ntuk beristirahat sejenak. Ia duduk di sofa apartemennya, menyandarkan kepala ke sandaran kursi, dan me
ul di layar: Rama, salah satu teman dekatnya di kota lama. Kejutan dan kecemasan langsu
kat telepon, merasa a
rian terdengar tegang, meskipun
s tahu." Rama menjawab dengan suara cemas, yang lan
Adrian duduk tegak, hatinya berdebar. Ia bisa m
s panjang. "Ada sesuatu yang... mungkin bis
tang Naya" menggema dalam pikirannya. "Apa maksudmu? Ada apa d
rbeda akhir-akhir ini, agak tertekan. Tadi siang, dia keluar dari kantor, tapi terlihat
ncul begitu saja. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu nggak bilang lebih aw
agi dalam masalah, Adrian. Aku cuma ingin kamu tahu." suara Rama ter
Naya... kenapa dia nggak ngomong sama aku?" gumamnya, lebih pada
langsung ke Naya." Rama mengakhiri percakapan dengan suara yang penuh
tar, bayangan Naya yang selama ini ia jaga dalam pikirannya kini seakan berubah menjadi sosok y
mencoba untuk tidur, pikiran tentang Naya terus mengganggunya. Apa yang sedang terjadi
gannya gemetar saat ia mengangkat ponsel, perasaan cemas semakin menguasai dirinya
ang bisa ia tanggung. Setelah percakapan dengan teman-temannya di kantor tadi, Naya merasa dunia seakan mengepungnya. Ia merasa cemas, tet
erkubur. Ketegangan dan keraguan mulai muncul dalam dirinya. Ia tahu, kalau
nselnya berde
gangkatnya. Suaranya terdengar sedikit cem
kamu... kamu kelihatan berbeda belakangan ini. Ada apa? Aku khawatir banget." Suara Adrian te
kecemasannya, tentang perasaan hampa yang mulai memenuhi hatinya, dan tenta
idak ada yang terlalu buruk." Naya berusaha meyakinka
berkata pelan, tapi tegas. "Apa yang sebenarnya te
embuatnya terlalu takut untuk mengakui kelemahan. "Aku cuma merasa... sendirian. Semakin hari, semuanya te
un ia berusaha untuk menahannya. "Aku takut ka
ya merasakan hal itu. "Nay, kamu nggak sendirian. Aku di sini, selalu ada u
." Naya berbicara lirih
aku akan segera kembali.
Meskipun rintangan di hadapan mereka semakin berat, mereka tahu ba
ang. Mereka tahu bahwa jarak dan waktu mungkin sedang menguji mereka, na
enutup telepon dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kekhawatirannya tentang Naya semakin dalam, dan meskip
emberi sedikit pun kenyamanan. Semua pencapaian dan ambisi yang ia raih terasa hampa tanpa Naya di s
nulis pesan untuk Naya yang ingin ia sampaikan, tetapi kata-kata terasa begitu sulit. "Apa yang harus aku katakan padanya?" pikirnya,
pa menit berpikir, Adria
ara fisik, Nay, tapi hati aku nggak akan pernah pergi jauh. Aku
am hatinya, ia tahu bahwa ini belum cukup. Ia ingin melakukan lebih untuk Naya, ingin
sa berhenti berputar. Setelah percakapan dengan Adrian, perasaan lega dan cemas bergumul menjadi satu. Ia tahu A
nggam erat bantal yang ia peluk. "Ak
han pada Adrian, tetapi di balik senyum yang selalu ia tampilkan, ada perasaan yang tak terungkapkan. Ia merindukan Adrian dengan c
berdering. Itu adal
ara fisik, Nay, tapi hati aku nggak akan pernah pergi jauh. Aku
ian memberi rasa nyaman yang begitu mendalam, meskipun ia tahu bahwa ia dan Adrian sedang berada di dunia yang sangat berbeda. Me
kkan perlahan pada dirinya sendiri,
at, Naya menulis ba
a ingin kamu tahu, meski aku merasa sendirian kadang-k
yelubungi hatinya, meskipun ia tahu perasaan itu hanya sementara. Mereka masih ter
uk mengunjungi kafe tempat ia dan Adrian sering menghabiskan waktu bersama ketika masih tinggal di kota yang sama. Suasana kafe
asih ada di sana, di sampingnya, berbicara tentang segala hal yang mereka impikan bersama. T
. Naya terkejut saat melihat n
pa?" Naya menjawab
epon. "Aku nggak tahu bagaimana, tapi situasi di sana makin memburuk. Ada tekanan
pa maksudmu, Rama? Apa yang sedang terj
drian, Nay. Aku cuma nggak mau kamu nggak tahu, bro. Aku hanya
n? Ini semakin membebani pikirannya. Ia tahu bahwa Adrian sedang berjuang untuk kari
ap cangkir kopinya yang sudah di
tian. Ia tahu, meskipun mereka terpisah, hubungan mereka harus tetap bertahan-tetap saling m
ambu