Genre: Mature Romance 18+, Mafia, Assassin. Emery datang dan mendorong tubuh Erios hingga terlentang. "Tidak. Bukan begini caranya. Apa kau selalu menggunakan kekerasan dalam bercinta?" decak Erios menolak tangan Emery di tubuhnya. *** Erios Danbert, pria kaya nan rupawan yang selalu berada di atas kursi roda. Tahun ini, dia dipaksa menikah, tapi tidak ada wanita yang mampu meluluhkan hatinya. Hingga Emery Olivia La Carlistee datang, mendobrak paksa pintu hatinya dengan kekerasan dan kenikmatan. Emery, dari keluarga pembunuh bayaran Carlistee yang misterius, awalnya hanya menginginkan kekuasaan Erios, tapi siapa sangka, justru dia dihadapkan kenyataan yang berbanding terbalik dengan perkiraannya. Erios dikelilingi bahaya dan Emery bukan wanita yang akan membantu orang lain secara cuma-cuma. Erios dan Emery sama-sama berjuang demi kepentingan mereka masing-masing. Butuh waktu hingga mereka menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Mungkinkah Erios jatuh cinta pada Emery setelah tahu tujuan asli wanita itu menikahinya?
"Tolong, jangan temui saya lagi. Saya tidak menyukai Anda." Erios Danbert, menatap seorang wanita di depannya dengan sopan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan apa pun atas apa yang telah dia ucapkan baru saja.
Wanita di depannya tampak terdiam cukup lama, mencerna ucapan Erios. Terlihat di wajahnya, dia seperti tidak siap menerima pengakuan tersebut.
"Baiklah." Hanya itu jawaban yang diberikan sang wanita, membuat Erios bernapas lega.
Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka kemudian terbanting menutup. Suara langkah sepatu high heels menggema di sepanjang koridor lantai satu mansion keluarga Danbert yang tersohor.
"Papa, ayo kita pergi! Percuma kita datang kemari!!" Wanita yang baru saja membanting pintu itu berteriak marah pada sekumpulan orang yang tengah duduk di ruang tengah. Wajahnya kini dihiasi kekecewaan yang teramat sangat.
Seorang pria berusia lima tahun lebih, memijit keningnya, sebelum berdiri. "Maafkan keponakan saya. Bisakah kita jadwalkan ulang pertemuan kita? Saya yakin Erios akan menerima Anda, Nona Julia."
Pria yang duduk di hadapan pria itu ikut berdiri, menghela napas. "Kami permisi dulu, Tuan Armando. Sepertinya benar rumor yang kami dengar, keponakan Anda belum siap untuk menikah. Jadi, kenapa Anda memaksakan kehendaknya? Anda sendiri sudah tahu hal ini akan terjadi. Tuan Erios telah membuat keputusan yang salah dengan menghina putri keluarga kami."
Pria itu menggelengkan kepala, kemudian berbalik melangkah pergi bersama wanita yang dipanggil Julia.
Armando tidak berusaha mengejar, karena dia tahu akan percuma. Dia akhirnya kembali duduk dan mendengkus kesal.
"Alton, bicara pada anak tidak tahu diri itu! Aku sungguh lelah menghadapinya!" perintah Armando pada putra sulungnya yang sedari tadi duduk tenang.
Alton Danbert, pria bertubuh tegap dan kokoh, wajahnya tampan dengan rahang kuat, segera berdiri. Dari penampilannya, bisa dipastikan dia sosok yang tidak suka banyak bicara. Mendengar perintah itu pun, dia hanya mengangguk dan melangkah ke arah kamar di mana wanita tadi keluar. Kamar sepupunya, Erios Danbert.
Alton tidak perlu mengetuk pintu, dia membuka pintu dan langsung mendekati sosok yang saat ini berada di teras belakang. Sosok itu tengah duduk tenang di kursi roda membelakangi kamar.
"Erios...," panggil Alton, memberitahu pria itu tentang kehadirannya.
Erios segera menoleh.
"Sepertinya aku mengacaukan perjodohan ini lagi." Erios nyengir hingga sudut matanya tertarik. Wajahnya tak kalah tampan, meski terdapat guratan kurang tidur di bawah mata, tapi sosok itu masih sanggup menggetarkan hati para wanita. Sorot matanya lembut, suaranya dalam dan manis. Jauh berbeda dengan sosok Alton yang terlihat tegas dan tanpa ampun.
"Ini bukan hal yang patut ditertawakan. Julia adalah wanita ke delapan yang kau tolak. Apa maumu sebenarnya?" Alton berdiri di sebelah kursi roda Erios dan ikut menatap taman belakang yang tersambung ke kamar itu dengan tatapan dingin.
"Kau tahu apa mauku. Aku tidak ingin menikah."
Suara Erios terdengar lemah, tapi dia masih menyunggingkan senyuman sinis.
"Kau harus menikah," tegas Alton, tangan kirinya menepuk kepala Erios dan mengusap rambut pria itu kasar.
Erios menepis tangan itu lembut, lalu menatap Alton lekat.
"Supaya kau bisa mengusirku dari sini? Bukankah aku sudah bilang, kalian bisa mengusirku tanpa harus memaksaku menikah."
"Tidak ada yang memaksamu."
"Kalian memaksaku!"
"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Bullshit!"
"Kami memberikan pilihan, kau bisa menentukan pilihanmu sendiri. Tidak ada yang memaksamu menikahi gadis yang tidak kau cintai."
"Tapi aku tidak ingin dijodohkan, apa pun alasannya! Tetap saja itu pemaksaan!"
Alton menoleh, tatapannya sinis. "Lalu, apa kau yakin bisa mencari pendamping dengan kemampuanmu sendiri? Dengan keadaanmu saat ini, kau bahkan tidak bisa melepaskan pakaianmu sendiri tanpa bantuan Hans!"
"Hentikan, Al. Jangan menghinaku."
Erios, menatap Alton semakin tajam. Bibirnya mengatup rapat, menahan amarah.
"Itu kenyataan. Apa kau marah karena aku memberitahumu kebenarannya?"
"Hentikan aku bilang! Apa kau tahu, kau sangat menyebalkan! Tidak ada yang meminta pendapatmu!"
"Ya, kau memang tidak memintanya. Karena kau takut pada kenyataan. Kenyataan bahwa kau memang lemah dan... tidak berguna."
"HENTIKAN!!!" pekik Erios, suaranya menggema di taman belakang, membuat Alton tersenyum.
Erios kemudian membuang muka, "Keluarlah."
Alton menepuk pundak Erios, lalu melanjutkan, "Jika kau tidak menikah sebelum Kakek mengumumkan pemegang jabatan Danbert Corp, kau tahu apa yang akan aku lakukan, Erios."
Suara Alton sangat lembut bagai air yang mengalir tenang, tapi dampak dari ucapannya, membuat badai besar di dasar relung hati Erios. Hingga tanpa sadar, Erios mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
Alton tersenyum, berjalan meninggalkan Erios seorang diri di sana. Namun, begitu dia hendak keluar dari kamar, dia berhenti di depan seorang pria seumuran Erios yang berdiri tenang di samping pintu.
"Hans, Erios lebih mendengarkan dirimu. Kau yang lebih paham apa yang terjadi jika dia tidak segera menemukan pendamping. Kau tahu kan, aku tidak akan meninggalkan dia sendirian, tanpa pendamping?"
Hans menunduk hormat, "Anda tidak perlu khawatir, Tuan. Tuan Erios lebih kuat dari yang Anda pikirkan. Saya akan melakukan apa pun untuk membuatnya menikah jika itu demi kebaikannya."
Alton terdiam beberapa detik, sebelum terkekeh tanpa suara. Dia masih belum mengerti bagaimana Hans bisa begitu setia pada tuannya yang cacat tanpa merasa terbebani sama sekali.
Hans tidak bergerak sampai Alton pergi dari hadapannya. Setelah yakin pintu tertutup, Hans segera berjalan mendekati tuannya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan?" Hans mendekat sedekat mungkin dengan kursi roda Erios. Tampak tuannya itu masih mengepalkan tangannya hingga jemarinya memutih. Hans dengan tenang, mengusap lengan Erios, membuat pria itu tersadar kehadiran ajudannya.
"Ah... Hans." Erios seketika mengendurkan otot-ototnya, lalu menghela napas.
"Anda tidak apa-apa?" ulang Hans.
Erios segera mengangguk. "Ya, aku hanya lelah hari ini. Sepertinya langit juga tidak memberiku pemandangan bagus."
Hans menatap langit yang kelabu, tanpa bulan mau pun bintang. Hanya kegelapan.
"Aku tidak tahu, kenapa aku masih hidup," ucap Erios lirih.
"Tuan-"
"Aku hanya ingin hidup tenang. Aku tidak menginginkan harta atau kekuasaan apa pun. Apakah itu masih berlebihan? Aku tidak ingin menikahi siapa pun saat ini, mereka hanya melihatku sebagai pewaris Danbert yang kaya. Mereka akan mendepakku begitu tahu Alton akan mengusirku dari sini. Aku tidak mau hidup seperti itu."
Erios kembali mengepalkan tangan, kebiasaannya jika hatinya tengah diliputi amarah dan kegundahan.
"Saya akan melindungi Anda, apa pun yang terjadi. Anda tidak perlu khawatir jika harus pergi dari sini, kita akan pergi bersama."
"Tapi Alton mengancamku. Aku harus menikah sebelum kakek memberikan pengumuman. Jika tidak, aku tahu dia akan melakukan apapun untuk membuat orang-orang di sekitarku menderita. Jika aku menikah, mereka punya alasan untuk mengusirku jauh dari sini."
"Lalu, Anda akan menerima tawaran perjodohan selanjutnya?"
Erios terdiam, kemudian menggelengkan kepala, sorot matanya menunjukkan keteguhan hati. "Lebih baik aku mati."
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Julita diadopsi ketika dia masih kecil -- mimpi yang menjadi kenyataan bagi anak yatim. Namun, hidupnya sama sekali tidak bahagia. Ibu angkatnya mengejek dan menindasnya sepanjang hidupnya. Julita mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua dari pelayan tua yang membesarkannya. Sayangnya, wanita tua itu jatuh sakit, dan Julita harus menikah dengan pria yang tidak berguna, menggantikan putri kandung orang tua angkatnya untuk memenuhi biaya pengobatan sang pelayan. Mungkinkah ini kisah Cinderella? Tapi pria itu jauh dari seorang pangeran, kecuali penampilannya yang tampan. Erwin adalah anak haram dari keluarga kaya yang menjalani kehidupan sembrono dan nyaris tidak memenuhi kebutuhan. Dia menikah untuk memenuhi keinginan terakhir ibunya. Namun, pada malam pernikahannya, dia memiliki firasat bahwa istrinya berbeda dari apa yang dia dengar tentangnya. Takdir telah menyatukan kedua orang itu dengan rahasia yang dalam. Apakah Erwin benar-benar pria yang kita kira? Anehnya, dia memiliki kemiripan yang luar biasa dengan orang terkaya yang tak tertandingi di kota. Akankah dia mengetahui bahwa Julita menikahinya menggantikan saudara perempuannya? Akankah pernikahan mereka menjadi kisah romantis atau bencana? Baca terus untuk mengungkap perjalanan Julita dan Erwin.
Tiga tahun lalu, keluarganya menentang pilihan William untuk menikahi wanita yang dicintainya dan memilih Fransiska sebagai pengantinnya. William tidak mencintainya. Malah, dia membencinya. Tidak lama setelah mereka menikah, Fransiska menerima tawaran dari universitas impiannya dan mengambil kesempatan itu. Tiga tahun kemudian, wanita tercinta William sakit parah. Untuk memenuhi keinginan terakhirnya, dia menelepon Fransiska untuk kembali dan memberinya perjanjian perceraian. Scarlett sangat terluka oleh keputusan mendadak William, tetapi dia memilih untuk membiarkannya pergi dan setuju untuk menandatangani surat cerai. Namun, William tampaknya menunda proses dengan sengaja, yang membuat Fransiska bingung dan frustasi. Sekarang, Fransiska terjebak di antara konsekuensi dari keragu-raguan William. Apakah dia bisa melepaskan diri darinya? Akankah William akhirnya sadar dan menghadapi perasaannya yang sebenarnya?
Dua tahun lalu, Nina menikah dengan pria yang belum pernah ditemuinya. Dia tidak tahu namanya atau usianya; dia tidak tahu apa-apa tentang orang yang dinikahinya ini. Pernikahan mereka tidak lebih dari sebuah kontrak dengan kondisi, dan salah satu klausulnya adalah bahwa dia tidak boleh tidur dengan pria lain. Namun, Nina kehilangan keperawanannya kepada orang asing ketika dia mengetuk pintu yang salah pada suatu malam. Dengan kompensasi yang harus dia bayar membebaninya, dia memutuskan untuk membuat perjanjian perceraian sendiri. Ketika dia akhirnya bertemu suaminya untuk menyerahkan surat-surat itu, dia terkejut menemukan bahwa suaminya tidak lain adalah pria yang telah "selingkuh" dengannya!
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Setelah tiga tahun menikah yang penuh rahasia, Elsa tidak pernah bertemu dengan suaminya yang penuh teka-teki sampai dia diberikan surat cerai dan mengetahui suaminya mengejar orang lain secara berlebihan. Dia tersentak kembali ke dunia nyata dan bercerai. Setelah itu, Elsa mengungkap berbagai kepribadiannya: seorang dokter terhormat, agen rahasia legendaris, peretas ulung, desainer terkenal, pengemudi mobil balap yang mahir, dan ilmuwan terkemuka. Ketika bakatnya yang beragam diketahui, mantan suaminya diliputi penyesalan. Dengan putus asa, dia memohon, "Elsa, beri aku kesempatan lagi! Semua harta bendaku, bahkan nyawaku, adalah milikmu."