Riana dengan busana muslimah dan kerudung syar'I yang besar, duduk seo
estiansi paling damai untuk melepaskan lela
unung menjulang tinggi di kejauhan, dan sungai berkelok yang memisahkan dua
di dapur, dan Arga, suaminya masih di ladang bersama puluhan pegawainya. Sibuk mempersi
membuka kontak. Ia menatap nama di layar sejenak sebelum akhirnya menget
u menung
ng langsung menyapa ceria, khas Erlin
m kecil. "Lagi
l maskeran, tahu gak, Ri. Pake lumpur laut mati.
"Enak ya hidup kamu,
ng dinas luar kota, anak-anak makin cerewet, asisten malah k
mu glowing
hati, Bu Ustazah. Gimana kab
Aku lagi di bawah pohon nangka, tempat pavor
pohon nangka, pasti curhatnya d
diri. Seperti yang sering aku omongin, Mas Arga kayaknya makin parah banget. Kayak nggak ada tenaga sama
in hanya ber
uh, gairahku masih menggebu-gebu. Masih ngerasa pengen di
ab. Ia tahu benar, ini bukan curhat bias
asa. Istri yang masih muda, sehat, cantik. Punya kebutuhan, punya gairah. Yang gak
a. "Tapi aku malu, L
ius itu aseksual. Kamu bukan malaikat, Ri. Kamu manusia biasa, istri, dan ibu.
lama-lama meledak, Lin.
.. kalau Mas Arga gak berubah, dan kamu terus nyangkal perasaan kamu sendiri,
nya tampak begitu damai, tapi dadanya ses
rus menyakiti siapa pun. Kalau kamu butuh liburan, kabur sebentar, atau sekadar nginep ke Batam, di tem
r kalimat kayak gitu. Yang bikin aku ngerasa gak sendirian. Aku ka
alau saat ini kita jauh, a
Riana yang sebagian melayang-layang. Ia masih duduk di bawah pohon nangka, ponsel menempel di telinga, sua
ari keluhan jadi ibu dua anak, tren skincare terbaru, gosip artis yang viral,
serem. Udah kayak sinetron strip
u juga kan suka drama. Bedanya
ku main juga. Tapi bukan sebagai p
nggeleng sambi
a Riana terdengar lebih pelan. "Lin... sebenernya aku
n cepat, nadanya berubah jad
pian, atau karena... ya gitu deh. Tapi aku ngerasa...
ntusias. "Mantan SMA? Jangan bilang si Reihard?
a langsung me
impunan kampus yang suka anter
k tahu dimana dia sekarang..."
rti sedang menahan tawa. "Kalau buk
Apaan sih... Dodi
juga udah kaya pendekar, tinggi, tegap. Pasti suka curi-curi pandang p
memijit pelipisnya, sep
Duloh loh! Yang sering kamu bangga-banggain itu. Yang kamu bilang
lii
ong... jangan bilang kamu
anjang yang menutupi lututny
.. sumpah kamu tuh k
cuma bercanda and nebak. Tapi cara kamu
ang apa. Yang jelas bukan mereka. Aku cuma lagi...
akan maksa. Tapi kamu
pa
tempat yang salah cuma karena kesepian. Terus be
ama. "Aku tahu, Lin. Ma
umahku selalu terbuka. Dan mulutku... ya biasanya sih g
up, bukan karena topik selesai, tapi karena anak-anak su
. Entah kenapa, tebakan Erlin soal Dodi terus bergema di kepalanya. Padahal ia tidak bilang apa-
dengan aktivitas ringan. Ia mengambil selang dari samping rumah, mulai menyiram bunga-bunga di halaman de
kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Tapi p
os oblong yang dikenakannya sudah agak basah, menempel di tubuh. Keringat bercamp
ali rambut depannya ia sapu ke belakang karena terhalang pandangan. Bahkan tonjolan
rak-gerik pemuda 25 tahun itu. Nafasnya tak seirama dengan irama sela
seperti tangan kanan dalam mengelola kebun dan para pekerja. Disiplin, cekatan, dan dikenal jujur. Dan Riana tahu betul, di a
pung sembarangan, dia
eras Dodi. Tapi postur tegapnya, sorot matanya yang tenang, dan cara ia menyeka pelipis d
nya sedikit basah karena terpental dari tanah. Ia buru-buru mematikan keran,
ersenyum sopan. "Bu, airnya muncrat k
um kaku. "Maaf, Dod,
mah... saya ikhlas," jawab Dodi cepat, lalu
ngar seperti godaan yang dibungkus canda. Tapi juga bis
rumah, padahal belum
a mengapa akhir-akhir ini godaan itu seolah
*