ari sudah berganti pagi. Gegas aku bangun dan duduk di posisiku. Pemandangan pertama yang aku lih
-- mas Umar. Baru kali ini aku bisa tidur terpisah. Bukan karena
ik jam dinding yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pag
an membereskan bantal, guling serta s
asih terlihat rapi. Tidak mungkin mas Umar meninggal
tidak pulang
Tapi aku mencoba bersikap biasa saja. Mungkin ini yang terbaik. S
unya!" teriak ses
eras, aku bergegas meletakkan perlengkapan tidurku
" sahutku, sambil sibuk
ertuaku sudah berdiri bertola
lan, namun masih bi
ari mana saja sih kamu Dil? Lama sekali buka pintunya," omel mam
kan' sungutku, hanya bisa me
mas Umar selalu saja berkeliling rumah memperhatikan barang-bar
ma, berbalik menatapku
ang dan menginap di rumah mama?' batin
ni. Umar ke mana? Kenapa dia tidak ada?" t
oga saja mas Umar benar-benar sudah
ni. Kalian berdua kenapa?" Mama mertuaku berjal
apa Ma?" Kali ini
ta makan. Memangnya apa kerjaan kamu di rumah sampai suam
as Umar bisa-bisanya bilang minta makan, seolah-o
mar saja yang tidak mau makan di rumah. Mung
ik-baik jadi istri. Bukan malah seperti ini. Percuma Umar memberi kamu uang bulanan lima juta, kalau makan minum
nya benar-benar membuatku kesal. Kalau saja aku tidak ingat itu mama mas Umar dan mama me
ga dipakai buat bayar cicilan mas Umar dan bayar rumah. Jangankan membeli yang lain atau skincare seperti yang Mama tuduhkan. Buat beli keperluan dapur saja
mungkin. Berapapun uang yang diberikan Umar, harusnya kamu jangan terlalu banyak mengeluh! Masih sy
anak ini. Dari sini aku bisa menyimpulkan, kenapa mas Umar bisa
ta Umar kemarin dia baru aja mengasih uang bulanan kan? Mana uangnya, Mama pinjam dulu sa
bisa-bisanya mama masih mau
rin? Kenapa masih minjam lagi Ma?" Aku memberanikan diri
api itu masih kurang. Cepet mana uangnya! Mama m
angnya sudah aku bayarkan ke cicilan mas
gimana sih Dil? Masa baru kemarin uang yang diberikan U
tinya tetap harus dibayarkan? Mama juga baru kemarin dikasih uang, tapi uangnya juga sud
seperti ini jadinya, lebih baik kamu tidak usah menikah saja dengan Umar. Punya istri tapi perangainy
berdenyut, sakit. Kalau tau seperti ini, bukan hanya mama mas Umar saja yang menyesal sudah punya menantu seperti aku. Aku ju