Setelah kematian kedua orang tuanya, Maria yang berumur 9 tahun bertemu dengan Sarkon Ritchie yang berumur 17 tahun, lelaki yang mengaku teman dari ayah Maria dan ingin menerima Maria untuk mengasuhnya. Saat dia beranjak dewasa, Maria menyadari Sarkon berasal dari dunia yang sungguh berbeda dari dunianya: dunia para orang kaya, yang paling berkuasa dan bergelimang harta di antara masyarakat kelas atas kota Lenmont - dan kehidupan Maria pun berubah secara luar biasa. Terlepas dari tekad Sarkon untuk menjadi wali bagi Maria, yang ingin melindunginya menggantikan ayahnya, Maria justru jatuh cinta dengan tatapan mata biru mempesona dan kegarangan milik Sarkon itu. Tetapi apakah lika-likunya untuk mencintai sosok paling berkuasa kedua di masyarakat kelas atas Lenmont? Apakah Sarkon akan membalas cinta Maria? Ataukah Maria hanya akan menjadi pion dalam perebutan kekuasaan? Sang Kekasih Berambut Merah diciptakan oleh Elle Gobe, seorang penulis eGlobal Creative Publishing.
Matahari sore bersinar cerah di langit, memancarkan sinar keemasannya di atas kota metropolitan Lenmont, hutan beton raksasa yang dikenal dunia sebagai "Tanah Harapan dan Impian".
Dari langit, Lenmont berbentuk seperti setitik air mata raksasa yang dikelilingi oleh bentangan samudera biru.
Pada hari ini, lautan terasa lebih biru dari biasanya. Ceria, bahkan, seperti Sebuah cermin besar yang memantulkan sinar mentari. Burung-burung terbang di atas hamparan pasir mengkilap diiringi deru ombak yang berkilauan.
Di sebelah pantai, sebuah vila berdiri dengan bangga di tengah padang rumput seukuran enam lapangan sepak bola, alunan musik yang merdu terdengar dari dalam.
Sosok ramping dengan rambut panjang berwarna merah kecoklatan yang indah, tiada duanya di Lenmont, bergerak lembut dengan biola di jemari tangannya yang cantik dan menawan.
Kemudian, dia berhenti.
Dia memutar pinggulnya yang anggun dan sedikit mengernyit pada pelayannya yang berdiri di dekatnya.
"Apakah Paman Sarkon akan menyukai ini?"
Wanita berseragam, yang lebih dewasa dan lebih bijaksana dalam bersikap, balas tersenyum dan menjawab dengan jujur, "Tentu saja, Nona Maria. Kamu sudah berlatih sangat keras."
Maria yang berusia delapan belas tahun melepaskan instrumen itu dari lehernya yang memerah dan mengangkat jari-jarinya. Lepuh baru telah terbentuk di atas kapalan lamanya. Tersenyum lemah, dia memiringkan kepalanya dengan hati-hati ke kiri lalu ke kanan untuk menghilangkan rasa nyeri di lehernya.
Pelayan itu melihat lebih banyak kapalan di sepanjang lekukan lembut bahu nyonya mudanya dan menghela nafas.
"Ini akan sepadan," gumam nona mudanya pada laut yang berkilauan.
"Ya. Pasti akan sepadan, Nona Maria. Tuan Sarkon akan menyukainya, saya yakin."
Hanya dengan mendengar namanya saja sudah cukup untuk membuat bibir kemerahan itu tersenyum lebar. Senyum rahasia; menyiratkan perasaan kasih sayang yang teramat dalam untuk satu-satunya orang yang telah mengisi relung hatinya.
Satu-satunya orang yang bisa membuatnya gemetar seolah merasakan kepakan jutaan kupu-kupu yang menunggu untuk meledak dari dadanya. Kekasih tercinta yang hanya diketahui oleh hatinya.
Tapi mereka bukanlah sepasang kekasih, belum. Maria merenung sambil menggenggam busurnya dengan erat. Bukannya pria itu tidak menyukainya. Dia hanya... Dia hanya belum mengetahuinya.
Pelayan itu melihat ekspresi senang nyonya kecilnya dan tersenyum penuh kasih sayang seperti seorang kakak perempuan, seperti seorang sahabat yang pengertian.
Dia tahu rahasia di hati Maria, tentang seseorang yang selalu memenuhi pikirannya.
Sejak wanita muda itu berusia sebelas tahun, dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia akan menikahi Sarkon, walinya, yang mengadopsinya ketika dia berusia sembilan tahun.
Pada awalnya, kata-kata Maria hanya dianggap sebagai permainan anak-anak belaka dan tidak pernah ditanggapi serius. Gadis-gadis seusianya selalu berkata ingin menikahi ayah mereka ketika sudah besar, tetapi kemudian saat dewasa mereka akan memiliki pasangannya sendiri.
Pelayan itu mengira Sarkon bagaikan sosok ayah bagi Maria.
Tapi Maria tidak berpikir demikian.
Sebaliknya, keinginannya untuk menikahi Sarkon, pria paling berkuasa dan berbahaya kedua di seantero Lenmont itu, berubah menjadi sesuatu yang terus bertumbuh semakin kuat dari tahun ke tahun.
Dia tidak pernah merahasiakannya.
Sejak benih cinta itu tertanam dalam dirinya, setiap hari dia menunjukkan kasih sayangnya secara terang-terangan dan sepenuh hati yang jelas dilihat semua orang di rumah. Dia mengimpikan balasan perasaan yang sama dari Sarkon, sebagaimana seorang wanita yang sedang jatuh cinta pada umumnya.
"Apakah dia akan kembali untuk makan malam hari ini?" Suara Maria bergema memenuhi ruangan dingin itu, membawa pelayan itu kembali ke perpustakaan tempat mereka berlatih biola selama empat jam terakhir.
"Tentu saja," jawab pelayan itu dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu dia akan kembali. Sesibuk apapun, dia akan selalu pulang untuk makan malam denganmu."
Maria mengalihkan pandangannya ke perairan biru berkilauan di luar sana. Mereka mengingatkannya pada mata biru tua yang indah itu.
Sesosok wajah membanjiri pikirannya.
Hidung mancung itu, lekukan bibir yang sempurna, rahang yang berbentuk dan kuat-itu hanya milik Sarkon. Sarkonnya.
Senyum itu tiba-tiba saja berubah menjadi serius.
Maria telah melihat cara Sarkon memandangnya belakangan ini. Ada yang berubah. Dia melihatnya dengan cara yang berbeda ...
Kemarin, seperti biasa mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di taman selepas makan malam. Tiba-tiba saja, Maria mengusulkan agar mereka berdua pergi menuju pantai.
"Kita masih sempat melihat matahari terbenam. Ayo cepat!" Dia berkicau dengan penuh semangat pada wajah datar yang menatapnya.
Sarkon tidak pernah menunjukkan emosinya bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Awalnya, Maria menangis ketakutan setiap kali dia bertatapan dengannya.
Sekarang, dia sudah terbiasa dengan itu.
Ia menatap dengan berseri-seri pada wajah yang dingin dan serius itu, dia meraih tangan Sarkon dan menariknya ke arah suara ombak yang menerjang. Sarkon hanya terdiam mengikutinya seperti biasanya.
Saat kakinya menelusuri pasir pantai yang lembut, dia melihat sepatu kulit hitam mengkilap milik Sarkon melangkah pelan di sampingnya dan terkikik.
Angin berhembus melewati mereka, bermain-main dengan rambut ikal berwarna merah kecoklatan miliknya dan mengepakkan gaunnya dengan ganas seperti layar perahu.
Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sembari berbalik ke arah matahari kuning kejinggaan yang bersandar di cakrawala pada lautan yang berkilauan. Sambil meletakkan tangan di atas matanya seperti atap, dia mengagumi pemandangan yang luar biasa di depan matanya.
"Ini sangat indah, bukan?"
Sarkon tidak menjawabnya.
Maria menoleh ke kiri dan membeku.
Bermandikan cahaya hangat malam hari, pria yang memposisikan diri sebagai walinya, pria yang dia lihat sebagai pelindungnya, pria yang telah menyerbu mimpinya setiap malam, berdiri di hadapannya seperti patung perunggu yang indah dengan setelan serba hitamnya.
Tatapan bola mata kristal biru itu menusuk ke dalam hatinya. Dia melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya di sana - keinginan yang begitu kuat, dia hampir tak bisa bernapas.
"Nona Maria," suara pelayannya menyadarkannya kembali pada biola di tangannya.
"Y-ya?" Dia menjawab sedingin yang dia bisa.
"Tuan Sarkon sudah kembali."
Maria berbalik. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. "Benarkah?" Kemudian, matanya melihat ke bawah, dan dia tersentak ngeri, "Aku tidak mau terlihat seperti ini! Aku harus berganti baju, Sophie."
Sophie membalas nyonya kecilnya dengan senyuman penuh pengertian. "Tentu saja."
Kedua wanita itu bergegas melintasi koridor panjang yang dihiasi dengan permadani mahal dan mahakarya seni serta patung yang mengarahkan mereka menuju sebuah pintu kayu ek besar.
Maria lebih cepat dari pelayannya dan buru-buru membuka pintu. Tanpa menunggu bantuan seperti biasanya, dia bergegas ke lemari pakaiannya dan mengambil gaun warna biru langit cerah yang ditaburi bintang-bintang.
Sambil memegang gaun itu di depan badannya, Maria tersenyum pada Sophie melalui bayangannya di cermin, "Dia akan terpesona."
Sophie tidak bisa menahan senyumnya. "Ya, dia tidak akan bisa mengalihkan pandangannya darimu."
Maria terkikik bangga.
"Mari kita berpakaian, Nona. Saya akan menata rambut Anda."
Ada ketukan lembut di pintu. Sophie pergi untuk menjawabnya.
Kain sutra lembut menempel sempurna di kulitnya, memamerkan lekuk tubuhnya di tempat yang tepat. Maria melirik ke potongan leher V yang rendah dan bagian atas payudaranya yang membusung dan menyeringai.
Sophie muncul di cermin lagi.
Maria tersenyum lebar pada bayangannya, "Bagaimana penampilanku?"
Sophie mencoba tersenyum, tetapi Maria tahu. Bahunya terkulai, membujuk pelayan itu untuk mengutarakan pikirannya.
"Apakah ada yang salah? Apakah sesuatu terjadi pada Paman Sarkon?"
Sophie menggelengkan kepalanya, "Dia baik-baik saja, Nona."
Maria mengusap dadanya dengan lega.
"Tapi Pak Sarkon sedang bersama seorang tamu. Seorang wanita."
"Seorang wanita? Apakah kamu tahu siapa dia?" Maria merasakan campuran ketidakpastian dan kecemburuan.
Dia berbalik. Sophie menggelengkan kepalanya meminta maaf. "Albert tidak mengatakan apapun kecuali bahwa Tuan Sarkon mengharapkan Nona hadir dalam lima menit. Tamu itu tidak boleh dibiarkan menunggu."
Maria melebarkan matanya tidak percaya. Mulutnya menjadi kering.
Itu terdengar seperti perintah. Perintah pertama yang pernah ia dapat dari Sarkon. Selama sembilan tahun mereka hidup bersama, tidak pernah sekalipun dia memerintahnya atau mendesaknya melakukan apa pun.
Dia juga tidak pernah membawa tamu wanita ke rumah.
Apa hubungannya dengan Sarkon?
Rasa panik yang aneh melanda Maria. Kemudian, perasaan takut muncul di dadanya. Mata zamrudnya melebar menatap lantai berkarpet krem saat pikirannya mencari-cari alasan yang paling masuk akal.
Mungkin dia hanya mitra bisnis. Tenang, Maria.
Maria menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia melihat bayangannya di cermin.
Sebuah suara kecil di kepalanya menyuruhnya pergi ke Sarkon dengan segera. Maria tersenyum pada Sophie.
"Ayo pergi."
"Tapi Nona, rambutmu."
"Biarkan saja," Maria berbalik dan meluncur menuju pintu. "Paman Sarkon benar. Kita seharusnya tidak membuat tamu kita menunggu."
***
Seperti biasa, mata Maria secara naluriah tertuju ke Sarkon.
Karena perawakannya yang atletis dan tinggi badannya, dia mengingatkan Maria pada seorang raksasa.
Tapi raksasa berusia dua puluh enam tahun ini memancarkan karisma yang mematikan dan memiliki daya tarik seperti model majalah. Pria-pria di semua sudut kota Lenmont mengikuti gaya setelannya dengan atasan pendek klasik dan gaya quiff keren, sementara para wanita saling bersaing satu sama lain hanya untuk mendapatkan perhatian darinya selama lebih dari lima menit.
Tak satu pun dari wanita itu berhasil.
Kecuali, tentu saja, Maria.
Tapi semua itu akan berubah.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Selama tiga tahun yang sulit, Emilia berusaha untuk menjadi istri Brandon yang sempurna, tetapi kasih sayang pria itu tetap jauh. Ketika Brandon menuntut perceraian untuk wanita lain, Emilia menghilang, dan kemudian muncul kembali sebagai fantasi tertinggi pria itu. Menepis mantannya dengan seringai, dia menantang, "Tertarik dengan kolaborasi? Siapa kamu, sih?" Pria tidak ada gunanya, Emilia lebih menyukai kebebasan. Saat Brandon mengejarnya tanpa henti, dia menemukan banyak identitas rahasia Emilia: peretas top, koki, dokter, pemahat batu giok, pembalap bawah tanah ... Setiap wahyu meningkatkan kebingungan Brandon. Mengapa keahlian Emilia tampak tak terbatas? Pesan Emilia jelas: dia unggul dalam segala hal. Biarkan pengejaran berlanjut!
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?