Cahaya Mustika atau dipanggil Caca adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama Liliknya (Om), adik dari mendiang sang Ayah. Sejak kecil dia merasa asing di keluarganya sendiri. Sebuah lamaran tak terduga datang dari Awan, anak mantan lurah di desanya. Sayang, Ibu Awan tak menyukainya bahkan menghina statusnya yang yatim piatu.Caca kembali ke Kebumen setelah kematian Eyang putrinya. Tanpa sengaja Caca menemukan surat sang ibu serta foto sang Ibu dengan sahabatnya, seorang Bu Nyai dari sebuah pondok pesantren di daerah Purwokerto. Caca pun memutuskan berkunjung kesana demi memenuhi wasiat sang Ibu agar dirinya mondok di pesantren. Hidup di pesantren, Caca bisa menjadi dirinya sendiri yang ceria dan sedikit ... tomboy. Bahkan di sana pula, dia menemukan musuh abadi yang membawanya pada sebuah hubungan rumit yang bernama hati. Lalu seperti apakah kisah Caca selanjutnya?
Cahaya mustika namaku. Usiaku kini 22 tahun. Gadis yatim piatu sejak berumur 12 tahun. Kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan mobil saat akan mengunjungi nenek kami di Jepara. Bus yang kami tumpangi tertabrak truk kontainer yang membawa semen.
Hingga akhirnya aku diasuh oleh adik ayahku. Aku memanggilnya Lik Marwan.
Lik Marwan mempunyai 3 anak. Si sulung seumuran denganku, Hasan. Dia anak dari mendiang istri pertamanya. Sedang anak keduanya berumur 20 tahun. Namanya Ningrum, sedangkan anak ketiganya berumur 17 tahun bernama Naufal.
Aku dan Hasan seperti anak terbuang dalam lingkungan keluarga ini. Maklum karena saat ini kami tinggal bersama keluarga besar istri kedua Lik Marwan yaitu Mirna. Meski Eyang Sosro, Ibu dari Bapak dan Lik Marwan ikut tinggal bersama tapi beliau sama seperti kami hanya penumpang saja dan tak dihargai.
Untuk urusan sekolah saja, aku dan Hasan bisa sekolah dengan mengandalkan beasiswa. Untung otak kami agak encer. Tapi selalu, aku yang juara. Hasan selalu sebal dan tak mau mengakui kalau aku lebih unggul dari pada dia. Hahaha.
Kami sudah lulus S1, aku mengambil pendidikan Biologi sedangkan dia pendidikan Matematika. Kami sekolah di Universitas Negeri Surakarta (UNS) bermodal beasiswa bidik misi.
Jangan tanyakan Ningrum dan Naufal, secara tampak mata jelas mereka tak seperti kami. Mereka adalah dua anak manja penuh kasih sayang. Sekolah dan kuliah hanya untuk mencari ijazah.
"Orang itu harusnya punya rikuh pekewuh (malu), sudah tahu numpang tapi ngelunjak. Dasar. Sana cari kerja biar gak selalu nunut lilikmu," nyanyian merdu Lik Mirna mulai membahana seperti biasa.
"Hasan juga, gak bisa nyari duit sok-sokan mau kuliah lagi. Sok pinter dia."
Aku yang sedang mencucikan baju milik keluarga ini hanya diam tak mau menjawab. Pokoknya tutup mulut sama kuping.
******
"Caca," panggil seseorang saat aku tengah berbelanja ke pasar. Awan mengulas senyum lebar ke arahku. Aku tersenyum balik ke arahnya.
"Mau pulang?"
"Iya."
"Aku antar."
"Gak usah."
"Gak papa. Aku bawa motor kok."
"Aku naik angkot aja. Makasih."
Awan tidak peduli akan penolakanku, dia langsung membawa belanjaanku menuju motornya. Terpaksa aku ikut motornya. Aku yakin nanti pasti akan jadi masalah.
*****
"Eh Mas Awan," sapa Ningrum manja.
"Eh Ningrum, kamu gak kuliah sih?"
"Ini mau berangkat Mas."
"Oh."
"Anterin yuk Mas."
"Waduh maaf, nanti aku harus ke Kecamatan. Ada rapat sama Pak Camat."
"Au ah. Mas Awan nyebelin." Ningrum pergi dengan memasang muka kesal.
"Loh Nak Awan, kok kesini?" tanya Lik Mirna.
"Oh ini Bu, ngantar Caca. Kasihan bawa belanjaan banyak."
"Ckckck, Ca ... Ca ... Udah Lilik bilang supaya kamu bawa motor, tuh jadi ngerepotin Nak Awan kan?"
"Gak ngerepotin kok Bu, saya malah suka."
Aku memilih diam dan langsung membawa belanjaanku ke dalam rumah. Sengaja berlama-lama di dalam rumah hingga kudengar suara motor Awan.
"Kamu itu jadi orang sadar diri, ndeleng awakmu. Kamu itu sopo? Bukan siapa-siapa. Awan itu anak orang terpandang disini. Bapaknya mantan lurah, ibunya guru SD, kamu itu siapa?"
Aku hanya diam menunduk.
"Udah numpang, gak tahu diri ...." Lik Mirna masih ngomel-ngomel seperti biasa.
Andai aku mau, aku dan Hasan tak mungkin diam diperlakukan semena-mena olehnya. Selama ini kami diam karena menenggang perasaan Lik Marwan dan terutama Eyang Sosro.
Aku menuju kamar belakang, disana ditempat tidur yang mulai reot tergeletak Eyangku, usianya sudah 70 tahun. Sudah sangat sepuh. Hanya beliau yang masih hidup. Eyang kakung meninggal sejak Bapak dan Lik Marwan masih kecil-kecil.
Kupandangi wajah tuanya, kemudian mengelus pelan pipinya. Eyang terbangun dan tersenyum.
"Nduk ...."
"Dalem, Eyang."
"Sing sabar ya."
"Eyang mbe pengin balik Kebumen. Neng kene Eyang ora betah. Angger neng Kebumen ketemu dulur karo tangga perek mesti pada eman karo Eyang." (Eyang juga kepingin pulang ke Kebumen. Disini Eyang gak betah. Kalau di Kebumen bertemu saudara dan tetangga dekat mesti mereka sayang sama Eyang)
"Sing sabar nggih Yang, wonten kulo kalih Hasan." (Yang sabar ya Eyang, ada saya sama Hasan)
*****
"Gimana? ada perkembangan bagus gak untuk beasiswanya?"
"Hahaha. Kamu tahu gak, aku daftar di Malaysia. Kayaknya gak bakalan keterima lah wong saingannya jos-jos," jawab Hasan.
Kami sedang ngobrol didekat kandang ayam. Hanya ini tempat dimana tak ada yang bakalan mengomeli kami. Lah wong yang ada cuma ayam, paling berkokok ... Petok ... Petok ... Cukup dikasih makan anteng ayamnya.
"Kok Malaysia? Bukannya mau di UNS juga?"
"Aku mangkel sama Bapak. Waktu itu udah setuju aku ambil S2 tapi gara-gara Ibu Mirna ngomong, Bapak jadi ngelarang aku."
"Hahaha ... Terus kalau gak keterima kamu mau gimana?"
"Angon sapi."
Aku terkekeh mendengar celetuknya. Iya, Lik Mirna itu tidak suka kalau kami lebih sukses dari kedua anaknya. Makanya walau gelar kami sudah sarjana tapi sengaja aku dijadikan sebagai ART dan Hasan tukang angon sapi peliharaan keluarganya. Sedangkan kedua anaknya dilimpahi kasih sayang tak terkira. Masa bodoh besok mau jadi apa mereka nantinya. Jadi pengangguran gak masalah yang penting aku sama Hasan juga gak jadi orang.
*****
Aku habis menjemur pakaian. Tiba-tiba Lik Mirna memintaku mengirim SMS kepada kakaknya sesuai dengan catatan kecil yang sudah dia buat. Mau tak mau aku melakukan hal yang disuruhnya sambil duduk di kursi dekat pohon mangga.
Saat aku mulai mengetik, aku merasa aneh dengan tingkahnya pun Ningrum si gadis manja. Aku tak terlalu peduli dan mulai mengetik SMS.
"Eh Bu Laras, mau kemana Bu?"
"Eh Bu Mirna sama Ningrum juga. Duh Ningrum rajin ya, pagi-pagi udah sapu-sapu."
"Iyalah Bu, anak saya kan tak didik jadi calon istri yang baik gak kaya tuh yang cuma bisa numpang hidup saja."
Aku menoleh ke arah mereka. Ckckck ... Rupanya mereka lagi drama. Aku tak peduli mereka ngomong apa saja tentangku. Bahkan tanggapan Bu Laras pun tak akan kupedulikan karena bagiku mereka sama saja. Bu Laras walau katanya guru SD dan PNS tapi aku tak pernah menaruh hormat padanya. Sedikitpun. Catet itu.
Perilakunya tak mencerminkan pada titel dan status yang dimilikinya. Dia termasuk guru sombong dan arogan. Untung aku tidak sekolah di SD tempat beliau mengajar.
Husna sahabatku sekolah di SD tempat beliau mengajar. Saat itu ada iuran kurban hanya sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Dia yang anak kurang mampu membayar dengan uang receh logam dan dibungkus plastik bening. Dengan sombongnya beliau tak mau menerima uang tersebut. Beliau tak tahu bahwa uang recehan itu Husna kumpulkan dengan mengurangi jatah jajannya yang tak seberapa. Husna menangis tersedu bercerita padaku dan Hasan.
Hasan yang saat itu punya uang dua puluh ribu dan aku sepuluh ribu ditambah dalam plastik Husna ada uang lima ribu akhirnya digunakan untuk membayar iuran kurban.
Sejak saat itu aku tak menaruh respek pada keluarga mantan lurah itu. Walaupun orang bilang Awan itu tidak seperti kedua orang tuanya. Tapi aku tak peduli.
Aku tahu Awan menaruh hati padaku. Tapi aku tak pernah menanggapi. Karena selain aku tak suka padanya, aku tak mau mati muda dengan bermertuakan orang seperti Bu Laras. No. No. No. Walau aku yatim piatu tapi aku cukup tahu diri dan tahu seperti apa kriteria calon suamiku kelak. Dan sayangnya itu tak ada pada diri Awan.
Bagas Surya Atmaja adalah cucu ketiga dari Binawan Atmaja. Setelah lama merantau sekian tahun ke Kalimantan, ia harus pulang ke kampung halaman demi membantu memulihkan keadaan perekonomian pabrik dan perkebunan Keluarga Atmaja. Ia pun membawa istrinya Nawang untuk diperkenalkan dengan keluarganya. Masalah demi masalah datang dalam hidupnya, mulai dari teror misterius, ketidaksukaan eyang putri pada istrinya, penolakan keluarga besar akan kehadirannya, konfrontasi dengan sepupu bahkan kehadiran Seruni cinta pertamanya semakin membuat hidupnya penuh dengan masalah. Belum lagi, maut sedang mengintai Bagas dan seluruh penghuni Rumah Atmaja. Mampukah Bagas mengungkap misteri di keluarganya? Atau dia sendiri yang akan menjadi korban?
Nasha mempunyai calon kakak ipar ganteng bernama Rayyan. Rayyan adalah pacar kakaknya, Nisha. Nasha selalu menjadikan kisah percintaan Rayyan dan Nisha sebagai tolak ukur baginya untuk menjalin suatu hubungan dengan lawan jenis. Hingga akhirnya dia memilih Feri sebagai pacarnya. Karena Feri memiliki karakter yang hampir mirip dengan Rayyan yaitu ganteng, pengertian, dan lembut. Satu lagi hal yang membuat Nasha menyukai Feri karena Feri adalah lelaki bertanggungjawab yang bahkan tak mau menciumnya karena Nasha memang hanya mau menyerahkan semuanya pada suaminya kelak. Hingga sebuah kecelakaan tragis menimpa Nisha, kakaknya dua hari sebelum pernikahan. Nisha meninggal sehingga membuat Nasha sangat sedih. Belum lagi fakta yang ia ketahui kalau Feri pacarnya telah menghamili sahabat baiknya, Rosi. Feri beralasan karena dia butuh pelampiasan sedang Nasha tak mau disentuh olehnya. Patah hati membuat Nasha jadi malas berhubungan dengan semua lelaki hingga dia dipertemukan lagi dengan orang masa lalu. Rayyan mantan calon kakak iparnya.
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?
Cerita tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, menembus gerbang keperjakaannya, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik. Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Namun Kino mempunyai hal yang menarik yang dalam cerita ini lebih menarik dari cerita fenomenal lainnya.
21++ BANYAK ADEGAN BERBAHAYA TIDAK UNTUK DITIRU! "Kamu hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Kamu hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Aku mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umurku masih 16 tahun. Aku mau bebas." Ayden meninggalkan Delisha yang mematung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan apa yang akan ia hadapi ke depan disaat usianya masih sangat belia 14 tahun.
Bagi yang belum cukup umur, DILARANG KERAS Membaca Cerita ini, karena banyak sekali adegan Dewasa. Mohon Bijak Dalam Membaca.⚠️ Menceritakan seorang anak muda, yang terjerumus kedalam lubang hitam, hingga akhirnya, pemuda tampan kecanduan seks dengan Guru dan keluarganya sendiri.
Pada hari ulang tahun pernikahan mereka, simpanan Jordan membius Alisha, dan dia berakhir di ranjang orang asing. Dalam satu malam, Alisha kehilangan kepolosannya, sementara wanita simpanan itu hamil. Patah hati dan terhina, Alisha menuntut cerai, tapi Jordan melihatnya sebagai amukan lain. Ketika mereka akhirnya berpisah, Alisha kemudian menjadi artis terkenal, dicari dan dikagumi oleh semua orang. Karena penuh penyesalan, Jordan menghampirinya dengan harapan akan rujuk, tetapi dia justru mendapati wanita itu berada di pelukan seorang taipan yang berkuasa. "Ayo, sapa kakak iparmu."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”