gkak akibat menangis semalaman tanpa henti. Tangan kanannya menggenggam sepotong kain yang dulu dipakai ibunya, sisa aroma parfum bunga
dia miliki, kini telah pergi, meninggalkan kesepian yang menggigit jiwanya. Seperti sebuah badai
elawan, untuk bertahan, dan untuk mencari cara. Tapi dari mana ia harus memulai? Tanpa ibu, tanpa harapan, tanpa arah. Kehilangan itu, meskipun nyer
r yang mendalam. Alya menatapnya, seolah baru menyadari kehadirannya. Wajah Niko penuh dengan ekspresi yang sulit dibaca
takut suara itu bisa membangunkannya dari mimpi bu
rasanya kehilangan segalanya, Niko?" suaranya terdengar lemah, seperti angin yang membisikkan
kau rasakan. Tapi aku tahu bagaimana rasanya berdiri di sisi tempat tidur seseorang yang hampir mati, menunggu keajaib
yang tak pernah lebih sepi dari ini, dan Alya tahu bahwa di balik semua kekayaannya, di bali
ta, suara suaranya semakin lemah, hampir
endekat dan duduk di kursi di sebelah Alya. "Aku datang karena aku tahu kau
g membuat jantung Alya berdegup lebih cepat. Tapi di sisi lain, ada keraguan yang membayangi pikirannya. "Kau
bisa membantu. Mungkin aku bisa memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar bantuan materi. Aku ingin
ah itu air mata kesedihan atau air mata kelegaan, tetapi yang pasti, ada sesuatu di da
?" Alya bertanya, suara bergetar, mencoba m
i kesempatan pada orang lain untuk hidup, dan mungkin juga, untuk menemukan makna
tahu, apa pun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tak akan pernah sama. Di dalam kesedihan yang begitu menyakitkan, sebuah benih harapan muncul, rapuh namun nyata. P
ia itu, dia melihat lebih dari sekadar rasa bersalah. Dia melihat sebuah janji, mungkin
bah hidupku sepenuhnya. Aku harus memikirkan kembali siapa aku, d
gin kau tahu, aku di sini, bukan hanya sebagai orang yang ingin membantumu, tapi
ya, di tengah kebingungan, ada sebuah kilasan baru-sebuah harap