/0/23295/coverbig.jpg?v=a60bd0cf9490e1d640cb2ff10b023a11)
Pergolakan batin yang harus dihadapi seorang Arleta Damayanti yang tengah dilanda masalah yang cukup hebat. Bagaimana tidak? Dia melahirkan bayi yang sudah meninggal dalam kandungan, saat hari dimana bayinya akan dimakamkan, suaminya malah menggugat cerai dirinya. Keadaan yang terpuruk itulah yang membangkitkan hati yang telah terluka dan membuat seorang Arleta menjadi lebih mawas diri saat menemukan pria baru dalam kehidupannya. Saat ada seseorang yang mulai mengisi hatinya, ternyata hanya di anggap sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Tekanan demi tekanan dari pihak keluarga yang membuat Arleta kemudian harus pergi. Di saat itulah istri sekaligus mantan sahabatnya yang telah menikah dengan mantan suaminya, datang dan memberikan teror dalam kehidupannya. Akankah, Arleta bisa mengatasi permasalahannya ataukah mantan suaminya juga akan mendukung istri barunya untuk melakukan kejahatan pada Arleta. Bagaimana kelanjutannya, di saat suami kedua Arleta yang ternyata memiliki riwayat penyakit hingga akhirnya keluarganya kemudian berbaik hati menyuruh Arleta mengurus dan merawat suaminya. Ikuti terus ceritanya sampai cerita ini berakhir dengan ending yang baik.
Hari ini adalah hari yang cukup menyedihkan baginya. Arleta duduk termangu dalam kesedihan akibat kematian bayinya. Isak tangisnya belum berhenti sampai ketika ibunya menghampiri membuatnya makin sedih tak karuan.
"Let, ikhlaskan kepergian anakmu. Dia mungkin lebih baik berpulang lagi ketimbang menjalani hidup dengan permasalahan yang kalian miliki,"
"Bu, ibu kok begitu. Leta lagi sedih malah ibu bilangnya setega itu," keluhnya.
"Bukan maksud ibu membuatmu makin sedih. Tapi ingat, jika hidup pun akan kasihan kalau terus menerus kalian seperti itu. Suamimu tidak bertanggung jawab. Ibu hanya mengingatkan saja," ucap ibunya seraya membereskan barang-barang milik bayinya.
Arleta memandangi pakaian bayi yang sudah dipersiapkan. Rasa sedihnya semakin menjadi manakala ia mengingat semua kenangan saat mencuci pakaian itu.
Beberapa barang juga mulai disimpan. Ibunya tampak menghela napas. Ada rasa lega mungkin karena melihat penderitaannya selama ini. Lega bukan karena kematian bayinya, melainkan karena ini jauh lebih baik ketimbang nanti hidup malah menjadi lebih kasihan.
Dokter mengatakan jika keadaan bayinya tidak memungkinkan lahir secara normal.
Arleta mulai menangis lagi. Ia terlahir dengan keadaan yang cukup menyedihkan dimana ibunya dulu juga ditinggalkan sang ayah saat mengandung dirinya.
Saat mendengar kematian bayinya, ia merasa hidupnya hancur, diambang kehampaan. Bagaimana tidak, ia juga telah mengandung bayinya dalam keadaan kesedihan yang luar biasa.
Hatinya rapuh sekaligus hancur saat rumah tangganya harus menjadi petaka dalam kehidupannya.
"Bu ... aku mau mati saja kalau begini," keluhnya sambil bercucuran air mata.
Tangisnya pecah saat dokter menyatakan bayinya meninggal dalam kandungan. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, suaminya menggugat cerai dirinya.
Suami yang lebih tepatnya ia sebut sebagai suami yang durjana. Pria itu menceraikannya dan memilih wanita lain sebagai kekasih hatinya.
Suaminya memberinya talak, berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Hidupnya disia-siakan seolah tak ada kenangan baik di antara mereka.
Pilihan hidupnya adalah menjadi janda, dan kini jadi ibu pun gagal karena bayinya meninggal.
"Bu ... ibuuuu ... " pekiknya.
Arleta tak kuasa menahan kesedihan yang harus dipikulnya karena semua ia tanggung sendiri.
"Jangan bilang begitu, pamali Let, minumlah dulu. Kita akan mengubur bayi mu setelah ashar nanti!"
Matanya berair, tak bisa berhenti dan terus bercucuran tiada henti. Tangisnya pecah saat beberapa orang menjenguk keadaannya.
"Bu, kapan bayiku dimakamkan?" tanyanya di sela isaknya.
Ibunya masih terdiam, yang sedang menerima ucapan bela sungkawa dari para tentangganya.
"Habis Ashar ya, Bu?" tanyanya lagi, memastikan.
"Iya, mau ikut?"
Arleta menggeleng. merasa berat memikul penderitaan ini. Dia lelah menjadi orang yang sabar dan suaminya juga berperan pernting dalam kematian bayinya.
"Aku nggak mau ikut, Bu. Nggak tega melihatnya, dia masih kecil, Bu, ..." ia terisak lagi.
"Cup ... cup ... cup ... sudah, Let. Jangan ditangisi lagi, biarkan bayimu tenang di alam sana, bisa jadi tabungan di akhirat kelak," tetangganya yang menjenguk mencoba menenangkannya.
Arleta Damayanti, dia baru saja melahirkan bayinya tapi dalam keadaan meninggal dunia. Karena tekanan batin dan pikiran, membuat kehamilannya terganggu dan mengakibatkan kematian pada bayinya.
Arleta terpuruk dan tak memiliki pegangan bahkan untuk tempat bersandar pun tidak ada. Betapa tidak, merasakan semua beban hidupnya yang makin hari makin membuat dirinya jadi tak menentu.
Bayi yang dilahirkannya saat masih berada di dalam perutnya yang telah berusia delapan bulan tak bisa diselamatkan. Ia mengalami tekanan batin selama mengandung.
Kehidupannya cukup keras saat berumah tangga. Suaminya berkelakuan buruk dan baru terlihat sifat aslinya setelah ia hamil.
Kehamilannya seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan tapi malah jadi bumerang untuknya.
Suaminya mulai bertingkah selayaknya pria bujangan yang butuh perhatian seorang wanita.
Hamil muda ia menang sakit-sakitan dan terus muntah bahkan mual tak karuan. Jarang memikirkan atau memperhatikan suaminya hingga suatu waktu mereka ketahuan selingkuh di belakangnya.
Banyaknya masalah yang terjadi membuatnya tak bisa mengontrol emosi dan marah melihat kelakuan mereka.
Karena tekanan pikiran yang dirasakannya itulah, membuatnya harus banyak mengalami stress yang berimbas pada kandungannya.
Pagi tadi, ia merasakan sakit yang begitu hebat saat baru selesai memasak di dapur. Ibunya baru saja pulang dari jualan berkeliling. Ia terpaksa dilarikan ke bidan terdekat dan dari sana dirujuk ke rumah sakit yang kata dokter bayi dalam kandungannya tidak lagi memiliki detak jantung hingga akhirnya harus melahirkan saat itu juga.
Untungnya kelahiran itu dilakukan secara normal tapi saat bayinya keluar dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Satu minggu setelah pemakaman itu, ia selalu melamun. Tagihan demi tagihan datang silih berganti. Ibunya hanya bisa memberikan janji pada si pemberi hutang untuk membayar hutang-hutangnya saat melahirkan bayinya dan proses pemakaman yang membutuhkan uang cukup banyak kemarin.
Suami yang seharusnya membantunya serta memberikan perlindungan, atau pun mengurus pemakaman bayi mereka ternyata tak datang bahkan tak memberi keterangan apapun saat pihak keluarganya menghubungi suaminya.
Sungguh keji perlakuannya, hingga ibunya minta dia melupakannya dan tak lagi berhubungan atau menyambung silahturahmi.
Sampai sekarang ketuk palu perceraian pun belum dilakukan tapi tahu-tahu ia mendengar kabar kalau mantan suaminya telah menikah siri dengan wanita lain yang jadi selingkuhannya.
"Sebaiknya kamu sehatkan tubuhmu biar nanti bisa kerja. Hutangmu banyak apalagi suamimu lepas tangan dan main gugat cerai saja!" kata ibunya.
Mereka tengah duduk di ruang tengah, ibunya sedang membuat lontong dari daun. Nanti malam mereka mengadakan acara tahlilan dan menu masakan opor ayam. Ibunya sudah cukup tegar menghadapi kemelut rumah tangganya yang cukup pelik.
"Hutang-hutang makin menumpuk, ya Bu? Arleta musti kerja,"
"Iya, tapi sehat kan dulu jiwa dan ragamu. Kesehatan jauh lebih penting dari apapun juga," imbuh ibunya lagi.
Arleta hanya diam saja, tidak ada dalam pikirannya memikirkan pria itu. Seorang pria busuk yang berselingkuh di belakangnya.
Pernikahannya memang dulu ditentang ibunya karena tahu bagaimana sepak terjang Mas Yoga kala itu. Ia melawan ibunya demi cintanya pada pria yang dianggapnya baik.
Semua itu telah membuatnya sadar setelah kejadian beberapa bulan yang lalu hingga dia terpaksa diam dan tak menceritakan apapun pada ibunya.
Ia butuh ketenangan dan juga jauh dari keberadaan sosok mantan suaminya yang tidak setia.
Yang dipikirkan sekarang bagaimana dia bisa membayar hutang-hutangnya.
"Bu ... " panggilnya.
"Ada apa?"
"Aku mau beli HP, ibu ada uang nggak?"
"Uang? Uang dari mana, Let?"
Arleta terkejut dan meminta ibunya untuk memberinya jawaban yang tepat. "Maaf, Bu kok malah nangis,"
"Ibu bingung kamu kok nanyanya begitu,"
"Leta butuh HP soalnya, kalau ada ya Arleta pinjam dulu, nanti kalau sudah kerja, akan Leta kembalikan,"
Ibunya diam saja, bukan marah tapi langsung menunduk lesu bahkan menitikkan air mata. Mungkin karena pertanyaannya yang tak masuk akal membuat ibunya tak mau menjawabnya.
"Maaf, Bu. Leta tahu kalau ibu bahkan aku sendiri nggak punya uang untuk membelinya, tapi ... ada yang ingin Leta hubungi, teman Leta yang di Jakarta, dia ada pekerjaan disana dan ..."
"Kamu bisa jual cincin pernikahan ibu, ini ... jual saja biar kamu bisa beli HP,"
"Tapi ... Bu ..."
Arleta merasa ragu, dipandanginya cincin itu. Cincin pernikahan yang masih setia ibu sematkan di jari manisnya.
Sungguh merana hidup Deana, setelah kehilangan kedua orangtuanya pada sebuah kecelakaan, kini tiba-tiba preman meneror datang mengancamnya jika tak segera melunasi hutang keluarganya. Nyawanya terancam. Hidup di ujung tanduk membawanya pada jalan pintas. Menjual kesuciannya pada seorang pria. Tanpa diduga, pria bernama Marvin itu justru kemudian menawarkan sesuatu yang mungkin akan jadi solusi masalahnya. "Lahirkan bayi untukku, maka akan aku lunasi semua hutangmu!" kata Marvin dengan dingin Deana bergidik. Ini memang solusi, tapi juga masalah lebih besar akan dimulai.
Gladys Amara, adalah seorang gadis yang cukup cuek dalan penampilan dan juga tingkah laku yang tidak jaim. Seorang pria yang berstatus duda menyukainya sejak pandangan pertama dan berusaha mendekatinya tapi Gladys benar-benar cuek hingga duda itu akhirnya melancarkan aksinya yang akhirnya membuat mereka menikah. Gladys merupakan gadis dari anak pasangan Pak Ramlan dan Bu Fatma, mereka sangat menyayangi putrinya hingga membantu menantunya yang duda untuk membuat Gladys mencintai suaminya. Akankah mereka menjadi pasangan yang bisa saling mencintai atau sang duda akan mencintai secara sepihak saja. Ikuti kelanjutan kisah Gladys dan sang duda dalam kisah yang menarik ini.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Tinggal di sebuah kampung pedesaan di daerah Cianjur, JawaBarat. Membuat dia masih polos karena jarang bergaul dengan teman sebayanya, dari sebelum menikah sampai sekarang sudah menikah mempunyai seorang suami pun Sita masih tidak suka bergaul dan bersosialisasi dengan teman atau ibu-ibu di kampungnya. Sita keluar rumah hanya sebatas belanja, ataupun mengikuti kajian di Madrasah dekat rumahnya setiap hari Jum'at dan Minggu. Dia menikahpun hasil dari perjodohan kedua orangtuanya. Akibat kepolosannya itu, suaminya Danu sering mengeluhkan sikap istrinya itu yang pasif ketika berhubungan badan dengannya. Namun Sita tidak tahu harus bagaimana karena memang dia sangat amat teramat polos, mengenai pergaulan anak muda zaman sekarang saja dia tidak tahu menahu, apalagi tentang masalah sex yang di kehidupannya tidak pernah diajarkan sex education. Mungkin itu juga penyebab Sita dan Danu belum dikaruniai seorang anak, karena tidak menikmati sex.
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?