/0/17515/coverbig.jpg?v=ad0e427a80c95f216eeb90d53351b16d)
Manusia hanya bisa berencana, sedangkan takdir Tuhan yang menentukannya.
"Ma, aku berangkat dulu," pamit Anindea-gadis cantik berkulit kuning langsat, yang merupakan anak semata wayang dari orang tuanya.
Anindea adalah mahasiswa semester empat di salah satu universitas ternama di kotanya. Hari ini, dia begitu terburu-buru untuk berangkat ke kampus. Karena dia bangun kesiangan akibat semalam begadang menonton drama Korea yang dibintangi oleh aktor favorit-nya. Karena itu dia kesiangan dan semalam lupa kalau hari ini ada kelas dengan dosen killer.
Meli yang mendengar teriakan dari putri satu-satunya itu, langsung bergegas menemui buah cintanya. Dia sudah tahu pasti, apa yang dialami oleh Anindea setiap hari. Sehingga, Meli tidak kaget lagi ketika Anindea pamit berangkat ke kampus dengan buru-buru seperti itu. Setelah ada di dekat anaknya, sorot mata Meli langsung menatap kearah Anindea dengan begitu tajam. Meli berusaha menunjukkan kalau dirinya saat ini sedang marah. Padahal, jauh di lubuk hati Meli, tidaklah dia sedang memarahi anaknya. Dia begitu tidak tega untuk menyakiti Anindea-gadis cantik yang dia kandung, dilahirkan serta dia asuh sampai saat ini. Namun, Meli juga tidak mau Anindea terus-terusan seperti ini.
Dengan melipat kedua tangan di dada, Meli memberhentikan langkahnya, tepat dihadapan Anindea. "Kamu ini kebiasaan banget, ya. Suka bangun kesiangan, sehingga terlambat untuk berangkat ke kampus jika sedang ada kelas pagi. Makanya, kalo tidur itu jangan larut malam. Mama heran lihat kamu, lebih mengutamakan drama Korea dengan dibintangi oleh aktor favoritmu, dibanding mengingat jadwal kelas untuk masa depanmu kelak. Ingat, kamu itu anak satu-satunya mama sama papa! Kamu adalah penerus perusahaan papamu nant. Jika kamu seperti ini, selalu tidak disiplin waktu, bagaimana nantinya kamu bisa mengendalikan perusahaan besar seperti milik papamu, De? Cobalah ubah kebiasaan burukmu itu!" oceh Meli, sekaligus menyelipkan nasehat didalam ocehannya untuk Anindea.
"Sudah selesai ceramahnya, Ma? Kalau sudah, Dea berangkat dulu, ya." Pamit Anindea, dengan santai dia berlalu dari hadapan Meli.
Anindea sebenarnya bukanlah seorang anak pembangkang. Hanya saja, dia tidak suka yang namanya basa-basi. Gayanya yang tomboy, ditambah karakter tegas turunan dari sang papa, membuat Anindea paling anti berbasa-basi, atau bermulut manis yang mengandung empedu di dalam kemanisan itu.
Melihat Anindea yang berlalu pergi begitu saja dari hadapannya, Meli pun kembali angkat bicara untuk menegur Anindea. "Anak yang mama besarkan, ternyata sekarang dia sudah benar-benar besar. Berangkat ke kampus saja sudah tidak salim lagi. Kalau anak sudah besar memang begitu, beda dengan anak kecil yang masih menyimpan rasa menghormati orang tua," sindir Meli yang berhasil membuat langkah anaknya terhenti.
"Maaf, Ma," ucap Anindea yang merasa bersalah, karena mengabaikan sang mama akibat terburu-buru untuk berangkat ke kampus.
"Tidak apa-apa. Kenapa kamu harus minta maaf pada mama? Kamu 'kan tidak salah. Anak yang sudah besar sepertimu, memang tidak harus lagi menghormati mamanya," ujar Meli yang terus menyindir Anindea atas kekhilafan yang Anindea perbuat.
"Mama, jangan ngomong begitu. Sindiran mama itu lebih sakit dari pukulan yang mama berikan." Anindea yang merasa bersalah, akhirnya berbalik arah dan menarik langkahnya kembali menuju sang mama yang masih berdiri di tempat semula.
"Eh ... emangnya mama pernah memukulmu?" tanya Meli yang salah paham dengan ucapan Anindea.
Sudah dua puluh tahun sejak dia melahirkan Anindea, tidak sekalipun Meli menyakiti anaknya. Apalagi, memukul Anindea, sudah pasti itu tidak pernah dia lakukan. Lalu, saat Aninde mengungkit, kalau sindiran Meli lebih sakit dari sebuah pukulan. Hal itu langsung menarik perhatian Meli. Bahkan, itu membuat dia salah mencerna ucapan Anindea dan terjadi kesalahpahaman dalam memorinya.
"Maafkan aku, Ma." Ucap Anindea, lalu meraih tangan Meli dan mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mama mau nanya, kapan mama memukul kamu?" tanya Meli yang masih bermonolog dengan pikirannya.
Anindya yang mendengar pertanyaan dari mamanya itu, dia pun langsung tertawa sampai terbahak-bahak. Dia tidak menyangka, kalau ucapannya yang tadi akan dipermasalahkan oleh Meli-mamanya.
"Ma, makanya hidup itu jangan terlalu dijalani dengan serius. Apa-apa, selalu bawaannya baperan. Sering-sering nonton komedi, ya, Ma." Bisik Anindea di dekat telinga mamanya sebelum bibir Anindea mencium pipi Meli.
"Ya, sudah, Ma. Dea sudah makin terlambat berangkat ke kampus, nih. Dea pergi dulu, ya. Jangan lupa nonton komedi setelah ini," goda Anindea yang humoris walau karakternya tomboy.
"Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Meli menatap punggung anaknya yang berjalan setengah berlari karena buru-buru.
"Aku sarapan di kantin kampus saja, Ma. Aku sudah sangat terlambat ... dadah, Mama. Jangan lupa nonton komedi, biar tidak baperan lagi!" Ujar Anindea berbalik arah melihat ke arah Meli, dan melambaikan tangan, lalu kembali melangkah menuju garasi.
Saat telah sampai di garasi, Anindea langsung menuju mobil sport kesayangannya. Dengan buru-buru, Anindea masuk kedalam mobil sport berwarna merah itu, dan menyalakan mesin mobil untuk melaju mengendarai roda empat kesayangannya. Mobil terus melaju yang dikemudikan oleh anindea, dan meninggalkan pekarangan rumah. Sekarang mobil itu telah membelah keramaian kendaraan yang lalu-lalang di tengah jalan raya dengan kecepatan sedang. Untung saja jarak antara kampus dan rumah Anindea tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit dengan menggunakan mobil.
Dalam perjalanan menuju kampus, Anindea terus mengingat apa ada tugas yang terlewat olehnya yang belum dia kerjakan semalam, atau malah ada tugas yang ketinggalan di rumah akibat berangkat dengan terburu-buru. Karena pagi ini adalah mata kuliah bersama dosen killer, membuat Anindea terus bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan dia terima, jika melanggar aturan yang telah diberikan dosen killer itu sebelumnya. Satu saja tugas terlewatkan, si dosen killer tidak akan memaafkan siapapun mahasiswa atau mahasiswi tersebut dan akan memberi sanksi sangat berat untuk yang bersangkutan.
Tidak butuh waktu lama, kendaraan sport roda empat yang dikendarai oleh Anindea sudah berhenti di parkiran kampus. Anindea yang sudah terlambat langsung keluar dari mobil dan berlari menuju kelasnya. Sifat Anindea yang tomboy dan masa bodoh, membuat dia tidak sungkan untuk berlari di hadapan para bintang kampus. Ada yang menatap aneh ke arah Anindea, ada yang biasa saja, karena sudah sering melihat Anindea bersikap seperti itu.
"Alhamdulillah," ucapnya saat sampai di ambang pintu kelas.
Dengan nafas yang ngos-ngosan, Anindea masuk kedalam kelas. Namun, kali ini dia tidak berlari lagi. Anindea sudah berjalan santai. Dia sangat bersyukur, dosennya belum masuk, dan itu artinya dia terbebas dari hukuman pertama, yaitu hukuman akibat terlambat masuk kelas. Sekarang, yang dicemaskan Anindea adalah hukuman kedua, yang mana hukuman akibat lalai akan tugas diberikan oleh dosen killer-nya.
Tanpa menunda-nunda waktu, Anindea segera duduk di bangku dan meletakkan tasnya di atas meja. Dengan segera dia memeriksa isi tas untuk memastikan tidak ada tugas yang tertinggal di rumah.
"Hai, De. Kamu kenapa ngos-ngosan seperti tengah dikejar ulat bulu?" goda Dewi yang sebetulnya sudah tahu kebiasaan sahabatnya.
"Aku takut telat mengikuti kelas pagi ini, Wi. Sampai aku tidak sarapan sebelum berangkat," jawab Anindea tanpa menoleh ke arah Dewi.
"Kamu 'kan tahu, sama siapa kelas pagi ini. Kalau aku telat lagi, aku bisa disuruh jadi babu untuk ratusan kalinya sama dia, Wi. Untung saja dia belum masuk," Imbuh Anindea dengan tangan terus sibuk di dalam tasnya.
"Kenapa harus buru-buru dan takut kena hukuman? Bukankah kelas bersama pak Zico diundur satu jam. Kamu tidak melihat pemberitahuan di dalam grup?" tanya Dewi yang sekarang sudah duduk di bangku samping Anindea.
Anindea yang dari tadi sibuk mengecek isi tasnya, sekarang refleks memberhentikan aktivitas itu dan menatap Dewi dengan alis yang mengerut dan hampir bersatu ujung alis itu satu sama lainnya. Rasa kesal pada diri sendiri pun langsung menyerang Anindea.
"Benarkah? Kenapa aku sebodoh ini!" gerutunya.
Anindea langsung merogoh saku samping tasnya, untuk mengambil ponsel yang tadi dia simpan di sana. Dengan cekatan jari jempol Anindea membentuk pola kunci layar ponselnya, biar benda pipih itu bisa dioperasikan. Menu pertama yang Anindea buka adalah aplikasi media sosial berwarna hijau dengan lambang telepon di tengah logo aplikasi tersebut. Dengan serius Anindea membuka chat groub yang sudah sangat menumpuk. Ternyata memang benar kalau ada pemberitahuan kelas diundur setengah jam oleh si dosen killer yang dibenci banyak mahasiswa dan mahasiswi di kampus itu.
"Hah! Tahu gini, aku nggak bakal buru-buru seperti tadi," ucap Anindea kecewa karena sudah melewatkan sarapan pagi ini yang sudah disiapkan oleh mamanya.
Dewi yang melihat raut wajah kesal pada sahabatnya pun tertawa. "Kan ini sudah ciri khas kamu. Kalau ada kelas pagi, pasti terlambat dan datang ke kampus dengan terburu-buru. Semalam sampai jam berapa kamu nonton drama Korea series terbaru itu?" tanya Dewi yang juga penggemar drama Korea.
Walau dua sahabat itu sama-sama penggemar drama Korea, tetapi Dewi tidaklah se candu Anindea. Dewi masih bisa membatasi jadwal menontonnya, apalagi kalau menonton malam hari, pasti dia mengutamakan jadwal istirahatnya. Berbeda dengan Anindea yang tidak akan berhenti menonton sebelum drama yang dia tonton belum selesai.
"Sepertinya sampai jam tiga subuh, tapi aku tidak begitu memperhatikan lewat berapanya." Jawab Anindea yang kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku tas.
"Kamu itu harus bisa membatasi waktu menonton. Kita itu butuh istirahat yang cukup, biar tidak gampang terserang penyakit. Memang nonton drama series terbaru itu memang sangat mencandu, tapi kita juga harus ingat, tubuh kita butuh istirahat," ujar Dewi mengingatkan sahabatnya akan kesehatan.
"Nggak di rumah, nggak di kampus, nggak di mana-mana, pasti ada 'kang ceramahnya buat aku," sindir Anindea yang mengatakan Dewi sebagai 'kang ceramah untuk dia.
Kini, Anindea kembali sibuk memeriksa isi tasnya untuk memastikan tugas hari ini tidak ada yang tertinggal. Dia tidak mau dapat hukuman dosen Killer yang tidak pernah memberi ampun pada mahasiswa/ mahasiswinya tanpa terkecuali.
Beberapa jam berlalu, dan kelas bersama dosen killer pun selesai. Setelah kelas selesai, rasa lega begitu terasa oleh Anindea. Karena kali ini dia tidak dapat hukuman apa-apa dari dosen yang sangat dia benci. Begitu juga dengan Dewi, walau dia jarang mendapat hukuman, tetapi Dewi juga begitu tegang kalau sudah ada kelas dengan Zico si dosen killer. Waktu berakhir kelas sangat ditunggu oleh seluruh siswa yang belajar dengan Zico. Sehingga, ketika kelas berakhir, mereka bagaikan dapat tambahan oksigen dan angin segar.
Anindea dan Dewi berjalan beriringan dengan terus mengobrol random layaknya anak remaja pada umumnya. Dari saling mengungkapkan apa yang mereka temui ketika tidak bersama, sampai menggibah pun mereka laksanakan saat berjalan menuju kantin. Dewi dan Anindea adalah dua sahabat yang tidak pernah bertengkar semenjak mereka menjalin kebersamaan sebagai sahabat. Kebersamaan mereka sudah terbilang cukup lama, mulai bertemu saat mereka duduk di sekolah menengah pertama.
Perbedaan sosial di antara mereka, tidak menjadikan hubungan dua sahabat itu bertikai. Walau Dewi adalah anak yang terlahir dari keluarga sederhana, bahkan bisa dikatakan dari golongan keluarga miskin, tetapi Anindea tidak pernah mempermasalahkan itu. Persahabatan mereka terus terjalin tanpa melihat status Dewi sebagai orang tidak punya.
"Aku lapar banget. Tahu dosen singa itu menunda waktu kelas pagi, aku tidak akan buru-buru berangkat ke kampus seperti tadi. Mana sarapan nasi goreng sosis kesukaanku sudah disiapkan mama, tapi tidak sempat aku makan." Anindea begitu kesal, karena cacing dalam perutnya sudah berdemo minta di isi dari tadi.
"Aku juga begitu. Tahu kelas ditunda, mending aku bikin sarapan di rumah, biar bisa menghemat biaya," timpal Dewi yang juga kesal.
Dewi juga tidak melihat chat groub sebelum berangkat ke kampus. Sehingga, dia juga tidak tahu kelas pagi diundur oleh dosennya. Setelah sampai di kampus, Dewi iseng buka aplikasi chat yang hampir selalu ada di setiap ponsel siapapun. Dia buka groub chat di dalam aplikasi itu, ternyata ada pemberitahuan kelas diundur. Kesal ... sudah pasti Dewi juga kesal, sama halnya seperti Anindea yang juga merasa kesal ketika tahu kelas ditunda.
"Kamu pesan apa?" tanya Anindea pada Dewi yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi kantin.
"Aku pesan mie goreng tanpa telur saja," jawab Dewi sengaja memilih menu paling murah yang disediakan dalam kantin kampus mereka.
"Kita pesan nasi goreng sosis saja, yuk. Aku tadi belum sempat makan nasi goreng," usul Anindea yang membayangkan nikmatnya makanan kesukaan dia. Apalagi saat ini perut Anindea begitu lapar.
"Kamu saja yang pesan nasi goreng sosis. Aku lagi pengen makan mie goreng tanpa telur," ujar Dewi berbohong.
Sebenarnya Dewi pengen sekali membeli makanan selain mie instan. Apalagi, mengingat kesehatannya yang tidak memungkinkan Dewi untuk memakan makanan itu. Dia mengidap asam lambung yang sangat berpantangan untuk makan mie instan seperti yang akan dia pesan. Akan tetapi, Dewi tidak punya uang cukup untuk beli makanan lain. Karena di kantin itu hanya mie yang paling murah harganya untuk sejenis makanan berat.
"Oh, jadi ceritanya lagi mau ngundang penyakit?" tanya Anindea yang merupakan sebuah sindiran untuk sahabatnya.
"Bukan begitu, tapi ...." Dewi ingin berkilah, akan tetapi dia ingat betul, Dea bukanlah type sahabat yang gampang dia bohongi.
"Mau berkilah?" Ledek Anindea sambil tertawa, lalu beranjak pergi menuju ibu kantin yang sedang sibuk mempersiapkan pesanan pengunjung kantinnya.
"Bu, pesan nasi goreng sosis dua, es teh dua, tambah gorengan, ya, Bu," pinta Anindea setelah sampai di samping pemilik kantin.
"Baik, Neng. Ibu persiapkan dulu, ya. Nanti akan diantar sama Neni," jawab ibu kantin.
Neni adalah anak dari pemilik kantin itu. Dia juga bersekolah di tempat yang sama dengan Anindea dan Dewi. Mereka seangkatan, tetapi beda kelas. Anindea dan Dewi ada di kelas jurusan IPA, sedangkan Neni ada di IPS.
"Di meja biasa, ya, Bu." Anindea berlalu pergi setelah memesan makanan untuknya dan Dewi.
Anindea tidak pernah perhitungan pada orang yang dia anggap pantas untuk diperhatikan. Apalagi, pada sahabatnya yang telah lama dia kenal. Anindea begitu royal dan tidak pernah mengungkit apa yang telah dia berikan pada Dewi. Berteman dengan Anindea, tentu saja itu sebuah keberuntungan bagi Dewi. Dia selalu dimanjakan oleh sahabatnya itu. Selama ini, Anindea tidak pernah keberatan untuk apa pun saat mengeluarkan uang kepada Dewi.
"Kamu sama aku jangan pernah sungkan. Aku adalah sahabatmu, dan aku juga telah menganggap kamu sebagai saudara aku sendiri. Jadi, jangan pernah bikin aku marah, karena kamu mengundang penyakitmu sendiri dengan memakan makanan yang jadi pantangan penyakit yang sedang kamu idap!" ujar Anindea memperingatkan Dewi.
"Echem." Tiba-tiba terdengar orang berdehem dibelakang mereka, sehingga Anindea dan Dewi refleks bersamaan menghadap ke belakang melihat siapa yang menghampiri mereka.
"Ini makanannya," ujar Neni memberikan nampan berisikan dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh yang tadi dipesan Anindea dengan judes.
"Begini cara kamu melayani pelanggan kantinmu?" tanya Anindea menghardik karena merasa tidak dihargai oleh Neni.
Anindea begitu kesal kepada Neni yang terkesan tidak ikhlas mengantarkan makanan yang dia pesan. Cara Neni berbicara dan sikapnya memberikan nampan begitu sangat membuat darah Anindea tersulut emosi. Biasanya Neni tidak seperti itu, tapi entah kenapa hari ini dia bersikap seperti seakan-akan membenci Anindea dan juga Dewi.
"Bawa makananmu, aku tidak berselera memesannya lagi. Aku di sini adalah pembeli, bukan pengemis!" Teriak Anindea marah, sehingga menyita perhatian pelanggan lain, dan tidak luput pula ibu kantin yang merupakan mama dari Neni.
Mendengar keributan antara anaknya dan pelanggan, wanita paruh baya yang merupakan ibu Neni segera menghampiri mereka. Perasaannya menjadi tidak enak, karena melihat Anindea yang sepertinya sedang sangat marah. Selama ini Anindea tidak pernah membuat onar di kantinnya, karena itulah dia sedikit berlari menghampiri tempat keributan.
"Ada apa, Nak?" tanyanya pada Neni.
"Nggak tahu. Mungkin mereka lagi PMS, Bu," jawab Neni asal.
"Pinter, ya." Anindea tersenyum sinis menatap Neni.
"Sebenarnya kamu kenapa, hem?" Tanya Anindea melipat kedua tangannya di dada.
"Apa kamu ada masalah denganku?" tanya Anindea kembali.
"Siapa yang punya masalah denganmu?" Neni yang sudah terlihat gugup karena takut dimarahi ibunya pun langsung berkilah, dengan melontarkan pertanyaan yang asal.
"Ada apa sebenarnya, Nak?" Kini terdengar suara ibu pemilik kantin menengahi perdebatan mereka.
"Aku di sini bukan mengemis minta makan, Bu. Aku masuk ke kantin ini untuk beli makanan. Akan tetapi, Neni memperlakukan kami seperti orang yang mengemis makanan," jawab Anindea.
Mendengar jawaban Anindea, wanita paruh baya yang ada di hadapan mereka pun merasa bersalah atas sikap anaknya. Bahkan, dia menawarkan Anindea makan dengan gratis hari ini. Bukannya menerima tawaran itu, Anindea malah merasa tersinggung.
"Aku tidak pernah makan gratis, kecuali makanan buatan mamaku. Jadi, terima kasih karena Ibu telah inisiatif menawarkan makanan kepadaku. Namun, aku tidak bisa menerimanya," ujar Anindea.
"Ini untuk bayaran makanan yang telah aku pesan. Aku hanya berpesan agar Ibu memberi nasehat pada Neni agar bersikap baik pada pelanggan." Imbuh Anindea kembali dengan mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.
"Maaf, jika aku terlihat tidak sopan. Ini juga karena Neni yang memancing emosiku," Anindea terus mengoceh mengeluarkan uneg-unegnya.
Karena sudah merasa kesal, Anindea membawa Dewi pergi dari kantin kampus itu dan mencari makanan di luar kampus. Dia terus menggerutu ketika keluar dari kantin kampusnya.
Menjadi selingkuhan suami orang bukanlah impianku, tetapi takdir yang mengantarkan aku pada nasib ini yang menjadi cibiran orang banyak.
Setelah kesalahan malam pertama membuat rumah tangga Maya hancur. Bukan hanya rumah tangga yang hancur, tapi dunia Maya pun seakan diporak porandakan oleh orang terdekatnya.
Tak kusangka, malam pertama yang begitu panas penuh kenikmatan ternyata kulalui bukan bersama suamiku. Seorang pria yang begitu perkasa dalam bermain di atas kasur membuat aku menjerit kenikmatan berulang kali hingga pagi datang menyapa. Ketika itu lah kehidupanku penuh drama dimulai. Kenikmatan semalam yang begitu memabukkan mengubah segalanya.
Akan kusimpan cinta tanpa berbagi sama siapapun hanya demi untuk sang pujaan hatiku.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Ryan Sudono adalah seorang dosen muda yang menawan dan cerdas di sebuah kampus swasta ternama di salah satu kota besar di Jakarta. Ryan Anak tunggal dari keluarga yang sangat berada dan Papa Sudono dan mama Tyas pun juga seorang dosen. Papa dan mamanya Ryan ini sangat berpengaruh dalam kehidupan Ryan karena sejak kecil Ryan sering melihat kemesraan papa mamanya itu di rumah dan juga perhatian serta support papa mamanya itu di kehidupan Ryan sampai dengan saat Ryan sudah beranjak dewasa bahkan saat Ryan sudah menikah papa mamanya masih sangat perhatian apalagi kedua ortunya itu berharap sekali agar cepat dapat momongan dari Ryan dan istrinya. Ryan Sudah beristrikan Tania yang sangat cantik. Tania sesama Dosen yang baru beberapa hari ia nikahi, Namun ada kekecewaan dengan Tania sebagai istrinya di awal-awal pernikahan mereka. Disisi lainnya sang Istri Ryan yaitu Tania yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja meski tak sekaya keluarga Ryan namun Tania juga punya kecerdasan di akademiknya yang membawa bisa berprofesi sebagai Dosen bareng sang suami, Ryan. Namun demikian, Tania punya kisah tersendiri dengan lelaki yang dulu mengejar cintanya saat ia masih SMA yaitu Robi. Mereka dipertemukan kembali saat ada acara reuni SMA. Robi ini awalnya seperti yang Tania kenal semasa di SMA dulu namun dalam perkembangannya mungkin karena lingkungan yang salah seiring berjalannya waktu si Robi ini ternyata menyimpan hal buruk yaitu memiliki profesi sebagai pengusaha pinjol yang banyak menjerat nasabahnya sehingga para nasabahnya itu terlilit hutang yang banyak ke perusahaan aplikasi pinjol milik Robi. Dan salah satu korban dari pinjolnya Robi adalah Rani mahasiswinya Ryan yang nantinya seorang dokter muda bernama Bayu lah yang berhasil melepaskan Rani dari cengkeraman kejahatan Robi. Kehidupan rumah tangga Ryan dan Tania terganggu oleh kehadiran Maya yang sejak lama sebelum Ryan menikah dengan Tania, dimana Maya diam-diam juga jatuh hati pada Ryan. Maya yang juga sahabat dari Ryan dan Tania, bekerja sebagai dosen di kampus yang sama juga dengan Ryan dan Tania. Kehidupan rumah tangga Maya dengan sang suami yang tidak sesuai harapan ini karena perjodohan dari ortunya. Maya akhirnya terpaksa menikah dengan lelaki pilihan ortunya yaitu Joko yang berwatak keras sehingga Maya merasa tidak bahagia selama hidup dengan suaminya itu. Joko dipilih oleh para ortu merkea karena Joko adalah putra dari sahabat sang mamanya Maya yang berteman akrab dengan mamanya Joko. Dengan alasan agar Joko bisa meneruskan usaha ayahnya Maya yang memiliki perusahaan properti sebagai salah satu manajer disitu maka Joko suatu saat diharapkan bisa menggantikan peran ayah mertua di perusahaan properti itu. Sampe usia pernikahan yang ke-3 tahun mereka belum dikaruniai anak. Entah siapa yang mandul yang jelas mereka berdua saling cuek dan belum periksa ke dokter tentang siapa yang mandul. Padahal idealnya sepasang suami istri mengharapkan kehadiran keturunan di keluarga mereka untuk melengkapi kebahagiaan sebuah rumah tangga. Sementara itu salah satu mahasiswinya Ryan yaitu Rani yang mungil tapi cantik dan agresif juga sangat menggebu mendekati Ryan. Rani yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas kuliahnya ditambah lagi tidak bisa fokus karena sedang bolak bali ke Bandung mengurus ibunya yang sedang sakit, disinilah Ryan terkondisi untuk terus membantu Rani dalam hal pengobatan sang ibu namun sayangnya hal ini nampaknya benar-benar dimanfaatkan Rani untuk mendekati Ryan sekaligus mengambil keuntungan dari kekayaan Ryan yang berlimpah. Padahal ada pria lain yang begitu baik yang sangat menyukai Rani yang tinggal kota bandung bersama sang ibu, yaitu Bayu seorang Dokter muda yang selalu setia melayani ibunya Rani di Rumah Sakit selama menjalani perawatan. Hubungan Ryan dan Maya semakin dekat tanpa diketahui oleh Tania apalagi kondisi rumah tangga Maya yang tidak harmonis dengan Joko sang suami membuat Maya semakin melarikan dirinya ke pelukan Ryan yang menawan itu. Ditambah lagi gairah Tania dalam berhubungan dengan Ryan sebagai sepasang suami istri sangat berbeda dengan perlakuan manis Maya ke Ryan. Pun Tania sempat terpesona oleh Robi sang mantan sewaktu di SMA nya dulu. Namun demikian dari semua itu, pada akhirnya Ryan dan Tania tetap bersatu karena ada hal yang ternyata bisa membuat mereka tetap mempersatukan mereka. Satu per satu orang-orang mencoba mengganggu kehidupan rumah tangga mereka itu berguguran alias mundur dan kembali dengan kehidupannya masing-masing secara normal kembali. Untuk Maya pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan dari lelaki yang cocok dengannya. Sedangkan tokoh antagonis seperti Robi dan Joko pada akhirnya akan kena getahnya di akhir cerita nantinya. Untuk Mahasiswinya Ryan yaitu si cantik Rani pada akhirnya jatuh ke pelukan pria yang mau secara tulus menjaga dan melindunginya sekaligus ikut merawat ibunya selama ibunya sakit yaitu Dokter Bayu.
AREA DEWASA! YANG BELUM CUKUP UMUR, MINGGIR DULU YA, CARI BACAAN SESUAI UMURNYA. NEKAT BACA CERITA INI, DOSA TANGGUNG SENDIRI. Pertemuan Anne Mary yang masih berumur 18tahun dengan Marcio Lamparska, 30tahun dalam sebuah tragedi pembunuhan di Tokyo dimana Marcio sebagai pelaku pembunuhan dan Anne yang menjadi saksi matanya membuat hubungan antara Anne dan Marcio terikat dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan karena akibat dari tragedi pembunuhan tersebut, Anne yang merupakan orang terdekat dengan korban, tertuduh menjadi tersangka utama pembunuhan. Sebelum interpol menemukan dan menangkap Anne, Marcio bersama anak buahnya sudah terlebih dahulu menculik gadis itu dan membawanya ke Murcia, Spanyol, kediaman Marcio berada. Anne Mary yang memiliki otak jenius di atas rata-rata hanyalah seorang gadis muda yang sangat lugu, polos namun memiliki mulut yang tajam pedas dan kritis sedangkan Marcio yang tanpa dia sadari sudah jatuh cinta kepada gadis muda tersebut semakin membuatnya protektif menjaga dan memberikan pelatihan-pelatihan fisik pada Anne yang tentu saja semakin membangkitkan api dendam dalam diri Anne yang membara di dalam dadanya. Anne akhirnya bersedia membuka hatinya untuk menerima perasaan Marcio agar dia bisa lebih mudah untuk membunuh pria itu yang ternyata tanpa dia sadari masuk ke dalam perangkapnya sendiri, jatuh cinta pada Marcio. Bisakah Anne melupakan Touda Akira sepenuhnya, orang yang sudah menjadi korban pembunuhan Marcio, dimana Touda merupakan cinta pertama Anne yang mencintainya secara diam-diam dan melupakan balas dendamnya pada Marcio? Bagaimana dengan Iosef, tangan kanan musuh besar Marcio yang sejak pertama kali bertemu dengan Anne, memiliki perasaan tidak biasa terhadap gadis mungil itu. Iosef juga musuh yang pernah melukai Anne namun juga menyelamatkan gadis itu dari kematian. Demi menyelamatkan Marcio, Anne terpaksa ikut pergi dengan Iosef. Iosef yang lembut, perhatian, sangat posesif dan mencintai Anne dengan nyawanya. Cinta yang tulus dan abadi namun memahami jika gadis yang dia cintai tersebut masih mengukir nama Marcio di dalam hatinya. Dalam pelarian bersama Iosef, Anne tumbuh semakin kuat, tangguh dan sangat cantik mempesona. Ayunan pedangnya sangat cepat, akurat, dan sikapnya tegas, tidak segan membunuh siapapun yang menjadi tugas dalam misinya. Akankah pertemuan kembali Anne dan Marcio bisa menumbuhkan perasaan cinta dan kerinduan di antara mereka lagi atau mereka menjadi musuh yang akan saling membunuh? Ikuti terus cerita Anne Mary ini dari seorang gadis biasa yang jelek menjadi seorang gadis muda yang sangat cantik dan memukau namun sifatnya yang sangat tidak peka akan cinta membuat para pria yang terpikat padanya selalu salah paham akan sikapnya. “Ini bukan tentang cinta dan siapa yang kamu pilih, tapi kepada siapa kamu akan berkomitmen untuk memberikan hati yang kamu yakini dia bisa menjaga hatimu dengan sangat baik,” – Anne Mary. CERITA INI EXCLUSIVE HANYA ADA DI BAKISAH!