posisi yang berdampak penghasilannya menjadi jauh berada diatasku, awalnya masih terasa biasa saja.
uh hati melayani segala kebutuhanku di rumah. Aku sebagai suaminya seharusnya merasa beruntung mendapatkan istri secantik dan sebaik dia. Namun diluar peran istri yang masih ia lakukan dengan ba
unya harus menunggu keputusanku sebagai kepala keluarga, apakah diizinkan atau tidak. Sedangkan jika pemberitahuan, ya sekedar mem
gai seorang suami memang sedang down. Aku bukanlah seorang yang memiliki penghasilan tetap dari gaji bulanan, aku hanya seorang penjual t-shirt yang usahanya
.. tentu semakin banyak kekurangan untuk menutupi biaya rumah tanggaku. Sementara cicilan rumah dan mobil, istrikulah yang menanggung selama 6 bulan terakhir ini. Memang Lidya tidak pernah perhitungan, sepertinya di
etiap istriku pergi. Jikapun aku memaksakan untuk ikut pergi ber
bila dia mengajakku, apalagi ketika Lidya mengatakan akan mentraktirku... tidak!!! Mungkin dari sikapku
g. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar,
*
ANG TA
setiap hari Minggu. Dan di hari itulah aku sengaja 'mengistirahatkan' tubuh dan pikiranku dengan sedikit bermalas-malasan. Kemudian bercengkrama dengan istriku di sepanja
ilang hari Minggu ini akan ke salon, creambath, facial, skin care-an, kemudian lanjut dengan gym... jika masih ada waktu. Tidak ada yang aneh dengan kegiatannya itu, Lidya memang ruti
i, aku melihat Lidya masih ada di kamar ini, ia sedang duduk di depan meja riasnya sambil berdandan, posisinya membelakangi tempat tidur. Dengan handuk yang masih membungkus tubuhnya, aku melihat begitu sexy-nya istriku ini. Saking asyiknya dia memoles wajahnya, t
alik lilitan handuknya. Ukurannya 34d, cukup membuat mata lelaki tak berkedip apalagi jika Lidya mengenakan pakaian yang sedikit ketat atau belahan d
lis hitam terurai rapi, mata yang bulat... namun selalu teduh setiap kali ia memandang, hidungnya yang mancung asli bukan hasil operasi, bibir tipis, dagu sed
ng kali ini yang dia lakukan belum termasuk kategori menor, tapi cukup diluar kebiasaannya. Entah dari jam berapa dia berdandan, sekarang masih menunjukan jam setengah 8 lebih, sedan
rsentak saking kesalnya dengan apa yang kupikirkan, gerakanku itu
idya menoleh ke arahku sambil t
bku terbata seperti seorang ana
cuci muka, sikat gigi kemudian aku keluar dan melihat Lidya masih serius di depan meja riasnya. Bahkan kali in
enyiapkannya sendiri, aku juga tak pernah menuntut istriku untuk memperlakukanku seperti itu. Tapi sejak pernikahan hingga hari kemarin, tanpa diminta pun Lidya selalu tidak pernah absen menyajikan sarapan setiap pagi dan juga makan malam, ai
dak marah, tidak....! Sedikitpun aku tidak merasa ma
erakan lari tergopoh-gopoh dengan kondisi tubuhnya yang masih
kekhilafannya. Kemudian dia bergegas hendak ke arah dapur bersih yang berada tepat di belakangku. A
h cantik... masa harus masak?", ucapku mencoba tersenyum untuk menenangkan Lidya. Ucapanku dibuat
n mata membulat memandangku untuk
tubuhnya dari pelukanku. Jujur, aku sangat kecewa dan semakin bertanya-tanya, mengapa dia sampai menghindar seperti itu? Padahal sela
a, kedua telapak tangannya pun kini mengelus-elus pipiku, sepertinya ia tahu aku ke
berbalik menuju kamar dan melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Kembali
sam