Indana Maheswari merupakan putri tunggal dari keluarga terpandang yang memiliki perusahaan yang tersebar di berbagai kota. Siapa sangka dibalik nama sempurnanya hidup yang dijalani tersimpan kenyataan pahit yang selama ini dia sembunyikan. Kenyataan yang membuatnya tidak jua menemukan pendamping hidup. Kenyataan jika dirinya sudah tak perawan. Utsman merupakan satu-satunya pemuda yang tidak juga mundur ketika tahu kenyataan tersebut. Meski sempat meragu, namun Indana memilih membuka hatinya untuk Utsman. Hingga Saddam, pemuda dari masa lalu sekaligus sahabat dari Utsman kembali hadir dan menawarkan pernikahan yang sulit untuk Indana tolak.
"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Inda."
Sebaris kalimat via chat WA itu perlahan mengusik. Mata gadis itu terasa panas oleh gumpalan air mata yang siap tumpah. Awalnya, sekuat tenaga dia membendung. Namun, rasa sebak di dada akhirnya meluluhlantakkan pertahanan. Akhirnya, satu per satu bulir bening itu jatuh membasahi kedua pipi. Dia bertanya mengapa selalu berakhir begini? Dan ... sesakit ini?
Sore yang hangat di musim kemarau. Indana memandang ke arah jendela kamar yang terbuka, angin bertiup pelan membuat dedaunan pohon mawar yang tumbuh di taman menari seirama. Indana berjalan mendekat ke sisi jendela. Dia metengadahkan wajah. Di langit, awan putih berarak indah membentuk pola abstrak yang memantik imajinasi bagi sesiapa yang memandang.
Sementara itu, di ufuk barat, sinar jingga senja perlahan memerangkap langit turut menjadi panorama indah di sore hari. Namun, pemandangan yang sangat memikat ini tak lantas membuatnya terkesan. Indana tengah diserang rasa gundah. Sebab, baru saja Furqon, lelaki yang akan mengikat janji dengannya, ia mengabarkan akan datang untuk membicarakan sesuatu tentang hubungan mereka. Sialnya, itu bukan suatu kabar baik.
Ponselnya berdenting. Indana segera mengambil benda pipih itu di meja rias. Ada pesan masuk dari Furqon. Dia mengabarkan bahwa dalam waktu beberapa menit akan tiba di sana. Indana segera menyambar kerudung, memoles sedikit gincu warna nude, lalu bergegas menuju ruang tamu.
Di ruang tamu, ada Papa Surya dan Mama Cahaya yang sudah menunggu dan tengah duduk di sofa. Setelah sebelumnya Indana mengatakan kepada mereka bahwa Furqon akan bertandang.
Indana menghirup udara. Perlahan, menapaki lantai marmer dengan sederet kecamuk di dalam dada. Sesaat, ruang tamu berukuran 10×10 meter persegi dengan cat dinding warna putih bersih ini terasa sempit.
"Duduk, Inda." Suara Mama Cahaya membuyarkan lamunan. Indana tergagap, lalu menoleh ke arah sumber suara. Wanita paruh baya yang mengenakan hijab berwarna broken white itu tersenyum sambil menepuk-nepuk sofa, mengisyaratkan agar sang putri duduk di dekatnya.
Baik mama maupun papanya, belum ada yang tahu perihal maksud kedatangan Furqon. Wajah kedua orang tuanya berseri. Mungkin, mereka mengira akan ada kabar baik tentang kelanjutan hubungan anak semata wayangnya. Indana tidak sanggup mengatakan maksud kedatangan Furqon yang sebenarnya. Biarlah mama dan papa mendengar sendiri penjelasan dari lelaki itu.
Tak lama berselang, suara pintu pagar yang dibuka disusul deru mesin mobil memusatkan perhatian mereka. Mama Cahaya segera memerintahkan ART untuk menyajikan jamuan. Sementara Indana dan Papa Surya menyongsong kedatangan orang yang mereka tunggu di ambang pintu utama.
Sosok lelaki berbadan tegap keluar dari mobil Pajero Sport hitam. Dia melepas kacamata hitam dan tersenyum saat melihat sepasang ayah dan anak. Indana meremas dada. Ada desir halus yang merambat di dalam hati. Indana mengakui, Furqon yang saat itu memakai kemeja yang digulung lengannya memang sangat tampan.
"Assalamu'alaikum, Inda, Om." Furqon menyalami Papa Surya dengan senyum lebar. Begitu juga papa yang tampak bersuka cita menyambut kedatangan Furqon.
"Wa'alaikumsalam. Mari, masuk, Nak Furqon." Indana dan Furqon membiarkan orang tua Indana berjalan terlebih dahulu dan keduanya mengekori langkahnya dari belakang.
Sekilas, pandangan keduanya bertemu. Tanpa senyuman. Kedua manik hitam lelaki itu menatap tajam dengan isyarat yang tak dia mengerti.
Saat pertama kali Furqon datang dan menyatakan kepada kedua orang tua ingin membina hubungan yang serius, Mama Cahaya dan Papa Surya sangat setuju. Itu tak lain karena mereka sudah lama menginginkan Indana menikah dan bisa segera menimang cucu. Ditambah lagi, secara kesiapan finansial, Furqon memenuhi standar. Lelaki ramah itu merupakan seorang pebisnis muda yang sukses.
Ragam kue mewah dan mahal tersaji di meja. Mama Cahaya yang menyiapkan semua.
"Buat calon mantu." Begitu kata Mama Cahaya dengan wajah semringah dan antusias saat Indana tanya mengapa pesan kue sebanyak ini.
"Kami senang sekali dengan kedatangan Nak Furqon. Semoga setelah ini kami bisa segera melihat Indana duduk di pelaminan bersama lelaki yang dicintainya. Bukan begitu, Pa?" Perempuan paruh baya itu memulai obrolan diiringi anggukan kepala sang suami.
Indana tersenyum getir. Sementara Furqon, terlihat ada senyuman paksa yang terukir di wajah. Kepala Indana mendadak terasa pening dan sangat berat saat membayangkan bagaimana jika kedua orang tua yang sangat dia sayangi mendengar apa yang akan disampaikan Furqon.
"Bapak dan Ibu tidak ikut?" tanya Papa Surya.
"Tidak, Om. Emmm, beliau ada kesibukan. Sehingga saya sendirian yang datang."
"Orang bisnis memang selalu sibuk," kelakarnya dengan suara tawa bariton yang khas.
"Apa yang mau Nak Furqon sampaikan? Apa mengenai tanggal pertunangan dan pernikahan?" tanya Mama Cahaya bersemangat. Melihat wajah bahagia itu, dada Indana kembali terasa nyeri.
Furqon membetulkan duduk sementara wajahnya tampak tegang. "Sebelumnya, saya meminta maaf. Om, Tante. Kedatangan saya kali ini adalah untuk membatalkan pertunangan saya dengan Indana."
Bak mendengar petir di siang bolong, kedua orang tua Indana lantas terperanjat. Keduanya saling pandang dengan ekspresi kaget dan kebingungan.
Indana tertunduk lesu. Akhirnya, bom waktu itu meledak juga. Tak hanya dirinya yang dipaksa menelan pil pahit ini, akan tetapi, Mama Cahaya dan Papa Surya juga turut merasakan.
"Ta-pi. Kenapa? Bukankah Nak Furqon sendiri yang menyatakan ingin melamar Indana? Apa yang salah?" tanya wanita paruh baya itu masih dengan mimik wajah tak percaya. Indana iba melihatnya.
Furqon menelan ludah. Jakunnya naik-turun disertai deru napas yang memburu.
"Saya telah dijodohkan dengan wanita lain. Dan saya tidak dapat menolak perjodohan itu karena permintaan orang tua." Indana melihat mimik wajah Furqon yang datar. Kentara sekali pernyataan itu bukan berasal dari hatinya.
Indana tahu, tak mudah bagi Furqon untuk mengatakan hal tersebut. Ia terpaksa mengarang alasan yang terkesan masuk akal di depan orang tua Indana. Dan Indana sudah tahu akan hal ini.
"Apa sebelumnya Nak Furqon tidak pernah cerita kepada orang tuanya tentang niat untuk melamar Inda?" Kali ini sang kepala keluarga yang mencoba bersuara setelah sebelumnya dilanda rasa kaget yang luar biasa.
Lelaki beralis tebal itu terdiam. Ia sekilas melirik Indana . Mungkin, untuk meminta petunjuk, hal apa lagi yang harus disampaikan.
"Kita terima saja keputusan Furqon, Ma, Pa. Berat bagi seorang anak lelaki untuk tidak mematuhi keinginan orang tuanya. Apalagi jika itu keinginan dari seorang ibu. Bukankah, selamanya lelaki tetap milik ibunya?" Indana mencoba mengurai ketegangan dan berusaha meyakinkan kedua orang tua. Agar mereka tak mengusut alasan-alasan lain terhadap Furqon.
Setelah jeda beberapa saat, akhirnya mama dan papa legowo menerima keputusan Furqon. Mereka lantas memeluk Indana erat setelah Furqon pamit.
Di tengah derai air mata yang menganak sungai, sekelebat ingatan tentang pertemuannya dan lelaki itu hadir dalam benak. Keduanya pertama kali bertemu secara tidak sengaja ketika mobil perempuan itu mogok. Rupanya, Furqon tertarik dengannya. Indana pun begitu. Keduanya sepakat untuk saling bertukar nomor WA.
Waktu berlalu. Perkenalan singkat itu ternyata membuahkan keyakinan Furqon untuk meminang. Indana menyambut sukacita maksud baiknya. Hingga pada akhirnya, Indana menjelaskan sesuatu yang membuat lelaki itu urung untuk melanjutkan hubungan.
Karena desakan dari keluarga yang meminta dirinya agar segera menikah, Dara yang notabenya seorang jemblo harus memutar otak untuk mennghindar dari keluarga yang selalu meminta dirinya pulang dengan membawa calon suami, kalau tak ingin dirinya berakhir dengan kata keramat yang disebut "Pejodohan" Alfan seorang lelaki yang di tinggalkan istrinya, memiliki satu putri memilih Dara menjadi istrinya demi sang anak agar dapat merasakan kasih sayang seorang ibu.
MAMPIR KE KARYA KEDUA AKU YA, JUDUL: HANYA MENJADI WANITA PENGGANTI *** Mahendra Atmaja, duda anak satu yang usianya sudah 48 tahun. Mahendra menduda sejak usia putranya 1 tahun. Selama 21 tahun Mahendra begitu setianya menunggu mantan istrinya kembali. Namun, kesetiannya diuji ketika sahabatnya menjebak dirinya dalam satu kamar hotel bersama dengan gadis usianya masih 21 tahun. Gadis cantik itu bernama Mauren, karena membutuhkan biaya pengobatan sang Adik, gadis itu menerima tawaran Tuan Jian (Sahabat Mahendra) untuk menggoda dan merayu sang duda tersebut. Selain itu, Mauren harus bisa membuat laki-laki yang pantas menjadi ayahnya itu bisa jatuh cinta padanya. Berhasilkah gadis itu meluluhkan hati Duda tersebut?
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.