Gemerisik dedaunan, dentingan ranting-ranting yang saling bersentuhan akibat tiupan angin membuat siapa saja lebih memilih memilih bergelung di bawah selimut atau paling tidak meminum cokelat hangat. Hari sudah semakin larut tapi kota New York seperti tidak pernah tidur. Seorang gadis mengeratkan jaketnya yang tebal, giginya sedikit bergemelutuk, bahkan sepatu boots hingga ke lutut tetap tidak melindungi kakinya seperti sudah membeku. Berdiri di bawah pohon besar di saat suhu dibawah nol derajat merupakan pilihan paling buruk bagi siapa saja, termasuk gadis itu. Dia bukanlah seorang yang bodoh dan tidak mempunyai pilihan. Dia punya pilihan untuk pulang, mematikan ponsel dan berakhir tertidur lelap di tempat tidurnya, tapi dia tidak melakukan itu. Bagian bawah sepatunya sudah menipis sehingga tidak dapat melindungi kakinya dari dinginnya es membeku di bawah sana. Sesekali dia meringis karena demi apapun kakinya sudah tidak bisa digerakan lagi. Apakah darah yang dipompa jantungnya sudah tidak sampai ke bawah sana? Entahlah. Kedua tangannya yang terbungkus sarung rajutan merah saling berkumpul untuk menggesek telapak tangan sehingga menghasilkan rasa panas sedikit di sana. Dia mendesah sambil memajukan kepalanya sedikit ke arah badan jalan, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang ditunggunya. Akhirnya, dia tersenyum kecut. Dia memang bodoh, lagipula ini sudah terjadi lebih dari satu kali, seharusnya dia boleh belajar dari pengalaman saja tanpa mengulang itu. Sebelum dia membalikan tubuhnya menuju tempat pejalan kaki yang berada satu meter di belakangnya, tubuhnya oleng. Astaga, apakah dia hipotermia? Di sini? Di sudut taman tanpa satu orangpun melihatnya? Sayup-sayup sebelum kepalanya terbentur ujung ayunan di taman itu, dia merasakan pelukan hangat seseorang. Lebih hangat dari jaket tebal yang dia gunakan ataupun penutup telinga berbulu halus, sangat hangat sampai dia merasakan jantungnya tidak akan beku meskipun keluar dari tubuhnya karena berdetak semakin menggila. "Kau baik-baik saja?" Gadis itu tidak bisa menjawab, tapi dengan mata tertutup, telinganya bisa menangkap jenis suara berat itu milik seorang pria. Dia masih berkutat dengan pikirannya untuk mengembalikan kesadarannya yang berangsur-angsur pergi, gadis itu tidak ingin penolongnya menghilang setelah menyelamatkannya; khas film yang dia tonton akhir-akhir ini.
"Happy birthday Andre!"
Andre, tersenyum hangat, melipat kedua tangannya di depan dada untuk make a wish, mulutnya berkomat-kamit membuat gadis di depannya mencondongkan tubuh untuk mendengar jenis permohonan apa yang dikatakan pria itu. Detik berikutnya Andre membuka matanya dengan cepat lalu menatap gadis itu dengan tajam sehingga gadis itu merona dan mendudukan pantatnya sambil menekukan wajahnya tanpa menatap pria itu lagi. Dia sangat malu.
Meniup lilin, Andre berdecak "Kenapa lilinnya sangat banyak? Bantu aku meniupnya Ly." Andre menggelengkan kepala, dia sudah melarang gadis itu untuk tidak merayakan ulang tahunnya dengan kue berbentuk hati serta taburan cokelat batangan yang menyerupai daun di atasnya. Oh, dan jangan lupa, ditengahnya ada angka dua puluh delapan dan tidak ada bagian atas dari kue itu tempat kosong tanpa lilin.
"Pelankan suaramu Andre Pranata. Aku Santa. Jangan memanggilku seolah aku berasal dari negara asalmu," protesnya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya berubah menjadi masam, tidak bisakah pria di depannya ini mengucapkan kata-kata romantis yang membuat dia bangga telah melukai ketiga jari di tangan kirinya hanya untuk memecahkan telur ke dalam adonan kue itu?
Andre tersenyum hangat, mengangkat kepalanya setelah usahnya untuk meniup lilin yang super banyak itu. "Baiklah. Sekarang mana hadiahku?" Tangannya terulur ke depan wajah gadis itu, membuat gadis yang dipanggil Santa menggeleng pelan lalu menunduk.
"Aku cuma punya uang tabungan untuk membeli bahan kue" gumamnya dengan pelan tapi bisa di dengar oleh Andre. Menarik ujung jasnya, Andre berdiri dan duduk di kursi kosong di sebelah wanita itu.
"It doesn't matter Ly. Maybe you my everything I need.." bisiknya sambil menarik gadis itu dalam pelukannya. "Ah, jangan berbohong pada dirimu sendiri. Santa Lyona! . Sekalipun kau mengganti kewarganegaraanmu, kau tetap berasal dari sana."
Santa menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu, air matanya menetes pelan. Kenyataan yang berusaha dia hapus dari pikirannya. Kenyataan yang membuat dia tidak bisa memejamkan matanya saat malam atau menarik nafas lega saat fajar. Kenyataan yang membuat dia harus lari ke New York, meninggalkan semuanya di belakang tanpa berniat memandang itu lagi.
Bahwa pria yang dia peluk ini. Kekasih hatinya selama lima tahun, telah menikah.
Memejamkan matanya, Santa melepaskan pelukan mereka, menyeka air mata dengan punggung tangannya lalu mendesis "Kita akhiri saja semua ini" ucapnya dengan suara yang bergetar. Kedua matanya tertutup rapat beserta bahunya yang bergetar hebat. Dia terisak. Untung saja mereka berada di sudut cafe yang membuat mereka sedikit jauh dari jangkauan orang-orang yang akan membuat mereka menjadi pusat perhatian.
"Kau tahu itu tidak akan terjadi Ly. Kau sudah mengucapkan itu beratusan kali, dan aku akan tetap seperti semula.. tidak akan melepaskanmu." Andre menegaskan kata-katanya yang dia sendiri tidak yakin kalau mereka akan bertahan berapa lama lagi, tapi dia sudah mencoba, mereka telah melakukan hal yang dikatakan Santa sejak satu tahun yang lalu, sejak dia dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis Ayahnya.
Santa menggeleng pelan, sedikit tidak setuju. "Kau sudah memiliki seseorang yang akan menunggu kau pulang di rumah. Dan.." menarik nafasnya dalam lalu menghembuskan dengan keras "kau memiliki seorang putri yang menunggumu untuk membacakan dongeng sebelum tidur." Suaranya tercekat, bahkan dia hampir gila saat lima tahun lalu mengasingkan diri ke sini, saat berita di televisi itu mengatakan pertunangan kekasihnya. Pria yang baru saja menyatakan perasaan padanya lalu beberapa bulan kemudian dia bertunangan dengan wanita lain?
"Ly?"
"Tunggulah sampai akhir tahun ini heum? Aku akan segera menceraikannya, perusahanku sudah bisa berdiri sendiri tanpa sokongan dana dari Ayahnya."
Santa menggeleng tegas. "Kau gila Andre. Kau memiliki anak dengannya, kau mau apakan anakmu itu kalau kalian bercerai?"
"Aku tidak peduli."
Mendesah, Santa berdiri, memundurkan kursi dan berjalan dengan langkah besar-besar untuk keluar dari sana. Mereka selalu seperti ini, terkadang keduanya berusaha melupakan fakta mengerikan itu, terkadang malah membuat mereka berakhir dengan pertengkaran seperti ini.
Andre mematung di tempatnya. Dia bukannya tidak mau menyusul gadis itu, hanya.. menurutnya gadis itu butuh waktu untuk sendiri. Lagipula gadis itu merupakan gadis yang tegar. Ya, Santa adalah sosok seperti itu dimatanya, dewasa dan tidak berpikir dangkal untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan Andre yang senewen, saat malam pertamanya dia malah berangkat pada penerbangan pertama ke New York untuk memastikan bahwa gadis-nya baik-baik saja. Dan seperti dugaannya, gadis itu hanya tidak bisa tertidur, berpenampilan acak-acakan dengan mata yang sembab.
Hanya satu yang sangat disesalkan Andre. Ayahnya, menggunakan dirinya sebagai tameng untuk kejatuhan perusahan mereka. Sebenarnya Ayahnya tidak memaksa. Hanya Andre yang dilahirkan sebagai yang sulung harus merasakan beban itu harus dia pikul. Resikonya adalah dia kehilangan gadis yang amat dia cintai. Dering ponselnya membuat Andre tersentak, keningnya bertaut saat membaca nama penelepon.
"Hallo"
"Daddy!" Andre mengulum senyum mendengar suara anak perempuannya di seberang.
"Dad, malam ini cepat pulang. Lea dan Mommy sudah menyiapkan kejutan untuk~"
"~sudah Mommy katakan ini rahasia Lea, kenapa kau mengatakannya?" potong isterinya terdengar oleh Andre. "Andre, emm.. kau tidak lembur lagi `kan? Cepat pulang, kami menunggumu, bye."
Andre tersenyum hambar. Dia merasa menjadi pria paling brengsek sekarang ini. Bagaimana mungkin dia dapat melakukan ini pada dua wanita yang baik itu? Dia tidak bisa berbohong kalau dia sudah jatuh cinta pada isterinya, dengan buah hati mereka sebagai pelengkap. Tapi dia juga sudah berkomitmen kepada kekasihnya, dia tidak bisa meninggalkan gadis itu saat banyak yang telah Santa korbankan untuknya. Waktu. Selama lima tahun tetap menerima Andre dengan status itu, Santa tidak pernah melakukan protes apapun.
Tapi jika dia bersama Santa, rasanya dia bisa melakukan apa saja. Menceraikan isterinya dan tidak mempedulikan Catalea, anak mereka. Andrew melipat kedua tangannya, menyanggah sikunya di atas meja, menundukan kepala dan dia berdoa.
***
Dia mendudukan tubuhnya di atas papan kayu mahoni, lantai kamarnya yang dingin. Air matanya seakan tidak pernah habis sejak lima tahun yang lalu. Dia selalu seperti ini, hubungan mereka tidak bisa berakhir dengan mudah. Rasanya dia seperti wanita penganggu rumah tangga orang jika anak kecil dalam keluarga Andre harus merasakan apa yang dia rasakan dari orang tuanya dulu. Tapi hati kecilnya selalu membela. Dia memiliki hak atas itu. Sejak awal, wanita itulah yang merusak hubungan mereka. Sejak awal, dialah pemilik hati Andre, akan begitu sampai mereka mengikat janji suci di altar nantinya. Andre sudah menjanjikan itu, kalau akhir tahun ini akan menceraikan isterinya.
"Tapi aku tidak bisa" erangnya sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana mungkin dia bisa bahagia sedangkan anak lima tahun itu masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan merusaknya nanti. Santa masih memiliki hati nurani, tapi semakin dia mencoba untuk melepaskan Andre, semakin dalam perasaan yang ia miliki. Dan disaat seperti ini, hanya satu yang dia bisa lakukan, selain mengeluh..
Santa menekukan kedua lutut di lantai kayu itu, melipat kedua tangannya di atas kasur dan kepalanya menunduk dalam. "Tuhan yang Maha kasih.. mungkin Kau telah bosan mendengar keluh kesahku. Tapi terima kasih karena sejauh ini masih menjadi pendengar setiaku, saat aku tidak bisa membagi ini dengan siapapun. Kau paling tahu isi hatiku, tunjukan jalanMu untuk kami. Aku yang selalu berlutut dan menangis untuk berdoa, ku mohon, berikan aku kebahagiaan. Aku ingin merasakan itu. Amin."
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Kara dijual oleh suaminya tepat pada malam pertama pernikahan mereka, pada lelaki bernama Angkasa. Kara harus melayani sang CEO selama satu bulan. Hari demi hari dilalui Kara bersama Angkasa, hingga Kara mengandung. Akan tetapi, Angkasa tidak mau mengakui bahwa bayi yang di dalam kandungan Kara adalah darah dagingnya--karena kesalahpahaman. Kara dicampakkan begitu saja. Kara makin menderita karena perbuatan mertua dan suaminya. Dia menghadapi penderitaan hidup seorang diri dalam kondisi mengandung. Kara akhirnya bisa sukses menjadi desainer berkat kerja keras. Angkasa muncul kembali pada kehidupan Kara. Menyesal dan meminta maaf. Akankah Kara menerima permintaan maaf Angkasa?
Mature Content. Please be awise to reading!!! Bocil harap menyingkir, please!! Menikah selama 2 tahun dan belum di karuniai anak menjadikan Nay sedikit sedih. Apalagi suaminya jarang sekali menyentuh. Dia mencari kesibukan dengan berjualan kue dan takdir mempertemukan Nay dengan Alex.