/0/21064/coverbig.jpg?v=688ca93fa6d55194c74ab9585222e956)
Seorang istri yang merasa diabaikan memulai hubungan dengan pria yang ia temui secara tidak sengaja. Namun, saat hubungan itu semakin dalam, ia harus menghadapi konsekuensi yang akan mengubah hidupnya dan keluarganya selamanya.
Nadira duduk di ujung tempat tidur, mata terpaku pada layar ponselnya yang gelap. Suasana kamar itu sunyi, hanya ada suara detak jam yang perlahan mengisi kekosongan malam. Aryo, suaminya, belum pulang. Sudah hampir tengah malam, dan meskipun Nadira tahu jadwal kerja suaminya yang padat, hatinya tetap merasa terabaikan.
Ia memeluk bantal yang kini terasa dingin, jauh dari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan ketika Aryo ada di sampingnya. Dulu, mereka adalah pasangan yang selalu saling berbicara tentang apa saja, merencanakan masa depan, atau bahkan sekadar berbagi tawa tentang hal-hal sepele. Namun, akhir-akhir ini, semuanya berubah. Aryo semakin terjebak dalam rutinitasnya, dan Nadira merasa seperti bayangan dalam hidup suaminya.
Di meja makan, ada sisa makan malam yang sudah dingin. Biasanya, Aryo akan duduk di sana, menikmati makanannya sambil mendengarkan cerita-cerita ringan dari Nadira tentang anak-anak mereka atau hal-hal kecil yang terjadi sepanjang hari. Tapi malam ini, meja itu kosong, hanya ada piring-piring yang tak tersentuh, sama seperti perasaan Nadira-terlupakan.
Tangan Nadira mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa lelah yang tiba-tiba datang. Ia sudah mencoba untuk tidak berpikir buruk, untuk tidak merasakan kekecewaan setiap kali Aryo pulang terlambat atau tidak memberi kabar. Namun, malam ini, kesendirian itu terasa lebih pekat.
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke saat-saat indah mereka bersama. Bagaimana mereka dulu saling mendukung, berbagi mimpi, bahkan menghadapi segala rintangan bersama. Aryo yang dulu penuh perhatian, yang selalu ada untuknya di saat-saat terburuk, kini terasa seperti orang asing. Apakah benar ia hanya sibuk dengan pekerjaan, atau ada hal lain yang sedang terjadi?
Dengan gelisah, Nadira memeriksa ponselnya sekali lagi, berharap ada pesan dari Aryo, meskipun ia tahu itu mungkin tidak akan terjadi. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Hanya sebuah notifikasi yang memberitahunya bahwa Aryo sudah berjam-jam online di pekerjaannya, menandakan bahwa suaminya lebih memilih bekerja daripada kembali ke rumah.
Teringat akan percakapan terakhir mereka, saat Aryo dengan dingin mengatakan bahwa ia butuh waktu untuk fokus pada karirnya. Waktu itu, Nadira hanya bisa tersenyum pahit dan mengangguk, meskipun hatinya terluka. Kini, rasa sakit itu kembali menggelayuti dirinya, memaksa pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia coba untuk tahan.
Apakah pernikahan mereka hanya sebuah rutinitas yang sudah kehilangan maknanya? Apakah Aryo masih peduli padanya, atau ia hanya terjebak dalam dunia yang berbeda, dunia yang tidak ada tempat untuk Nadira?
Nadira memandang keluar jendela, melihat langit malam yang gelap. Hening. Seperti hidupnya saat ini. Hening, namun penuh dengan kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu, suatu saat, perasaan ini harus dihadapi, entah bagaimana caranya. Namun, untuk malam ini, ia hanya bisa menunggu, berharap kehadiran Aryo dapat mengusir rasa sepi yang semakin membenamkan hatinya.
Namun, dalam hati kecilnya, Nadira mulai meragukan apakah ia masih bisa menunggu selamanya.
Waktu terus berlalu. Nadira masih duduk di tempat tidur, namun kali ini matanya tertuju pada jam dinding yang kini menunjukkan pukul 12:30 malam. Tidak ada tanda-tanda Aryo akan pulang dalam waktu dekat. Tiba-tiba, ponsel di tangan Nadira bergetar, membuatnya terkejut.
Dia segera melihat layar ponselnya dengan harapan tinggi, tapi ternyata hanya sebuah pesan masuk dari grup keluarga besar yang berisi percakapan ringan tentang anak-anak mereka yang sedang tidur. Nadira merasa sedikit kecewa, namun ia tidak ingin terlalu terbawa perasaan. Dalam hatinya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin Aryo sedang terlalu sibuk untuk memberi kabar.
Namun, detik demi detik berlalu, dan hatinya semakin tertekan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghubungi Aryo. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengetik pesan:
"Sayang, kau dimana? Aku sudah menunggu di rumah."
Dia menunggu beberapa detik, namun pesan itu tetap terlihat "terkirim", tanpa tanda-tanda dibaca. Nadira menatap layar ponselnya, seakan berharap ponselnya bisa memberi jawaban atas kebingungannya. Namun tidak ada yang muncul.
Tiba-tiba, pintu depan terdengar dibuka. Nadira cepat-cepat mengangkat wajahnya, harapan muncul kembali di matanya. Aryo melangkah masuk dengan langkah terburu-buru, meletakkan tas kerjanya di meja dan melepas sepatu dengan gerakan yang terbiasa. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kehangatan atau perhatian seperti dulu.
Nadira berdiri perlahan, mencoba untuk tersenyum meski hatinya cemas.
"Selamat malam," kata Aryo datar, sambil melepaskan dasi dan kemeja yang mulai kusut. Nadira menatapnya, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan, tetapi suaranya terasa kosong, seperti teredam oleh ruang kosong di antara mereka.
"Kenapa terlambat?" tanya Nadira dengan lembut, berusaha mengendalikan suara yang sedikit bergetar. Ia tidak ingin terlihat terlalu cemas, meskipun hati kecilnya sudah menduga.
Aryo menyandarkan tubuhnya pada meja, menghela napas panjang. "Pekerjaan, Nadira. Pekerjaan yang tidak ada habisnya," jawabnya sambil memijat pelipisnya, seolah-olah kata-kata itu sudah menjadi mantra yang ia ucapkan setiap hari.
Nadira menundukkan kepala sejenak, berusaha menahan perasaan yang mulai melonjak. Ia tidak bisa lagi menahan rasa kecewa yang semakin mendalam. Aryo tidak melihatnya, tidak mendengarnya. Pekerjaannya adalah segalanya, sementara ia, istrinya, hanya menjadi bagian dari rutinitas yang terabaikan.
"Bagaimana dengan kita, Aryo? Apa kita hanya akan menjadi dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama?" tanya Nadira, suaranya sedikit gemetar. Tanpa sadar, kata-katanya keluar begitu saja, menuntut perhatian yang selama ini ia dambakan.
Aryo menoleh, matanya yang lelah menatap Nadira dengan kebingungannya. "Apa maksudmu?" Suaranya mulai terdengar tidak sabar.
Nadira menghela napas panjang, tidak tahu harus mulai dari mana. "Aku... aku merasa seperti kita sudah semakin jauh. Aku di sini, merasa sendirian, dan kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu. Kita... kita tidak lagi berbicara seperti dulu, tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi perhatian."
Aryo terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku sedang bekerja keras untuk masa depan kita, Nadira. Aku tidak ingin kita hidup dalam kesulitan, dan itu membutuhkan waktu dan pengorbanan."
"Dan aku juga berkorban, Aryo," jawab Nadira, suaranya sedikit lebih keras. "Aku berkorban dengan kesendirian ini. Dengan perasaan yang aku pendam setiap hari. Kau pikir aku tidak ingin berbicara denganmu? Aku ingin kita menjadi seperti dulu lagi, Aryo. Aku ingin merasa dicintai."
Tiba-tiba, Aryo mengalihkan pandangannya, seakan tidak sanggup menatap Nadira lagi. "Aku tahu aku tidak sempurna, Nadira. Tapi aku tidak tahu apa yang kau harapkan dari aku. Apa yang bisa aku lakukan? Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan untuk kita, untuk keluarga ini."
Nadira merasakan air matanya mulai menggenang di sudut matanya. Rasa frustasi dan kesepian semakin mencekiknya. Dia ingin meneriakkan semua perasaannya, tapi kata-kata itu terasa begitu berat untuk diungkapkan.
"Kita sudah tidak berbicara, Aryo. Aku merasa... aku merasa kita tidak lagi berhubungan. Kita bukan lagi pasangan yang saling berbagi seperti dulu. Aku tidak tahu bagaimana bisa tetap bertahan seperti ini." Nadira menunduk, menutupi wajahnya dengan telapak tangan, berusaha mengendalikan isaknya.
Aryo terdiam, dan untuk beberapa detik yang terasa sangat panjang, Nadira tidak bisa mendengar apa-apa selain suara napas mereka berdua yang tercetak dalam kesunyian.
"Jadi, apa yang kau inginkan dari aku sekarang?" tanya Aryo pelan, suaranya seolah kehilangan kekuatan.
"Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Aryo," jawab Nadira dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Aku hanya ingin kita kembali saling peduli, saling mendengarkan."
Ada keheningan panjang yang mengikuti, dan untuk pertama kalinya, Nadira merasakan perasaan yang sangat asing-rasa putus asa yang mendalam. Ia tahu, mungkin hal itu sudah terlambat. Mungkin Aryo sudah terlalu jauh, terlalu tenggelam dalam dunia yang hanya bisa dimasuki oleh dirinya sendiri.
Aryo berjalan menuju kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Nadira berdiri terdiam, hanya bisa memandangi punggung suaminya yang perlahan menghilang di balik pintu. Begitu lama mereka tidak berbicara dari hati ke hati, dan sekarang, setelah segalanya terungkap, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Hanya ada kesepian yang mengalir di dalam dirinya. Dan seiring Aryo mengunci pintu kamar mandi, Nadira tahu, untuk pertama kalinya, hubungan mereka mungkin benar-benar telah terhenti.
Bersambung...
Seorang pria harus memilih antara istri yang selama ini mendampinginya dan kekasih gelap yang membuatnya merasa hidup kembali. Saat keduanya mengetahui keberadaan satu sama lain, pria ini terjebak dalam konflik cinta yang berbahaya.
Dua rekan kerja yang sudah menikah diam-diam menjalani perselingkuhan. Namun, perasaan cemburu dan posesif mengancam hubungan mereka, membuat setiap hari penuh risiko untuk diketahui pasangan masing-masing.
Ketika seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabat terdekatnya, ia merencanakan balas dendam yang rumit. Namun, rencananya justru membawa lebih banyak luka daripada keadilan yang ia harapkan.
Seorang pria kaya yang tampak bahagia dengan keluarganya menjalani kehidupan ganda dengan seorang wanita yang lebih muda. Ketika hubungan mereka semakin dalam, kekasih gelapnya menuntut lebih, mengancam seluruh stabilitas hidupnya.
Seorang pria yang sering bepergian untuk bekerja mulai menjalin hubungan dengan wanita yang ia temui di perjalanan. Ketika istrinya mulai curiga, ia harus berhadapan dengan kebohongan yang telah ia ciptakan selama ini.
Pasangan yang tampak sempurna di mata semua orang ternyata menyimpan rahasia perselingkuhan yang saling mereka lakukan. Ketika kebenaran mulai terungkap, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka mungkin sudah hilang.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Bermula dari kebiasaan bergonta-ganti wanita setiap malam, pemilik nama lengkap Rafael Aditya Syahreza menjerat seorang gadis yang tak sengaja menjadi pemuas ranjangnya malam itu. Gadis itu bernama Vanessa dan merupakan kekasih Adrian, adik kandungnya. Seperti mendapat keberuntungan, Rafael menggunakan segala cara untuk memiliki Vanessa. Selain untuk mengejar kepuasan, ia juga berniat membalaskan dendam. Mampukah Rafael membuat Vanessa jatuh ke dalam pelukannya dan membalas rasa sakit hati di masa lalu? Dan apakah Adrian akan diam saja saat miliknya direbut oleh sang kakak? Bagaimana perasaan Vanessa mengetahui jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh Rafael untuk balas dendam semata? Dan apakah yang akan Vanessa lakukan ketika Rafael menjelaskan semuanya?
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Warning! Banyak adegan dewasa 21+++ Khusus untuk orang dewasa, bocil dilarang buka!
Megan dipaksa menggantikan kakak tirinya untuk menikah dengan seorang pria yang tanpa uang. Mengingat bahwa suaminya hanyalah seorang pria miskin, dia pikir dia harus menjalani sisa hidupnya dengan rendah hati. Dia tidak tahu bahwa suaminya, Zayden Wilgunadi, sebenarnya adalah taipan bisnis yang paling berkuasa dan misterius di kota. Begitu dia mendengar desas-desus tentang hal ini, Meagan berlari ke apartemen sewaannya dan melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya. "Mereka semua bilang kamu adalah Tuan Fabrizio yang berkuasa. Apakah itu benar?" Sang pria membelai rambutnya dengan lembut. "Orang-orang hanya berbicara omong kosong. Pria itu hanya memiliki penampilan yang mirip denganku." Megan menggerutu, "Tapi pria itu brengsek! Dia bahkan memanggilku istrinya! Sayang, kamu harus memberinya pelajaran!" Keesokan harinya, Tuan Fabrizio muncul di perusahaannya dengan memar-memar di wajahnya. Semua orang tercengang. Apa yang telah terjadi pada CEO mereka? Sang CEO tersenyum. "Istriku yang memerintahkannya, aku tidak punya pilihan lain selain mematuhinya."