Blurb Kehidupan rumah tangga, tak lengkap jika sang malaikat kecil belum hadir. Lima tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, tanda-tanda malaikat kecil belum hadir juga di rahimku. Segala cara sudah kami coba. Namun, tak ada satupun yang berhasil. Hingga suatu hari, seorang bayi perempuan ditinggalkan seseorang di depan rumah kami. Awalnya kami akan melaporkannya pada ketua RT. Namun, sebuah ide gila hadir di otakku. Dan suami menyetujuinya. Kami mengadopsi bayi itu dan memberikan nama keluarga suami padanya. Entah apa yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Segala kejanggalan terjadi semenjak bayi itu datang. Mulai dari liontinku yang hilang ada pada bayi itu, sampai sikap suamiku yang tiba-tiba berubah. Bayi itu seakan menjadi pusat utama dunianya. Bukan karena aku cemburu, tetapi sikapnya sangat berlebihan. Semuanya menjadi aneh, terlebih banyak hal-hal yang disembunyikan dariku. Suamiku, Papa dan Mama mertua, dan yang lebih mengherankan pembantu di rumahku. Akankah semuanya akan terbongkar? Dan dapatkah aku bisa menghadapi semuanya?
Malam itu, aku dan Mas Denis hendak pergi ke peraduan. Di luar hujan turun dengan derasnya. Saat tiba-tiba sayup-sayup kudengar suara tangisan. Suara tangis bayi di antara suara rintik-rintik hujan yang turun.
Aku menajamkan telinga, sambil mengingat-ingat. Bayi siapa yang tengah malam begini menangis terus menerus.
"Mas, denger enggak?" tanyaku pada Mas Denis.
Mas Denis terdiam. Sepertinya ia sedang fokus mendengarkan.
"Suara tangisan bayi?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. Ternyata telinga Mas Denis tajam juga. Disela rintik hujan deras, suara itu tak terdengar terlalu keras. Namun, ternyata jelas bagiku dan Mas Denis untuk mendengarkannya.
"Kayaknya ada di luar, Mas," jawabku.
"Ayo kita lihat," ucapnya seraya bangkit dari tempat tidur.
"Tunggu, Mas," ucapku sambil memegang lengan Mas Denis. Aku takut, kalau yang kami dapati ternyata hanya 'makhluk' yang sedang iseng.
"Kenapa?" tanya Mas Denis.
"Anu, hati-hati, Mas. Ini tengah malam, takut ada yang iseng," ucapku pelan.
"Lagipula di sekitar sini tak ada yang punya bayi," lanjutku.
"Enggak ada. Kalau benar bayi orang bagaimana?" tanyanya.
"Sudah kita lihat saja, kasihan bayi itu sepertinya menangis sejak tadi," ucap Mas Denis.
Aku mengangguk, kemudian mengekor di belakangnya.
Aku dan Mas Denis adalah sepasang suami istri. Sejak kami menikah lima tahun yang lalu, kami sudah tinggal di komplek perumahan ini. Tak heran jika aku tahu tak ada seorangpun yang sedang memiliki bayi di sekitar sini.
"Mas, aku di sini aja, ya. Di depan gelap banget," ujarku. Kami saat ini sedang berdiri di teras depan pintu rumah.
"Oh, ya sudah, biar aku cek ke depan. Suaranya sudah dekat," ucapnya seraya mengambil payung.
Mas Denis membuka payung, kemudian berjalan cepat ke arah gerbang.
"Dek! Ini ada bayi!" teriak Mas Denis ketika ia kembali masuk ke teras. Di tangannya, ada keranjang bundar terbuat dari rotan yang dianyam.
Bersamaan dengan itu, suara tangis bayi terdengar makin keras.
"Ya Allah ... anak siapa ini, Mas?" tanyaku seraya mengambil keranjang berisi bayi itu.
Kusibak selimut berwarna merah muda yang menutupinya. Kemudian kuangkat bayi mungil itu dan menggendongnya dengan hati-hati.
Bayi mungil itu menggerak-gerakkan tangan dan kepalanya. Mulutnya seperti mencari-cari sesuatu. Lucu sekali.
"Mas, bayi ini lapar sepertinya," ucapku.
"Ini ada botol susu di keranjangnya, Dek." Mas Denis sigap memberikan botol susu itu padaku.
Aku sempat heran, Mas Denis sigap sekali saat ini dan langsung tahu letak botol susu ini. Tapi mungkin ia sudah mengeceknya terlebih dahulu.
"Ayo kita bawa masuk, Dek. Kasihan bayinya kedinginan," ucap Mas Denis sambil merangkulku.
"Iya, Mas. Ayo."
Di dalam, kami memberi susu pada bayi mungil ini. Bayi berjenis kelamin perempuan ini, sepertinya belum genap satu bulan. Terlihat dari tangannya yang masih memakai sarung dan kukunya dan rambutnya belum dipotong.
"Anak siapa ini, ya, Mas?" tanyaku penasaran.
Aku sedih jika melihat bayi yang dibuang begini oleh orang tuanya. Kami yang selama ini merindukan seorang bayi yang hadir di tengah-tengah kami belum juga mendapatkannya. Namun, di luar sana banyak orang tua yang tega membuang darah dagingnya sendiri.
"Tega sekali orang itu, ya, Mas."
Mas Denis terlihat mengangguk. Ia mengusap pipi bayi yang sedang menyusu dari botolnya.
"Untung tadi ranjangnya tertutup kanopi. Jadi tidak terkena hujan, Dek. Mas enggak bisa bayangin kalau sampai bayi ini kehujanan," ucap Mas Denis.
"Ya, setidaknya orang tuanya masih punya hati tidak membuang bayi ini ke tempat sampah," ucapku geram.
"Kenapa, ya. Disaat kita ingin punya bayi, orang lain begitu mudah membuangnya," ucap Mas Denis sepemikiran denganku.
"Iya, Mas. Kasihan bayi ini, tapi kenapa di simpan di depan rumah kita, ya, Mas? Apa mungkin orang tuanya mengenal kita?"
Mas Denis mengangkat bahu pertanda ia pun tak tahu harus menjawab apa.
"Besok kita lapor RT saja, Dek."
"Harus lapor, ya, Mas?" tanyaku.
"Terus?"
"Apa enggak kita rawat aja, Mas? Aku juga enggak tahu kapan bisa hamil," ucapku pelan takut Mas Denis tak mau.
Selama ini, aku sudah ingin mengangkat anak. Namun, Mas Denis yang menentang keras ide itu. Ia hanya ingin merawat anak kandung saja. Terlebih, mama dan papa mertuaku hanya menginginkan cucu kandung. Karena Mas Denis adalah anak tunggal di keluarga mereka.
Papa dan mama mertuaku berusaha agar aku bisa hamil. Dari obat herbal sampai program bayi tabung sudah aku lakukan. Namun, Allah masih belum berkehendak menghadirkan bayi mungil itu di rahimku.
Beruntung papa dan mama mertuaku tak mendesak Mas Denis menikah lagi. Mas Denis pun menolak untuk menikah lagi. Padahal aku sudah memberinya kesempatan.
"Bagaimana, ya?"
"Tapi kalau Mas enggak mau, enggak apa-apa. Aku enggak akan memaksa." Sedih sebenarnya kalau bayi ini harus dititipkan di panti asuhan. Tapi mau bagaimana lagi jika Mas Denis tidak mau.
Lama aku menunggu Mas Denis berpikir. Bayi dalam pangkuanku pun sudah tertidur lelap sekali.
Aku berdiri hendak menaruh bayi itu di ranjang kami. Berjalan perlahan dan menaruhnya pelan-pelan agar ia tak terbangun. Kutatap wajahnya yang lucu, ada malaikat hadir di sana. Begitu damai dan tenang.
Rasanya senang sekali hanya dengan menatap wajah bayi itu. Hal yang telah lama aku rindukan. Tak sadar air mata menitik, mengingat apakah aku bisa rela jika besok bayi itu diambil alih oleh panti atau keluarga yang lain.
"Dek," ucap Mas Denis menepuk lembut bahuku.
"Kalau kamu mau merawatnya, ayo kita rawat sama-sama. Tapi kita harus lapor Pak RT dulu, besok. Sekaligus memberitahunya maksud kita untuk merawatnya."
Seketika aku seperti mendapat angin segar.
"Benar, Mas? Mas mengijinkan?" tanyaku tak percaya.
"Iya," jawabnya sambil tersenyum.
"Tapi, bagaimana dengan mama dan papa, Mas?" Aku khawatir jika kedua mertuaku itu tak setuju.
"Biar itu jadi urusan mas. Yang terpenting kamu bahagia."
"Hmm, kalau bilang sama mereka ini anak kita bagaimana, Mas?" Aku mengajukan pertanyaan konyol pada Mas Denis.
Mas Denis mengerenyitkan dahi terlihat berpikir.
"Mama dan papa, kan, sudah setahun ada di luar negeri."
"Tapi mereka tahu kamu enggak hamil, Dek." Mas Denis sepertinya tidak yakin dengan usulku.
"Bilang aja kejutan, Mas. Nanti aku kasih penjelasan ke papa dan mama kalau aku sengaja menutupinya karena ingin memberi kejutan."
Aku tahu, ideku terkesan konyol. Tapi sejujurnya aku tak siap kehilangan bayi ini hanya karena Mama dan Papa mertua tak setuju kami merawat bayi ini.
"Ya sudah. Yang penting besok kita lapor ke Pak RT dulu, ya," ucap Mas Denis lugas.
"Tapi nanti tetangga bisa tahu kalau ini bukan anak kita, Mas."
Tak ada angin tak ada hujan, Mas Ibram, suamiku menghilang begitu saja. Hanya secarik surat yang ia tinggalkan. Dan isinya membuat hatiku remuk redam. Aku ditalak. Entah apa salahku sampai ia tega menalakku, lewat surat pula. Tapi, aku tak akan tinggal diam. Akan aku cari ke mana perginya Mas Ibram dan meminta penjelasan darinya.
Suci terusik dengan suara bayi yang ia dengar saat menelepon suaminya. Namun, ia tak ingin berburuk sangka pada suaminya. Hingga, kejanggalan demi kejanggalan ia temui. Subscribe sebelum membaca ya...
Ririn harus menelan pil pahit ketika ia berkunjung ke rumah mertuanya. Ia diberitahu bahwa suaminya, Arman, akan melangsungkan pernikahan. Dan, pernikahan itu tetap akan dilaksanakan meski ia tak merestui. Mau tak mau Ririn harus rela ia dimadu. Asal ia yang mengurus semua persiapan pernikahan mereka. Namun, ternyata itu hanyalah akal-akalan Ririn agar bisa memberi mereka pelajaran. Saksikan keseruannya dalam cerita Terpaksa Dimadu.
Warning 21+ mengandung konten dewasa, harap bijak dalam memilih bacaan. Winda Anita Sari merupakan istri dari Andre Wijaya. Ia harus rela tinggal dengan orang tua suaminya akibat sang ibu mertua mengalami stroke, ia harus pindah setelah dua tahun pernikahannya dengan Andre. Tinggal dengan ayah suaminya yang bersikap aneh, dan suatu ketika Anita tau bahwa ayah mertuanya yang bernama Wijaya itu adalah orang yang mengidap hiperseks. Adik iparnya Lola juga menjadi korban pelecehan oleh ayahnya sendiri, dikala sang ibu tak berdaya dan tak bisa melindungi putrinya. Anita selalu merasa was-was karna sang ayah mertua selalu menatapnya dengan tatapan penuh nafsu bahkan tak jarang Wijaya sering masuk ke kamarnya saat ia sedang tidur. Akankah Anita mampu bertahan tinggal bersama Ayah mertuanya yang hiperseks? Atau malah menjadi salah satu korban dari ayah mertuanya sendiri?
Shella memiliki masalah serius ketika keluarganya mencoba memaksanya untuk menikah dengan pria tua yang mengerikan. Dalam kemarahan, dia menyewa gigolo untuk berakting sebagai suaminya. Dia kira gigolo itu membutuhkan uang dan melakukan ini untuk mencari nafkah. Sedikit yang dia tahu bahwa pria tersebut tidak seperti itu. Suatu hari, dia melepas topengnya dan mengungkapkan dirinya sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Ini menandai awal dari cinta mereka. Pria itu menghujaninya dengan semua yang dia inginkan. Mereka bahagia. Namun, keadaan tak terduga segera menjadi ancaman bagi cinta mereka. Akankah Shella dan suaminya berhasil melewati badai? Cari tahu!
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila
Ayahnya menjadi seorang pengkhianat pada group mafia terbesar di negaranya bernama group Limson, membuat Arabella harus hidup dalam bahaya. Bagaimana tidak, Arabella harus menjadi tawanan kamar Tuan Stanley yang merupakan ketua mafia group Limson atau dia berkeliaran diluar sana dan diburu oleh anggota mafia lainnya.
Andres dikenal sebagai orang yang tidak berperasaan dan kejam sampai dia bertemu Corinna, wanita yang satu tindakan heroiknya mencairkan hatinya yang dingin. Karena tipu muslihat ayah dan ibu tirinya, Corinna hampir kehilangan nyawanya. Untungnya, nasib campur tangan ketika dia menyelamatkan Andres, pewaris keluarga yang paling berpengaruh di Kota Driyver. Ketika insiden itu mendorong mereka untuk bekerja sama, bantuan timbal balik mereka dengan cepat berkembang menjadi romansa yang tak terduga, membuat seluruh kota tidak percaya. Bagaimana mungkin bujangan yang terkenal menyendiri itu berubah menjadi pria yang dilanda cinta ini?