saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada an
Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang
an. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor da
membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin ke
am, aku mem
ut menyapu kulit. Kedua tangan memeluk bahu untuk mengusir rasa dingin. Sesekali kuayunkan kaki yang menjuntai untuk mengusir nyamuk. Sendir. Ben
i depan mereka. Aku lela
mendapat jawaban kembali berdesakan. Aku menarik napas panjang d
, ujian yang menimpaku sekarang terlalu berat. Aku ingi
alah semakin tebal dan terus memaksa pecah. Tanpa berpikir panjang, langkah terayun dengan pantai sebagai tujuan. Di sana
halaman berbelok ke arah kanan, aku memilih melewati jalan kecil di antara perkebunan dan SMA Satu. Terpa an
ke kiri dengan tujuan sejauh mungkin dari pemukiman.
campur bising kesibukan manusia-manusia sejenak terasa memanjakan. Kurentangkan tangan dengan
lakang sesaat menyadarkanku kalau ada yang mengi
kaki hingga setengah berlari. Namun, lang
lagi bayangan yang tampak saat melewati bekas pabrik tahu menunjukkan sosok lain selain aku. Tanpa sadar, aku yan
cepat membasahi telapak tangan. Seluruh tubuh rasanya membeku, gigil yang semakin menelusupi sendi-sendi menjaanggil seiring langkah yang k
nya aku sadar suara itu bukanlah milik Kak Ijul,
ya tak jauh berbeda dariku. Kepala yang hanya ditumbuh
sahutku yang masih tak bisa mengDi tangan kanan, dia tampak memegangi sebu
engajak duduk pada salah satu akar yang menonjol
enal. Kuarahkan pandangan pada air laut, ombak sesekali mengempaskan pasir di
ya keluar buat mengecek. Eh, ternyata kamu jalan sendirian ke pantai," celetuk p
m kecil sebagai resppon, setelahnya
ya dari Aulia. Badan kamu penuh bekas luk
r lebih lama. Bingung harus memberikan jawaban atau me
ng yang bisa kamu percaya. Kenapa malam-malam ke p
muanya?" Aku balas bertanya tanpa berniat menj
h pasti punya jalan kelua