/0/8305/coverbig.jpg?v=3b45de7c77b8e84543d7102d269d1538)
Program Sexy Singles bertujuan menemukan pasangan yang diproduksi oleh salah satu stasiun televisi melibatkan sepuluh orang dewasa yang masih single. Selama empat belas hari mereka ditempatkan di sebuah pulau dan dijauhkan dari teknologi apapun serta selalu diawasi oleh banyak kamera. Mereka akan bertemu, mengobrol dan kemudian jatuh cinta ketika merasa ada persamaan. Jika hubungan mereka benar-benar kuat, maka mereka pantas mendapatkan hadiah yang sudah disiapkan. Dan hal itu akan membuat hubungan yang tercipta akan semakin kuat lagi. Namun, tidak semudah yang dibayangkan karena akan ada banyak godaan, tantangan yang mengguncang beberapa pasangan. Kedatangan orang-orang baru yang begitu mengejutkan membuat alur yang sudah ada berubah drastis. Lalu, akankah mereka siap dan tetap berkomitmen dengan pasangan mereka? Ditambah dengan kebohongan dan pengkhianatan yang terjadi, membuat semuanya terlihat tidak terkendali. Apakah mereka bisa melaluinya dan berhasil membawa pasangan yang dicintai di akhir hari? Atau akan menyerah dan memilih pulang di tengah acara? Lalu, setelah acara berakhir, apakah pasangan yang sudah terbentuk akan tetap berkomitmen atau mengakhiri hubungan? Apalagi niat mengikuti program bukan mencari pasangan, melainkan ketenaran, akankah bisa ditoleransi? Atau memilih untuk mengakhiri?
Kilatan cahaya dari tadi terus terlihat. Seorang perempuan berdiri dengan begitu anggun. Berpose berubah-ubah dengan sebuah kamera dan seorang fotografer didepannya. Ia tidak peduli dengan kebisingan akan arahan atau orang-orang yang memujinya luar biasa. Karena ia profesional, maka ia akan tunjukkan apa yang akan mereka dapat dengan memakainya sebagai model mereka. Tentu tidak akan kecewa.
Dengan bibir penuh yang merah merekah, bulu mata lentik, hidung mancung, wajah oval dan didukung dengan tubuh tinggi semampai yang berisi membuatnya mengantongi seluruh kata yang menggambarkan sebuah kecantikan.
"Oke, stop!"
Perempuan itu kemudian berhenti berpose. Ia merapikan rambutnya.
"Kerja bagus, Elea! Pemotretan kali ini berhenti sampai disini."
Elea, model cantik itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum melangkah ke arah asistennya yang sudah menunggunya dengan senyum lebar di wajahnya.
"Elea. Kau selalu menakjubkan! Aku bangga padamu!"
Elea tersenyum tipis, hampir tertawa karena ucapan asistennya itu. "Seperti biasa. Kau selalu berlebihan, Emma. Aku biasa saja," ujarnya merendah. Lebih baik begitu, bukan? Merendah walau sadar jika ia luar biasa.
"Baiklah." Emma, sang asisten hanya mengangkat bahunya tidak acuh. "Kalau begitu, kau harus ganti baju lebih dulu sebelum kita pulang."
Elea mengangguk semangat dan mengacungkan kedua ibu jarinya pada Emma. Kata 'pulang' memang selalu membuatnya semangat.
"Oke! Nanti buatkan aku mi juga, ya?"
"Baik, tuan puteri." Emma tampak pasrah dan itu membuat Elea tak mampu menahan tawanya lebih lama lagi.
Mereka berdua baru saja masuk ke ruang khusus para model ketika ponsel Elea yang berada di saku cardigan Emma berdering.
"Elea. Ada pesan dari Jamie." Emma mengangkat ponsel Elea, menunjukkannya pada sang empu. "Hubungan kalian baik-baik saja?"
Elea menghampiri Emma dan mengambil ponselnya. "Tidak. Hubungan kami sangat buruk. Mungkin sebentar lagi akan putus."
"Kau serius?" Emma tampak khawatir. Pasalnya ia tahu seberapa dalam perasaan Elea ke Jamie dulu. Dan sekarang, hubungan mereka sudah di ujung tanduk. Seperti terlalu mudah untuk berpisah, padahal dulu mereka berjuang untuk bisa bersama.
"Kalau tidak cocok, mau bagaimana lagi, kan?" Elea memberi senyum kecil. "Aku keluar dulu. Jamie menungguku. Ada sesuatu yang ingin dia katakan."
Bibir Emma menipis dan ia mengangguk dua kali. Matanya terus mengikuti langkah Elea dan berharap dalam hati supaya hubungan mereka tetap baik-baik saja.
***
Elea melangkah dengan langkah pasti. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menyapanya dan ia menyapa balik. Senyumnya yang merekah itu surut tiba-tiba ketika ia berhadapan dengan Jamie.
"Hai."
Elea menghentikan langkahnya, kedua matanya berkedip dan tangannya terlipat didepan tubuhnya. Ia menunggu Jamie mengungkapkan apa yang ingin dikatakan. Permasalahan terakhir dalam hubungan mereka membuat mereka berdua saling tidak peduli satu sama lain.
"Dengar." Jamie membasahi bibirnya. "Aku mencintaimu, El. Hanya saja--"
"Langsung intinya saja," potong Elea cepat. Ia terlihat tidak sabar menanti inti dari ucapan Jamie.
"Okay." Jamie menggosok kedua telapak tangannya dan mendesah pelan. "Ayo kita akhiri hubungan ini."
Mendengarnya membuat senyum kecil terukir di wajah Elea. Seperti yang ia duga. "Baik." Elea mendongak padanya. "Sampai sini saja. Terima kasih atas semua kesenangan yang kau beri padaku." Dan senyumnya semakin lebar.
"Hm. Hubungan ini tidak berhasil. Selalu ada kesalahpahaman."
Elea mengangguk paham. "Aku tahu. Ini memang yang terbaik." Kedua tangannya terurai dan menjuntai di sisi tubuhnya. "Kalau begitu ... sampai jumpa," ucapnya sebelum berbalik pergi dari sana, meninggalkan Jamie yang mengernyit dalam, dilema apakah keputusannya sudah tepat.
Tapi, Elea tidak peduli. Ia memang menunggu momen ini datang. Sudah berkali-kali sebenarnya ia mengakhiri hubungan ini secara sepihak, tapi Jamie menolak. Jadi, Elea menunggu Jamie bosan dengan tingkahnya lalu memutuskan untuk putus. Di momen seperti itu, Elea tentu tidak akan protes, ia malah dengan senang hati setuju karena setelahnya ia terbebas dari Jamie yang begitu overprotektif.
"Hei. Sudah selesai?" Emma bertanya begitu Elea masuk kembali ke ruang khusus para model.
Elea mengangguk dan duduk di salah satu skruvsta berwarna putih gading yang langsung berhadapan dengan sebuah cermin besar. Elea menyandarkan punggungnya dan memijat dahinya perlahan.
"Aku ingin sekali liburan. Tapi selalu tidak ada waktu," gumamnya yang masih bisa didengar oleh Emma. "Lalu, aku dan Jamie sudah putus."
"Apa?" Emma menganga tidak percaya. "Kau berbohong?"
"Tidak."
"Astaga." Emma tidak percaya dengan telinganya sendiri. "Oh ... Em ... Okey. Aku hanya mengkhawatirkanmu saja, El."
Elea memutar kursinya menghadap ke arah Emma yang sedang menyiapkan pakaian ganti untuknya. "Apa tidak ada jadwal kosong untukku, Emma?"
"Tidak ada sebenarnya. Tapi, jika kau mau maka bisa saja. Aku akan mengurusnya." Emma mengedipkan sebelah matanya. "Omong-omong, berarti kau sekarang sedang melajang. Benar, kan?"
Bibir Elea melengkung ke bawah dan mengedikkan kedua bahunya. "Ya begitulah. Aku rasa lebih baik begini. Mengurus lelaki hanya membuatku tambah lelah saja."
Emma meringis mendengarnya. Ia juga merasakan hal yang sama, sejujurnya. Itu kenapa ia tidak pernah niat mencari pasangan. Hanya menyusahkan saja baginya.
"Baiklah. Kita akan bicarakan hal itu nanti lagi. Sekarang, kau harus berganti baju dahulu." Emma memberikan setelan dress tanpa lengan dan blazer pada Elea yang sudah bangkit berdiri. "Kalau kau kesulitan, panggil aku saja."
Elea menganggut dan membawa gantungan pakaian itu ke dalam ruang ganti. Sementara Elea masih berada didalam sana, Emma duduk di satu single sofa di sudut ruangan dengan ponsel yang menyala di tangannya.
Tak lama kemudian, mata Emma tampak membesar, ia bahkan lebih mendekatkan ponselnya ke wajahnya. Sepertinya ada sesuatu yang menarik di sana hingga sekarang ia terlihat begitu antusias.
"Elea!" Emma berseru begitu Elea keluar dari ruang ganti. "Elea, kau harus lihat ini!" Emma berjalan ke arah Elea dan menunjukkan pada Elea apa yang ia maksudkan.
"Apa ini?" Elea menyipitkan matanya membaca tulisan yang agak kecil di ponsel Emma. "Program mencari pasangan?" tanyanya dengan nada nyaring.
"Ya!" Emma menjawab antusias. "Kau tidak mau ikut? Ini sangat cocok sekali denganmu! Siapa tahu kau bertemu dengan pria yang sesuai dengan tipe idealmu lalu kalian berpacaran dan akhirnya menikah!"
Elea menghela napas lelah. Mendengar Emma yang berceloteh semangat tentang program mencari pasangan itu membuatnya merasa letih.
"Emma. Aku tidak akan mendaftarkan diriku ke acara itu. Aku tidak suka dan juga tidak mau," ujar Elea menolak terang-terangan. "Acara seperti itu hanya omong kosong. Tidak ada pasangan yang benar-benar pasangan kalau sudah keluar dari acara, mereka pasti putus."
"Tapi ini keren, Elea. Stasius TV KRA menjadi yang terbaik di negeri ini. Dengan kau ikut, dan kau berpartisipasi di sana, namamu akan lebih terkenal. Kau akan dikenal lebih banyak orang! Dengan begitu, akan lebih mudah untukmu mendapatkan uang. Percayalah. Terkenal membuat uangmu lebih banyak."
Elea terdiam di tempat. Sebagai gadis yang tumbuh dari keluarga dibawah garis rata-rata dalam aspek ekonomi membuat Elea agak sensitif masalah uang. Ia begitu berambisi mendapatkan uang yang banyak dan menjadi super kaya raya.
"Tapi aku tidak suka drama. Aku juga tidak bisa akting." Ela mengerutkan hidungnya. "Aku juga payah menghapal skript. Jadi ... tidak, terimakasih."
Emma berkacak pinggang. "Elea. Aku penasaran apakah kau pernah menonton reality show?"
"Well ... memangnya semua itu tidak terencana?"
Emma memasang ekspresi seolah ia ingin meninju Elea saat itu juga. "Elea. Sayang. Reality show tidak pakai skript. Semuanya mengalir begitu saja. Berdasarkan emosi dan perasaan. Jadi ayolah. Kau luar biasa, kau akan bertemu beberapa pria yang menawan, yang mungkin bisa mengambil hatimu, ya kan? Kau juga pasti akan terkenal. Apalagi yang kau butuhkan?"
Elea menggeleng. Membuat Emma mendesah pelan. "Tidak, Em. Aku suka diriku yang sekarang. Tidak pusing memikirkan banyak hal. Uangku sudah cukup. Aku sudah cukup senang. Jadi ... jawabanku tetap tidak."
Elea berbalik menatap cermin, menambahkan lipstik di bibirnya. Sedangkan Emma merasa agak kecewa. Emma hanya merasa jika Elea bisa menjadi tokoh utama dalam acara ini. Karena jangankan para pria, Emma yang wanita saja benar-benar mengagumi aura Elea. Jika ia tertarik dengan wanita, mungkin ia sudah memacari Elea.
Tiba-tiba sebuah pemikiran jahil masuk ke dalam pikiran Emma. Ia tersenyum hampir tertawa memikirkannya. Dan lagipula untuk acara yang tentunya booming nanti, tentu ada banyak pendaftar, peluang Elea bisa lulus cukup kecil, bukan?
"Emma. Jangan tatap ponselmu terus. Kemas semua barang dan kita pulang sekarang."
Emma menjentikkan jarinya. "Okay, babe!"
***
Di sebuah ruangan terang benderang dengan begitu banyaknya alat olahraga, seorang pria dengan tone kulit limestone dan dada bidang, biseps serta triseps sempurna serta perut yang begitu sixpack sedang melakukan pemanasan ketika seorang gadis yang memakai sport bra dan legging berwarna hitam tiba-tiba muncul dan menginterupsi sesi pemanasannya.
"Ethan! Hei kau baru mau work out?" tanyanya dengan riang dan mengecup pipi Ethan. "Kemarilah, ada yang ingin aku katakan padamu." Dia berjalan ke arah kursi dan duduk di sana, melambaikan tangannya menyuruh Ethan mendekat.
"Ada apa, Phi?" Ethan, pria yang memakai celana pendek yang sebenarnya cukup ketat di tubuhnya itu melangkah ke Delphi, satu-satunya teman perempuan yang pernah terjebak friendzone dengannya.
"Kau single, kan?"
Mata Ethan yang beriris cokelat pekat itu mengerut. "Kau berniat mengejek?"
"Aku cuma tanya." Delphi berseru dan tertawa. "Aku bawa berita baik untuk pria yang sudah melajang dua tahun ini," ujarnya semangat.
Ethan mengambil botol minum dari tasnya sebelum duduk disebelah Delphi. "Apa?" tanyanya lalu mereguk air didalam botol.
"KRA sedang membuka pendaftaran untuk orang-orang single seperti kita. Ada program kencan ... em ya seperti mencari pasangan selama empat belas hari. Kau tidak mau ikut?" Mata Delphi membesar menatap Ethan, menandakan betapa antusiasnya ia. "Aku yakin ini akan benar-benar wuah! Kau tau sendiri kan bagaimana setiap program TV ini selalu viral. KRA pasti tidak main-main merangkai semuanya. Pasti akan epic!"
Ethan tidak bereaksi. Ia bahkan tidak menatap balik Delphi. Tangannya hanya memutar tutup botol dan ia malah menguap kecil kemudian.
"Ethan!"
"Kenapa?" Ethan menyahut malas. "Aku tidak tertarik. Daftarkan saja dirimu."
"Kau yakin? Akan ada beberapa perempuan luar biasa di sana. Kau benar-benar menyesal kalau tidak ikut. Kau juga bisa menambah teman, relasi dan bisa saja terkenal, Ethan!"
Ethan menggeleng. "Tidak," sahutnya. "Kau optimis sekali. Memangnya bisa lulus?"
Delphi membuka mulutnya hendak menyangkal kalimat pesimis Ethan, tapi ia kemudian menutupnya lagi. "Apa salahnya mencoba, kan?"
"Aku tidak ada waktu."
"Omong kosong. Perusahan furniture itu milikmu. Kau bisa libur kapanpun kau mau." Delphi tidak menyerah. Ia ingin dirinya dan Ethan ikut program ini.
"Tidak ...." Ethan bangkit berdiri dan berjalan ke arah treadmill. "Kau saja."
Bibir Delphi mengerucut, tanda jika ia sedang kesal. "Aku tetap akan mendaftarkanmu!!" serunya menatap punggung Ethan, tidak peduli kalau beberapa orang di sana menoleh ke arahnya.
Dan Ethan, sekali lagi dengan sikap tak acuhnya, ia berkata sembari mengangkat kedua tangannya. "Terserah ...."
***
Emma dan Elea sedang berada didalam apartemen Elea, apartemen yang kata Elea adalah milik mereka berdua, bukan Elea saja.
"Elea, boleh aku pinjam laptopmu?"
Emma menoleh pada Elea yang sedang berbaring diatas tempat tidur dengan eye mask di kelopak mata bawahnya.
"Hm."
Emma terkekeh dan bangkit berdiri, ia berjalan ke arah meja lalu mengambil laptop pink milik Elea.
"Aku harus mengirim beberapa email dan laptopku sedang rusak, tidak tahu kenapa." Emma memberitahu Elea tanpa ditanya. "Dan setelah ini, aku akan mendaftarkanmu ke program kencan itu."
"Emma!" Elea bangkit duduk dan Emma tertawa kencan karenanya. "Jangan coba-coba. Aku tidak mau. Kalau kau tetap kukuh, ya sudah terserah, aku tetap tidak akan ikut."
Tawa Emma mereda. Ia mengedikkan kedua bahunya. Ya lihat saja nanti, pikirnya.
Tak lama kemudian, sebuah notifikasi muncul dibawah layar laptop Elea. Emma meliriknya dan terkejut ketika melihat sebuah DM yang berasal dari KRA official.
Emma menutup mulutnya rapat-rapat agar tak berseru. Ia tahu kalau pesan itu untuk Elea, tapi ia tidak berbohong kalau ia amat sangat antusias sekarang.
Emma mengintip dari balik laptop, melihat apa yang dilakukan Elea. Karena Elea kembali berbaring dan memejamkan mata. Ia meminta maaf didalam hati dan membuka pesan itu.
Mata Emma membesar selama membaca pesan yang cukup panjang itu. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga rasanya ingin keluar dari tenggorokannya. Ia mulai menutup mulutnya dan tertawa ketika hampir selesai membaca semua teks itu.
"ELEA!!" Ia berseru. Berdiri dan melompat-lompat karena rasa senang. "Elea! Bangun! Kau mendapat pesan dari KRA!"
Elea membuka sebelah matanya. "Emma. Please. Aku mau tidur."
"Hey baca dulu pesan ini." Emma membawa laptop Elea ke tempat tidur dan menaruhnya ke pangkuan gadis itu. "Gila! Ini gila! Kau bahkan tidak perlu mendaftar, Elea. Mereka menawari langsung padamu."
Elea membaca teks itu dengan malas. Ketika selesai, ia mengembalikan laptopnya ke Emma dan kembali berbaring seolah tidak ada hal luar biasa yang terjadi.
"Elea?" Emma mengerutkan dahinya, sungguh heran dengan sifat modelnya ini. "Setidaknya tunjukkan rasa senang sedikit saja."
Elea menggeleng. "Aku tetap tidak akan ikut, Emma. Aku lelah. Sudah ya," ujarnya berbalik badan dan memeluk gulingnya.
Emma menghela napas. Sepertinya memang Elea tidak mau ikut. Emma kemudian mengambil laptop itu dan membaca kembali pesan yang tertera di sana. Penawaran ini berlaku sampai lima hari ke depan. Karena di hari keenam, peserta ditentukan dan hari ketujuh, semuanya dimulai.
***
Kembali ke tanah kelahirannya setelah lima tahun lamanya mengasingkan diri ke negara orang, Keyra mendapati ada begitu banyak yang berubah. Yang terbesar adalah ketika mengetahui orang terakhir yang bertahta di hatinya, kini akan mengikat janji sehidup semati dengan perempuan lain. Namun, takdir memiliki alurnya sendiri. Karena dari sana, Keyra bertemu dengan seseorang yang memiliki ikatan yang lebih jauh dari yang ia pernah duga, dari yang ia pernah tahu.
"Bagaimana mungkin seorang dokter spesialis kesuburan justru mandul?!" Felicia Hera adalah seorang dokter yang sudah berhenti bekerja semenjak menikah dan fokus mengabdi kepada suaminya. Namun, Felicia tidak kunjung dapat memberikan anak hingga suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Dia bahkan menceraikan Felicia. Pada saat yang sama, Felicia kembali meniti karir kedokterannya dan pasien pertamanya justru mengajak Felicia untuk berhubungan demi membuktikan kesuburan Felicia. Hingga tepat setelah melakukannya, Felicia menghilang. Lima tahun kemudian, Felicia kembali ke tanah air membawa seorang anak perempuan yang cantik jelita. Hingga masalah datang saat ternyata direktur di rumah sakit barunya adalah ayah dari anaknya! Bagaimana Felicia menyembunyikan identitasnya? Tahukah dia, bahwa pria dingin itu telah memburu Felicia selama lima tahun terakhir?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
TERDAPAT ADEGAN HOT 21+ Amira seorang gadis berusia 17 tahun diperlukan tidak baik oleh ayah tirinya. Dia dipaksa menjadi budak nafsu demi mendapatkan banyak uang. Akan kah Amira bisa melepaskan diri dari situasi buruk itu? Sedangkan ayah tirinya orang yang kejam. Lantas bagaimana nasib Amira? Yuk baca cerita selengkapnya di sini !
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.