Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta dalam Sepotong Kue
Cinta dalam Sepotong Kue

Cinta dalam Sepotong Kue

5.0
5 Bab
3 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Rasa adalah segalanya bagi Elena Moreau, hingga kecelakaan merenggut indra pengecapnya. Tanpa kemampuan untuk mencicipi kuenya sendiri, toko rotinya terancam bangkrut. Ketika seorang kritikus makanan terkenal, Adrien Laurent, menawarkan bantuan dengan menjadi "lidah"-nya, Elena terpaksa menerima meskipun pria itu terkenal kejam dan tidak berperasaan. Namun, di saat yang sama, Lucas Fontaine, pria dari masa lalunya, kembali dengan janji untuk membantunya bangkit. Di antara pria yang membantunya menemukan kembali rasa dan pria yang ingin mengembalikan kenangan manis mereka, Elena harus membuat pilihan. Cinta, ambisi, dan kesempatan kedua bercampur dalam setiap gigitan. Namun, siapakah yang benar-benar bisa ia percayai?

Bab 1 Rasa yang Hilang

Langit pagi di Paris membentang lembut dengan semburat jingga, menyelimuti jalanan berbatu yang mulai ramai oleh pejalan kaki. Aroma kopi dan roti panggang menguar dari sudut-sudut kafe, bercampur dengan udara musim semi yang masih dingin. Di tengah hiruk-pikuk kota, sebuah toko roti kecil dengan papan nama elegan berdiri kokoh-La Douceur.

Elena Moreau menatap rak-rak kaca yang dipenuhi aneka pastry buatannya. Croissant yang berlapis sempurna, éclair dengan isian krim lembut, dan tarte tatin yang mengilap karena karamel yang dipanggang dengan presisi. Setiap kue adalah hasil dari dedikasi dan cintanya pada seni kuliner.

"Madame Moreau, ini luar biasa seperti biasa." Seorang pelanggan tetap, Madame Dubois, tersenyum sambil menggigit mille-feuille yang renyah.

Elena tersenyum. "Merci, Madame. Saya harap selalu bisa membuat Anda bahagia dengan rasa."

Baginya, menciptakan kue bukan sekadar pekerjaan-itu adalah jiwanya. Ia memahami keseimbangan rasa dengan naluri, menggabungkan keasaman buah dengan kelembutan krim, menciptakan harmoni dalam setiap gigitan.

Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa suatu hari, rasa itu akan menghilang darinya.

Hari itu, dapur La Douceur dipenuhi keharuman butter dan vanilla. Elena sedang bereksperimen dengan resep baru-choux au craquelin dengan isian krim praline. Ia menimbang gula dengan teliti, mencampurnya dengan mentega yang telah dilunakkan, dan mengaduknya hingga menjadi adonan lembut.

"Chef, oven sudah siap," ujar Camille, asistennya.

Elena mengangguk, meratakan adonan choux di atas loyang, lalu mendorongnya ke dalam oven. Namun, saat ia berbalik untuk mengambil krim praline, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tumpukan mangkuk stainless steel yang diletakkan sembarangan di rak atas mendadak tergelincir. Dalam hitungan detik, Elena merasakan benda logam itu menghantam kepalanya. Dunia berputar, pandangannya mengabur, lalu semuanya menghilang dalam kegelapan.

Saat ia sadar, cahaya putih rumah sakit menyilaukan matanya. Kepalanya terasa berat, dan ada suara monitor jantung yang berbunyi di sampingnya.

"Elena?"

Suara itu terdengar familier. Camille.

"Elena, kau sadar? Astaga, aku begitu khawatir!"

Elena mencoba berbicara, tetapi suaranya serak. Seorang dokter mendekat, melihatnya dengan tatapan penuh perhatian.

"Nona Moreau, bagaimana perasaan Anda?"

"Kepalaku pusing..." suaranya nyaris berbisik.

Dokter mengangguk. "Anda mengalami cedera kepala ringan akibat benturan keras. Kami telah melakukan pemeriksaan, dan ada sesuatu yang harus kami beri tahu."

Elena menatapnya, perasaan cemas menjalar di tubuhnya.

"Anda mengalami ageusia, kehilangan indra pengecap."

Dunia Elena seakan berhenti.

***

Hari pertama kembali ke La Douceur, Elena mencoba menyangkal kenyataan.

Ia mengambil sendok kecil, menyendok sedikit krim vanilla dari mangkuk dan membiarkannya melebur di lidahnya. Tidak ada rasa. Ia mencoba mencicipi ganache cokelat-tetap tidak ada.

Dengan gemetar, ia menggigit croissant yang baru keluar dari oven. Tidak ada mentega yang lumer di mulutnya, tidak ada renyahnya lapisan-lapisan pastry.

Hampa.

Camille menatapnya dengan prihatin. "Chef... bagaimana?"

Elena tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, tangannya menggenggam sendok erat-erat.

Beberapa minggu berlalu, dan dampaknya mulai terasa. Pelanggan mulai mengeluh bahwa rasa kue-kue di La Douceur tidak seperti dulu. Tanpa kemampuannya mencicipi, ia hanya bisa bergantung pada resep yang sudah ada, tetapi itu tidak cukup. Toko yang dulu ramai mulai kehilangan pengunjung.

Dan ketika ia berpikir keadaan tak bisa lebih buruk, sebuah artikel di majalah kuliner mengubah segalanya.

"Tragedi La Douceur: Dari Manis Menjadi Hambar"

Adrien Laurent, kritikus makanan terkenal, menuliskan ulasan tajam tentang penurunan kualitas La Douceur.

"Dulu, setiap gigitan dari pastry buatan Elena Moreau adalah simfoni rasa. Kini, yang tersisa hanyalah kekosongan. Apakah sang maestro telah kehilangan sentuhannya?"

Artikel itu seperti belati yang menancap di hatinya.

Marah dan terluka, Elena mencari tahu keberadaan Adrien. Jika ia harus kehilangan segalanya, ia tidak akan tinggal diam.

Saat akhirnya ia menemukan Adrien Laurent, pria itu sedang duduk di salah satu kafe mewah di Paris, menikmati secangkir espresso.

"Elena Moreau," katanya, tanpa perlu melihat. Seolah ia sudah tahu Elena akan datang.

Elena mengepalkan tangan. "Siapa kau sampai bisa berkata seperti itu tentang La Douceur?"

Adrien mengangkat alis, menyesap kopinya perlahan sebelum menjawab. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

"Sebenarnya?" Elena tertawa pahit. "Kau tidak tahu apa yang terjadi. Kau tidak tahu apa yang aku alami."

"Benar," Adrien menatapnya tajam. "Tapi yang kutahu, seorang chef yang kehilangan kemampuannya merasakan rasa, sama saja dengan seorang pelukis yang kehilangan penglihatannya."

Elena membeku. Kata-kata itu begitu kejam, tetapi di dalamnya ada kebenaran yang tak bisa ia sangkal.

"Aku bisa membantumu," kata Adrien tiba-tiba.

Elena mengernyit. "Apa?"

"Aku akan menjadi lidahmu."

Ia terdiam, tidak mengerti maksudnya.

"Kau tidak bisa mencicipi, tapi aku bisa. Aku bisa membantumu menemukan kembali rasa, dengan syarat kau mengikuti semua aturanku."

Elena menatap pria itu, mencoba mencari tanda-tanda belas kasihan di matanya. Tidak ada. Hanya ketegasan dan sedikit tantangan.

"Kau tidak perlu menjawab sekarang. Pikirkan baik-baik." Adrien berdiri, meninggalkan uang di atas meja. "Dan, Elena?"

Ia menoleh.

"Jangan biarkan La Douceur mati hanya karena kau takut."

Elena menghela napas panjang. Tawaran itu terasa seperti taruhan besar, dan ia tidak yakin bisa menerima cara Adrien yang terkenal dingin dan perfeksionis.

Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, seseorang dari masa lalunya kembali.

Hari itu, bel pintu La Douceur berbunyi.

Ketika Elena berbalik, jantungnya hampir berhenti berdetak.

Lucas Fontaine berdiri di sana, dengan senyum yang sama seperti bertahun-tahun lalu.

"Elena..."

Suara itu membawanya kembali ke masa lalu-ke hari-hari ketika mereka pernah bermimpi bersama, sebelum ia pergi meninggalkan semuanya.

"Aku mendengar kabarmu," kata Lucas, suaranya penuh kekhawatiran. "Aku ingin membantu."

Elena menatapnya tanpa kata. Luka yang ia kira sudah sembuh mendadak terbuka lagi.

Dua pria. Dua pilihan.

Yang satu menawarkan masa depan. Yang satu mengingatkannya pada masa lalu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elena tidak tahu harus mempercayai siapa.

Elena masih berdiri diam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Lucas Fontaine. Nama itu membawa sejuta kenangan-manis sekaligus menyakitkan. Dulu, mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Lucas adalah orang yang pertama kali mencicipi kue buatannya dan memberi semangat ketika ia ragu membuka La Douceur. Namun, ia juga orang yang pergi tanpa penjelasan, meninggalkan luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh.

"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Elena terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan.

Lucas tampak ragu sebelum menjawab, "Aku kembali ke Paris... dan aku mendengar tentang kecelakaanmu."

Elena menegang. Berita tentang keadaannya sudah menyebar sejauh itu?

"Aku ingin membantu, Elena," lanjutnya. "Aku tahu betapa berartinya La Douceur bagimu. Aku tahu ini adalah mimpimu."

Elena tertawa kecil, tapi tanpa kegembiraan. "Lucu. Kau berbicara tentang impianku, padahal kau orang pertama yang menghancurkannya saat pergi tanpa kabar."

Lucas menghela napas panjang. "Aku tahu aku membuat kesalahan. Tapi beri aku kesempatan untuk menebusnya."

Sebelum Elena sempat menjawab, bel pintu berbunyi lagi.

"Kau kedatangan tamu lain." Suara bariton itu terdengar tenang, tetapi menusuk.

Elena menoleh dan melihat Adrien Laurent berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel panjang dengan tangan di saku. Tatapannya tertuju pada Lucas, lalu pada Elena.

"Aku harap aku tidak mengganggu," katanya, meskipun jelas dari caranya berdiri bahwa ia tahu persis apa yang sedang terjadi.

Elena merasakan tekanan di dadanya. Ini buruk. Dua pria dari masa lalu dan masa kini, berdiri di tempat yang sama, masing-masing menawarkan bantuan dengan cara mereka sendiri.

"Apa kau sudah memikirkan tawaranku?" tanya Adrien, berjalan mendekat dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Lucas menyipitkan mata. "Tawaran apa?"

"Hal yang mungkin bisa menyelamatkan La Douceur," jawab Adrien santai, sebelum kembali menatap Elena. "Tapi tentu saja, keputusan tetap ada padamu."

Elena menghela napas. Ia tidak pernah menyangka bahwa kehilangan indra pengecapnya bukan hanya akan menghancurkan mimpinya, tetapi juga membawanya ke dalam dilema baru yang lebih rumit.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY