Cerita ini mengisahkan seorang ibu yang beranggapan bahwa memiliki menantu dari kota itu jaminan hidup bahagia dan akan bergelimang harta. Jadi apakah benar atau malah justru sebaliknya?
"Alhamdulillah, akhirnya kalian sampai juga," ujar Ningsih yang akrab disapa Bu Ning itu dengan senyum merekah lalu menutup pintu kala sang anak dan menantunya sudah masuk.
Nadia namanya, anak semata wayangnya yang telah resmi menjadi istri seorang laki-laki yang berasal dari Jakarta dan kini mereka baru saja pulang dari bulan madunya. Alasan Ningsih begitu antusias menyambut mereka karena memang baru cuma anak dan menantunya saja di kampung ini yang setelah menikah lalu berbulan madu.
"Ibu sudah masak 'kan? Kita laper banget, nih," tanya Nadia sang putri semata wayang Ningsih.
"Sudah dong. Ibu sudah masak banyak buat kalian. Ayo," ajak Ningsih seraya menuntun putrinya menuju meja makan dan sang menantu langsung mengikuti dari belakang.
"Wah, banyak banget, Bu. Ada gulai ayam dan rendang kesukaan aku dan Mas Nino lagi," seru Nadia antusias kala membuka tudung saji yang menutupi banyak makanan enak.
"Ini Ibu masak khusus buat putri tercinta dan menantu tersayang loh ..." jawab Ningsih dengan raut muka yang begitu bahagia.
"Terima kasih ya, Bu. Ya sudah, ayo kita makan sama-sama, Bu," ajak Nino yang sedari tadi belum mengeluarkan suara seraya menarik kursi meja makan dan langsung mendudukinya.
"Kalian saja, Ibu sudah kenyang. Pokoknya harus sampai habis. Ibu mau menyimpan koper kalian dulu," jawab Ningsih.
"Eh, nggak usah Bu, biar sama aku saja nanti," cegah Nadia cepat sebelum ibunya keburu pergi.
"Udah nggak apa-apa kalian makan saja." Lagi-lagi Ningsih memperlakukan anak dan menantunya itu dengan sangat baik. Hingga Nadia dan Nino merasa tak enak tetapi untuk saat ini mereka sangat lapar. Jadi, mereka memutuskan untuk mengisi perut dulu sebelum membereskan barang bawaannya.
* * *
'Loh, kok baju kotor semua? Oleh-oleh buatku mana?' batin Ningsih ketika telah mengetahui isi dari dalam dua koper itu baju kotor semua.
'Apa mungkin mereka memberikannya nanti? Biar jadi kejutan gitu? Asyik, senangnya bakal dapat kejutan dari mantu tersayang,' batinnya lagi seraya menghayal lalu mengeluarkan semua baju dalam koper itu dan bergegas menuju mesin cuci.
Setelah selesai, perutnya keroncongan minta diisi, sebenarnya tadi dia belum makan, cuma baru minum secangkir teh hangat, karena pikirnya sang putri akan membawa banyak makanan. Sayang jadinya, kalau banyak makanan tetapi perutnya sudah nggak muat untuk diisi lagi.
"Hah? Habis semua? Apa mereka nggak ingat Ibunya yang sedang mencuci baju? Mentang-mentang aku bilang sudah makan. Sudah lah, lebih baik aku jemur baju saja dulu," ujar Ningsih dengan sedikit kesal.
"Tumben, Bu Ning baru jemur baju jam segini? Mana banyak lagi," tanya Lela yang sedang lewat di depan rumahnya bersama Siti ketika Ningsih sibuk menjemur.
"Oh, ini tuh sengaja nyucinya sekalian sama pakaian anak dan mantuku yang baru pulang honeymoon jadi aja banyak. Kalau Bu Lela pasti belum pernah kan dengar kata honeymoon? Haha ... Ya, iyalah, kan anaknya nggak diajakin honeymoon sama suaminya," cibir Ningsih seraya masih sibuk menjemur.
"Honeymoonnya dari Yogyakarta 'kan? Wah, nggak mungkin dong kalau nggak beli bakpia pathok sama batik buat oleh-olehnya," sela Bu Siti dengan mata berbinar apalagi bakpia pathok itu kesukaannya.
"Tenang saja, bukan hanya Bu Siti dan Bu Lela yang saya bagi tetapi sekampung saya bagi sekalian," ujar Ningsih dengan nada angkuh. Sedangkan Siti dan Lela hanya mengiyakan saja semua yang diucapkan Ningsih.
"Pokoknya ditunggu ya Bu Ning, oleh-olehnya," goda Siti sebelum akhirnya mereka pamit pergi, yang langsung mendapat acungan jempol dari Ningsih pertanda meng-iyakan.
* * *
Hatinya yang tadi sangat dongkol akibat perut lapar namun makanan habis, kini berganti dengan kebahagiaan yang tiada terkira, usai dia bisa memamerkan sang menantu pada Lela dan Siti. Apalagi Siti, kalau ada berita yang sudah sampai ke telinganya, maka dapat dipastikan semua warga di kampung bakal mengetahuinya dengan cepat.
Kruk ... Kruk ....
"Sampai lupa kan kalau ini perut belum aku isi," ujar Ningsih yang langsung bergegas masak dengan sisa bahan yang ada.
Pukul 11.00, Nadia keluar kamar. Tenggorokannya terasa kering pertanda membutuhkan asupan cairan. Tadinya selesai makan dia mau langsung mencuci semua bajunya tetapi ternyata sudah keduluan sang ibu. Akhirnya karena kecapekan di perjalanan, Nadia memutuskan untuk istirahat sebentar di kamar bersama sang suami.
"Nad, mana oleh-oleh buat Ibu? Udah lah nggak usah pakai acara kejutan segala macam." Ningsih terbangun ketika mendengar pintu kamar Nadia terbuka setelah dia mengisi perutnya tadi, dirinya ketiduran di kursi depan tv.
"Sebentar Bu." Nadia terpaksa balik lagi ke dalam kamar daripada mendengar ibunya mengomel.
"Ini aku beliin batik sama bakpia pathok Bu, maaf tadi capek banget sampai lupa ngasih," ucap Nadia dengan tulus.
"Pas!" jawab Ningsih yang membuat Nadia heran. Karena Nadia pikir ibunya akan mengucapkan terima kasih. Sebagaimana kita kalau menerima pemberian dari orang lain.
"Pas apanya, Bu?" Dengan raut muka heran, Nadia memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya ... ini pas. Kamu beli batik sama bakpia pathok, tadi ada Bu Siti si ratu gosip itu tuh, minta oleh-oleh," jawab Ningsih dengan santainya seraya langsung mencicipi bakpia pathoknya.
"Terus, Bu?" tanya Nadia lagi dengan rasa penasaran.
"Ya, Ibu bilang bukan hanya mereka saja yang akan Ibu bagi, melainkan orang sekampung." Ningsih masih menjawab dengan nada santai seraya sibuk menikmati bakpia pathok.
"Apa, Bu? Ibu jangan aneh-aneh deh, aku beli cuma buat Ibu saja, ngapain ngasih ke orang sekampung? Aku bukan sultan, Bu!" tegas Nadia yang tak habis pikir dengan apa yang telah ibunya lakukan.
"Tetapi suamimu kan orang kota, lagian Ibu sudah terlanjur bilang, malu lah kalau sampai mereka nggak dikasih." Lagi-lagi Ningsih menanggapi pertanyaan sang anak dengan santai.
"Salah Ibu sendiri sih, Ibu itu kebanyakan pamer tau nggak?" ucap Nadia dengan nada dan raut muka sebal.
"Heh, Ibu itu bukan pamer tetapi membanggakan anak dan menantu. Pokoknya, Ibu nggak mau tahu, si Nino harus beli lagi batik sama bakpia pathok sesuai jumlah warga yang tinggal di kampung ini bagaimana pun caranya. Suamimu kan orang kota, nggak kaya si Putri anaknya si Lela yang cuma dapat orang kampung," bentak Ningsih seraya mengambil sisa bakpia pathoknya dengan kasar lalu menuju kamar tanpa menunggu jawaban dari Nadia.
Brak! Pintu kamar ditutup dengan kasar.
'Astagfirullah, Ibu. Punya uang darimana lagi Mas Nino buat beli oleh-oleh untuk dikasih ke orang sekampung?' batin Nadia seraya memijat pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Rasa haus yang sejak tadi dirasa pun tiba-tiba hilang entah kemana.
"Astagfirullah ...." Nadia memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke sofa.
Bagaimana jika keponakan yang dititipkan oleh kakak perempuan nya mulai mengacaukan seluruh tatanan kehidupan nya. Gadis kecil yang dia sangka polos menyimpan cinta mendalam untuk dirinya, memancing hasrat nya berkali-kali hingga pada akhirnya satu malam panas terjadi di antara mereka. Bagaimana caranya dia meminta restu kepada kakak nya sendiri untuk hubungan yang jelas di anggap tidak mungkin untuk semua orang. Namun siapa sangka satu kenyataan dimasa lalu terbuka secara perlahan soal hubungan mereka yang sesungguhnya.
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Kehidupan Leanna penuh dengan kesulitan sampai Paman Nate-nya, yang tidak memiliki hubungan kerabat dengannya, menawarinya sebuah tempat tinggal. Dia sangat jatuh cinta pada Nate, tetapi karena Nate akan menikah, pria itu dengan kejam mengirimnya ke luar negeri. Sebagai tanggapan, Leanna membenamkan dirinya dalam studi andrologi. Ketika dia kembali, dia terkenal karena karyanya dalam memecahkan masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan infertilitas. Suatu hari, Nate menjebaknya di kamar tidurnya. "Melihat berbagai pria setiap hari, ya? Bagaimana kalau kamu memeriksaku dan melihat apakah aku memiliki masalah?" Leanna tertawa licik dan dengan cepat melepaskan ikat pinggangnya. "Itukah sebabnya kamu bertunangan tapi belum menikah? Mengalami masalah di kamar tidur?" "Ingin mencobanya sendiri?" "Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik bereksperimen denganmu."
Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian, dia punya kekasih begitu juga dengan aku. Tetapi entah siapa yang memasukkan obat ke dalam minuman ku, sehingga benar-benar lepas kendali.
"Anda tidak akan pernah mengahargai apa yang Anda miliki sampai Anda kehilangannya!" Inilah yang terjadi pada Satya yang membenci istrinya sepanjang pernikahan mereka. Tamara mencintai Satya dengan sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Namun, apa yang dia dapatkan sebagai balasannya? Suaminya memperlakukannya seperti kain yang tidak berguna. Di mata Satya, Tamara adalah wanita yang egois, menjijikkan, dan tidak bermoral. Dia selalu ingin menjauh darinya, jadi dia sangat senang ketika akhirnya menceraikannya. Kebahagiaannya tidak bertahan lama karena dia segera menyadari bahwa dia telah melepaskan sebuah permata yang tak ternilai harganya. Namun, Tamara telah berhasil membalik halaman saat itu. "Sayang, aku tahu aku memang brengsek, tapi aku sudah belajar dari kesalahan. Tolong beri aku kesempatan lagi," pinta Satya dengan mata berkaca-kaca. "Ha ha! Lucu sekali, Satya. Bukankah kamu selalu menganggapku menjijikkan? Kenapa kamu berubah pikiran sekarang?" Tamara mencibir. "Aku salah, sayang. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan menyerah sampai kamu setuju."Dengan marah, Tamara berteriak, "Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. “Lihat Om sini, yang deket.” Suradi mendekat dan membungkuk. “Gemes ga Om?” Suradi mengangguk. “Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?” “Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?” “Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.