/0/7198/coverbig.jpg?v=5b8dad6697b064a11dc920494f903a17)
Bagi Diana, cinta adalah nomor kesekian. Memang sulit baginya untuk tidak menyukai Arga, yang ternyata memiliki perasaan yang sama padanya sejak kelas 10. Walau begitu, ia tetap menolak Arga sejak Arga menyatakannya di hadapan satu sekolah di saat mereka sudah kelas 12 di mana waktunya menata masa depan. Bisakah Diana menahan diri untuk tidak berpacaran sesuai ucapannya? Lalu bagaimanakah perjalanannya di masa kuliah sebagai mahasiswa baru sampai akhirnya harus bertemu dengan senior yang menyebalkan? Akankah hatinya tetap pada Arga atau malah Diana membuka hatinya untuk orang baru? Apakah nantinya Diana berakhir pada Arga yang terus berusaha memilikinya, atau malah dengan laki-laki lain yang juga berusaha untuk mendapatkannya? Dan, bagaimanakah Arga saat ia jauh dari Diana? Kemudian, apa yang terjadi pada Diana bersama Bara, senior kampusnya yang terkenal galak juga badboy? Apakah Diana mampu menahan dirinya dari gairah seniornya yang semakin lama semakin terlihat?
"Gue suka lo, Diana!" teriak Arga di depan teman-teman sekolahnya yang tengah sedang beristirahat.
Diana yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya di lapangan yang tersedia bangku panjang pun menoleh. Semuanya mendadak hening lalu tak lama suara sorakan terdengar meriah.
Diana menoleh ke semua teman-temannya dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena teman-temannya bertanya-tanya ada apa di antara dirinya sampai Arga menyatakan perasaannya.
"Iya! Gue suka lo, Diana! Lo nggak salah dengar!" lagi, teriak Arga.
Diana menepuk keningnya karena merasa apa yang Arga katakan itu sangat bodoh. "Ayo, terima Diana!" beberapa yang lainnya berteriak agar Diana menerima pernyataan cinta Arga.
Namun Diana mengabaikannya dan memilih menuju kelasnya yang disusul teman-temannya yang lain. Padahal ia sebenarnya menahan malu tapi Diana mencoba memasang wajah kebalnya.
Sampai saat di kelasnya, ia duduk di mejanya dan terkejut karena Arga menyusulnya juga, membuat teman-temannya berada di belakang Arga.
"Gue suka sama lo sejak kelas 10, Di. Gue nggak bisa berhenti untuk nggak suka lo," jelas Arga padanya.
Namun Diana masih diam dan memilih tidak menjawabnya. Ia sendiri bingung harus bagaimana menjawabnya jika di hadapan teman-temannya seperti ini.
"Di, jawab saja. Tolak juga nggak apa-apa kalau lo belum siap," ujar Hani, salah satu temannya.
Arga lalu menoleh ke Hani dan memelototinya. "Diam lo, Han. Dia pasti juga suka sama gue," kata Arga dengan percaya diri.
Tiba-tiba Diana tertawa keras membuat yang lain tercengang mengapa Diana tertawa seperti orang gila yang dengan dadakan seperti itu.
"Percaya diri banget sih lo, Ga. Gue nggak pernah suka sama lo! Asal lo tahu itu, ya! Jangan dipikir lo cowok populer di sini lantas membuat gue suka sama lo. Nggak sekali pun!" jelas Diana akhirnya.
Arga diam seribu bahasa. Ia yang tadinya bersimpuh dengan setangkai mawar putih untuk Diana, kini berdiri dan menatap Diana dengan tatapan yang tajam. Perasaannya merasa malu karena baru kali ini ia ditolak oleh wanita yang disukainya, di hadapan teman-temannya.
"Lo yakin? Lo nggak menyesal nantinya?" tanya Arga yang mana nada suaranya sudah berubah.
"Hmm ... ya. Sangat yakin."
Arga lalu pergi dan mematahkan tangkai mawar itu lalu melemparnya asal. Diana sebenarnya terkejut melihat respons Arga, tapi ia terlihat biasa saja dan baru bisa bernafas lega.
***
Selepas sekolah selesai, Diana keluar kelas bersama teman-temannya dan merencanakan untuk belajar bersama untuk ujian nasional. Mereka merencanakan belajar bersama di rumah Diana dan Diana tidak keberatan untuk itu.
Sebuah bola basket yang memantul ke arahnya dengan perlahan berhenti tepat di kedua kakinya saat ia melewati lapangan basket. Diana menoleh ke bawah dan mengambil bola itu. Lalu ia melihat sekumpulan anak-anak basket, termasuk Arga ada di sana, menunggu Diana melemparkannya kembali.
"Di, lempar!" teriak Aris.
Diana bukannya menatap Aris, malah matanya terpaku pada Arga yang menatapnya dalam diam dengan keringat yang membasahi kepala rambutnya.
"Di! Lo bengong apa, sih?" tanya Amel. "Cepat lempar ke mereka!"
Diana terkejut dan ia pun melempar balik bola basket itu ke arah anak-anak basket yang ternyata diterima Arga. Ada suasana mencekam di antara keduanya walau yang lain bersorak satu sama lain lantaran mereka seperti mengira Diana sengaja melemparnya ke arah Arga.
Cepat-cepat Diana berlalu dari sana dengan jantung berdegup kencang.
"Lo sengaja ya, lempar itu ke Arga?" tanya Sinta.
"Nggaklah. Itu reflek saja, kok."
"Hmm, kita kira begitu," sambung Hani dan yang lainnya mengangguk.
"Terus, lo beneran nggak suka dia? Parah banget ih, kalau nggak suka si Arga," tanya Sinta.
Sayangnya Diana memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Sinta yang mewakili teman-temannya. Baginya, ia enggan membagi apa yang ia rasakan pada teman-temannya lantaran ia tahu tidak semua orang tahu bagaimana ia merasakan sesuatu.
Jamuan makanan dan minuman yang di siapkan Paula, Ibu Diana, hampir mendekati habis oleh teman-temannya Diana. Mereka lebih banyak makan dan minumnya ketimbang belajar seperti yang mereka janjikan.
Wanita jika berkumpul dengan satu niat, pastilah akan timbul hal-hal yang baru seperti gosip. Diana yang lebih rajin dari pada lain pun fokus pada apa yang ia pelajari. Pikirnya, setidaknya ada yang waras dan bisa menjelaskan materi yang mereka pelajari pada teman-temannya yang lebih banyak fokus pada gosip.
"Wah, makasih ya, Tante buat jamuannya, he he he. Maaf ya, kalau kedatangan kita merepotkan," ujar Hani dengan sopan mewakili yang lain.
"Iya, Tante. Makasih banyak loh, ya. Next time kami akan ke sini lagi," sambar Sinta di sambung Amel.
Diana menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah temannya. "Next time harus belajar dulu baru di siapkan jamuan ya, Ma!" ancam Diana dengan maksud canda.
"Ih, apaan sih, Di! Jahat banget, lo! Ya, sudah ... kita pulang dulu, ya."
Ketiga temannya berpamitan dan bersalaman dengan Paula. Diana menuntun mereka sampai depan gerbang dan melambaikan tangannya pada mereka yang menjauh dari pandangannya.
***
Pagi-pagi sekali Diana sudah sampai sekolahnya di antar oleh sopir pribadinya. Ia sengaja datang lebih pagi karena berniat meminjam buku di perpustakaan dan berniat membacanya lebih awal sebelum bel masuk berbunyi.
Ternyata tidak hanya dirinya yang singgah ke perpustakaan. Ada beberapa anak dari kelas lain yang tengah belajar dan beberapanya seperti menyalin tugas temannya.
Mata Diana bertemu dengan mata Arga secara tak sengaja. Mereka saling bertatapan dalam beberapa detik sampai Diana berbalik dan menuju barisan buku sesuai yang sedang ia cari.
"Jadi lo mau sampai kapan diam sama gue?" tanya Arga tiba-tiba dengan suara pelan.
Diana menoleh ke kanan dan kirinya, memastikan bahwa orang yang Arga ajak bicara adalah dirinya. "Apa sih, Ga? Ganggu saja."
"Ganggu? Lo muncul cuma lihat gue. Kemarin juga cuma lihat gue. Kita saling pandang-pandangan, Di. Dan gue tahu lo pasti merasakan hal yang sama kayak gue, kan? Lo cuma malu mengakuinya, kan?" sambar Arga.
Diana berdecak namun matanya tetap melihat-lihat buku yang ia incar. "Mana, ya?" tanyanya lebih pada dirinya sendiri.
"Cari apa lo?" Tanya Arga.
"Novel romansa terjemahan."
"Apa judulnya?" tanya Arga memancing, masih menatap Diana.
"Cinta Yang Dipertaruhkan," jawab Diana singkat.
Tiba-tiba satu tangan Arga naik ke atas menunjukkan novel yang dicari Diana. Novel itu ada digenggamannya. Diana membelalakan matanya dan menyambarnya. Sayangnya tidak mudah karena Arga menghalanginya.
"Lo tahu itu yang gue cari?" tanya Diana kesal.
"Bahkan gue tahu ukuran bra lo berapa, Di," jawab Arga yang membuat wajah Diana merah padam.
"Siniin. Gue lagi mau baca itu!" seru Diana dengan pelan dan menahan malunya.
Arga menggelengkan kepalanya dan menyembunyikan novel itu ke balik tubuhnya. Ia membiarkan Diana memberontak dan kemudian merasa menyerah.
"Karena gue tahu novel ini nggak akan tercetak lagi, jadi gue jadiin jaminan buat lo agar jawab pertanyaan gue di awal," kata Arga.
"Duh, yang mana? Percepat ajalah!"
Baru beberapa menit bicara saja Diana sudah lupa akan topik yang tadi di bahas oleh Arga. Membuatnya sedikit gemas namun kesal juga.
"Lo suka gue juga atau nggak?" tanya Arga mengulanginya.
Diana tidak punya waktu banyak untuk semua ini. Ia lebih memilih novel itu dibanding yang lain. Tapi pertanyaan Arga itu bukan pertanyaan main-main. Terpaksa Diana pun menjawabnya.
"Iya. Gue juga suka sama lo. Tapi itu nggak akan mengubah keadaan, Ga. Gue nggak bisa pacaran sampai gue benar-benar menghasilkan uang sendiri. Lo paham?"
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Kisah Daddy Dominic, putri angkatnya, Bee, dan seorang dosen tampan bernama Nathan. XXX DEWASA 1821
Pada hari pernikahannya, saudari Khloe berkomplot dengan pengantin prianya, menjebaknya atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Dia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, di mana dia menanggung banyak penderitaan. Ketika Khloe akhirnya dibebaskan, saudarinya yang jahat menggunakan ibu mereka untuk memaksa Khloe melakukan hubungan tidak senonoh dengan seorang pria tua. Seperti sudah ditakdirkan, Khloe bertemu dengan Henrik, mafia gagah tetapi kejam yang berusaha mengubah jalan hidupnya. Meskipun Henrik berpenampilan dingin, dia sangat menyayangi Khloe. Dia membantunya menerima balasan dari para penyiksanya dan mencegahnya diintimidasi lagi.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.