di wajah lelah Melita. Setelah membungkus bayi itu dengan selimut, dia menyerahkannya pada ibu yang malang itu.
Ketika perawat keluar, Melita turun dari tempat tidur dengan susah payah dan terhuyung-huyung keluar dari rumah sakit membawa anaknya dalam pelukannya. Dia tidak peduli dengan kondisinya yang masih terlalu lelah karena baru melahirkan sang kembar.
Bayi ini adalah keluarga terakhir yang dimilikinya.
Dia tidak bisa membiarkan orang-orang itu mengambil anak ini darinya juga.
Mereka tidak akan bisa menyentuhnya. Tidak akan!
Satu jam kemudian, ketika orang-orang itu mendapat kabar bahwa ada bayi kedua, mereka kembali ke rumah sakit. Seprai di ranjang rumah sakit masih berantakan, tetapi sudah tidak ada tanda-tanda keberadaan Melita.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Demi bisnis yang menguntungkan dirinya sendiri Rian tega menjual kekaksihnya pada seorang tuan muda yang bernama Albert. Albert menjadikan Renata yang merupakan seorang mahasiswa pertanian sebagai budak ranjangnya setiap hari, jika Albert marah Renata harus melayani Albert yang menyakitinya. namun seiring berjalannya waktu Albert memiliki rasa pada Renata dan menjadikannya pendamping hidup meski Albert harus menentang orang tuannya dan memutuskan pertunangannya dengan seorang wanita pilihan orang tuanya.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Julita diadopsi ketika dia masih kecil -- mimpi yang menjadi kenyataan bagi anak yatim. Namun, hidupnya sama sekali tidak bahagia. Ibu angkatnya mengejek dan menindasnya sepanjang hidupnya. Julita mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua dari pelayan tua yang membesarkannya. Sayangnya, wanita tua itu jatuh sakit, dan Julita harus menikah dengan pria yang tidak berguna, menggantikan putri kandung orang tua angkatnya untuk memenuhi biaya pengobatan sang pelayan. Mungkinkah ini kisah Cinderella? Tapi pria itu jauh dari seorang pangeran, kecuali penampilannya yang tampan. Erwin adalah anak haram dari keluarga kaya yang menjalani kehidupan sembrono dan nyaris tidak memenuhi kebutuhan. Dia menikah untuk memenuhi keinginan terakhir ibunya. Namun, pada malam pernikahannya, dia memiliki firasat bahwa istrinya berbeda dari apa yang dia dengar tentangnya. Takdir telah menyatukan kedua orang itu dengan rahasia yang dalam. Apakah Erwin benar-benar pria yang kita kira? Anehnya, dia memiliki kemiripan yang luar biasa dengan orang terkaya yang tak tertandingi di kota. Akankah dia mengetahui bahwa Julita menikahinya menggantikan saudara perempuannya? Akankah pernikahan mereka menjadi kisah romantis atau bencana? Baca terus untuk mengungkap perjalanan Julita dan Erwin.
Warning konten pemersatu bangsa area 21+ pilihlah bacaan dengan bijak, tanggung jawab ada pada diri masing2. Penulis hanya berusaha menyajikan bacaan yang ringan dan menghibur. 🙏🏻 Hai saya Aldi 35 tahun yang saat ini bekerja sebagai arsitek dan design consultant. Sebagai persiapan masa pensiun, saya membangun sebuah bangunan kos yang juga sekaligus rumah saya di sebuah lokasi yang sangat bagus. Berisi 30 kamar yang dikhususkan untuk wanita kini semua kamar tersebut sudah penuh oleh penyewa. Saya berhubungan baik dengan semua gadis-gadis penghuni kos, bahkan sangat baik sehingga saya seringkali dengan ikhlas membantu masalah terbesar mereka. Seperti kata petuah jika kau memberi dengan ikhlas maka niscaya kau akan menerima balasannya 10 kali lipat bahkan berlipat-lipat. Mungkin itu yang saya rasakan sejak mereka semua mulai memperhatikan dan memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Termasuk kebutuhan yang tidak bisa saya penuhi sendiri, yaitu kebutuhan di atas ranjang. Ini perjalanan saya, Aldi Reynaldi.