/0/13031/coverbig.jpg?v=ec3a0c9977529dacf1a64f58ce0bbe77)
Tama seorang karyawan yang terkenal sangat dingin saat ini sedang berada dalam kebimbangan, dia diminta untuk menjadi suami bayaran dari Bos barunya. Namun di sisi lain Tama memiliki seorang kekasih yang berada di luar kota. Lalu apa yang akan Tama pilih di saat semua pilihan bagaikan buah simalakama bagi dirinya nanti?
"Tama, ditunggu di ruangan Miss Anita," ucap Mita sekretaris bosnya.
Bukan hanya Tama saja yang terlihat terkejut tapi mereka yang satu ruangan dengannya pun saling menatap.
"Lo buat kesalahan apa?" tanya Adi.
"Entah," jawabnya singkat lalu dengan segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke ruangan Bosnya.
Selama di dalam lift hanya ada keheningan, baik Tama maupun Mita tidak ada yang memulai pembicaraan.
Ting!
Pintu lift terbuka membuat Mita menghela nafas lega, sedangkan Tama hanya cuek saja dan terus berjalan.
Tok tok tok.
"Masuk!" ucap Anita dari dalam ruangan membuat Mita mempersilakan Tama untuk masuk dan dia hanya menganggukkan kepala lalu masuk begitu saja.
Terlihat ruangan yang sangat luas dengan beberapa macam hiasan dan foto dirinya membuat ruangan ini semakin terlihat sangat elegan.
"Ada perlu apa Miss manggil saya?" tanya Tama.
"To the point juga ya kamu ini," ucapnya.
"Silahkan duduk dulu," lanjutnya.
Tama pun kini duduk berhadapan langsung dengan Miss Anita.
"Saya memiliki sebuah tawaran yang mungkin sangat menggiurkan untuk kamu, apalagi saya memberikan dengan imbalan yang cukup besar," ucapnya.
Tama terlihat menunggunya walaupun di dalam batinnya ingin sekali keluar dari ruangan ini karena pekerjaan yang masih sangat banyak.
"Saya mau kamu menjadi suami kontrak untuk saya dalam beberapa bulan saja," ucapnya dengan tangan yang terlipat di dada dan punggung yang di sandarkan ke kursinya.
Terlihat wajah terkejut Tama namun dengan segera dia memberikan ekspresi datarnya lagi membuat Anita berdecak.
"Apa dia terlalu malas untuk berekspresi?" batinnya dengan tatapan sinis.
"Atas dasar apa Miss memberikan rencana tidak masuk akal seperti ini?" tanya Tama.
"Kamu tidak perlu tau!" ketusnya.
"Ah jika seperti itu untuk apa juga saya menjawabnya, permisi," ucap Tama yang bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu!" cegah Anita yang ikut bangkit juga.
"Jika itu yang kamu mau, biar saya jelaskan! Silahkan duduk lagi," lanjutnya membuat Tama menurutinya.
"Kenapa gue gini sih, padahal kan bisa cari cowok lain," gerutu Anita di dalam batinnya.
"Jadi saya melakukan ini semua karena orang tua saya akan menjodohkan saya dengan seorang pria jika tidak membawa pasangan ke rumah besok malam," jelasnya.
"Kenapa Miss milih saya? Bukannya banyak pria di luaran sana yang lebih baik bahkan lebih tampan dari sana?" tanya Tama.
"Kalo kamu enggak mau bilang dari awal biar saya tidak perlu repot menjelaskan!" ketusnya dengan tatapan tajam, bukannya takut Tama malah menatapnya malas.
"Jika tidak ada yang mau di bicarakan lagi, saya pamit keluar," ucap Tama yang kini beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.
"Jika kamu menolaknya, saya tidak segan untuk memecat kamu dengan cara yang tidak terhormat," ancam Anita membuat Tama mencengkram dengan kuat gagang pintu, tapi tidak lama dia pun keluar dari ruangan Anita meningggalkannya yang saat ini terlihat sangat geram.
"Kenapa sih Papa pakai acara ngelakuin hal ini segala! Jadi repot gini kan akhirnya!" kesalnya dengan tangan yang di gebrak ke meja membuat Mita terlonjak kaget.
"Astaga! Dia kenapa? Apa ada masalah yang cukup serius?" tanyanya.
"Apa ada hubungannya dengan Tama ya? Tapi bukannya mereka baru bertemu beberapa hari yang lalu?"
"Ah enggak tau lah!"
Mita terlihat kesal sendiri dengan pemikiran lalu dia pun me memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.
Sedangkan Tama yang baru saja sampai di mejanya kini sedang menatap berkas yang ada di hadapannya, walaupun raganya berada disini tapi pikirannya sedang berkelana entah kemana.
"Apa yang harus gue lakukan?"
"Kalo gue setuju, gimana kalo Vivi tau hubungan ini yang ada dia kecewa dan hubungan kita berdua jadi taruhannya, tapi kalo gue nolak pekerjaan gue yang bakal hilang dan gue juga enggak akan bisa cepat buat nikahin Vivi?"
Tama saat ini sedang sibuk dengan pergolakkan di dalam batin dan juga pikirannya sendiri, dia sangat merasakan kebimbangan, karena jika salah mengambil pilihan maka itu akan merusak segalanya.
"Kenapa hidup selalu berada di dua pilihan sih?" kesalnya sambil mengacak-acak rambutnya membuat mereka yang berada disana memandangnya bingung hingga muncul banyak pertanyaan di benak mereka.
Tama pun memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya dan melupakan sejenak apa yang saat ini sedang memenuhi pikirannya.
Tidak terasa kini jam sudah menujukan pukul 12 siang, waktunya untuk mereka mengisi perut yang sudah lapar dan tenaga yang terkuras karena pekerjaan.
"Tam, ayo," ajak Adi.
"Iya."
Kini mereka berdua berjalan berdampingan menuju ke kantin Perusahaan, Adi terlihat ingin bertanya namun ada keraguan di dalam dirinya membuat dia terus saja mengurungkan niatnya.
"Kalo lo mau tanya, maaf gue enggak bisa cerita," ucap Tama yang menyadarinya.
"Hehe, iya gue juga enggak jadi kok, apalagi kalo urusannya sama bos mendingan enggak tau aja," ujar Adi.
Mereka pun ikut mengantri seperti yang lainnya, namun kedatangan Anita membuat suara ricuh seketika menjadi hening.
"Permisi," ucapnya yang kini berdiri di depan Tama membuatnya sedikit mundur agar tidak terlalu dekat.
"Saya tunggu sampai nanti sore!" lirihnya.
Tama yang mengerti arah pembicaraannya hanya diam saja sedangkan yang lain memilih untuk tidak menghiraukannya.
"Miss, biar duduk aja, saya yang ambilkan makan siangnya," ujar Mita.
"Punya saya di satukan saja dengan Tama," ucapnya dan lagi mereka pun di buat terkejut dan bertanya ada hubungan apa keduanya.
Setelah cukup lama mengantri kini akhirnya mereka pun duduk di tempat yang sudah di sediakan, Tama hanya menurutinya saja karena dia tidak mau melakukan keributan.
"Silahkan anda makan," ucap Tama menggeserkan piringnya di hadapan Anita, sedangkan Tama lebih memilih meminum es susunya.
"Kenapa kamu tidak makan? Apa karena satu tempat dengan saya," tanyanya.
"Enggak laper," jawab Tama.
"Kalo kamu enggak lapar kenapa tadi ikut ngantri?" tanyanya.
"Iseng," jawab Tama singkat, Mita yang mendengarnya hanya menahan tawa sedangkan Anita mendengus kesal.
"Di makan nanti keburu dingin malah enggak enak," ujar Tama.
"Enggak, saya tidak jadi makan," ucapnya.
Dengan segera Tama menarik piring tersebut lalu membagi dua sisi.
"Makan!"
Ucapan Tama yang terdengar perintah membuat Anita dengan segera melakukannya begitu juga dengan Tama yang saat ini makan dengan tenang tanpa memperdulikan tatapan sekitar.
"Ternyata Tama bisa juga merintah Anita dengan baik, semoga aja dia sabar hadapi Anita," batin Mita sebagai teman Anita sejak lama.
Makanan mereka pun kini habis tanpa sisa, awalnya Anita menyisakan sedikit makanannya, tapi karena tatapan dari Tama membuat dirinya melanjutkannya kembali.
"Terimakasih untuk makan siangnya, jangan lupa dengan apa yang sudah saya ucapkan tadi," ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Tama yang memilih untuk membereskan bekas makananya.
"Gue benci tatapan mereka," batin Tama lalu pergi meninggalkan area kantin menuju ke ruangannya lagi.
Kini semuanya telah kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, bahkan Tama pun tidak memperdulikan ponselnya yang berdering, apalagi saat ini masih jam kerja tidak seharusnya dia mengangkatnya.
Waktunya mereka untuk pulang, berbeda dengan Tama yang saat ini masih duduk di depan komputernya.
"Mau gue tungguin enggak, Tam?" tanya Adi.
"Duluan aja," jawab Tama.
"Yaudah, nanti kalo lo butuh bantuan bisa kabarin gue aja," tawarnya sambil menepuk pundak Tama dan pergi meninggalkannya.
Yang tersisa di ruangan tersebut hanya ada Tama saja, mereka sudah pulang untuk beristirahat.
"Tumben banget gue pulang tapi enggak semangat gini," ucapnya lalu dengan segera pergi dan berkemas.
"Gimana? Asal kamu tau, saya tidak suka menunggu? Jadi silahkan putuskan dengan segera apa yang kamu ambil saat ini!" ucap Anita yang datang tiba-tiba bersama dengan Mita.
Tama terlihat sedang mengela nafas terlebih dahulu lalu kini menatap Anita.
"Saya mau" jawab Tama.
"Bagus. Saya suka jawaban kamu, besok saya bawa beberapa aturan yang harus kamu patuhi, selamat sore Tama."
Setelah mendengar jawaban dari Tama kini Anita pun pergi bersama dengan Mita.
"Semoga keputusan gue tepat!"
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
"Kita adalah dua orang yang tak seharusnya bersama," lirih Xena pilu. Morgan menarik dagu Xena dan berdesis, "Sejak awal, kita memang sudah ditakdirkan bersama." Xena Foster terkenal dengan kehidupan glamour dan selalu berfoya-foya. Bagi Xena, dirinya tak perlu bekerja susah payah, karena selama ini gadis itu selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Hidup Xena memang selalu menjadi idaman para gadis di luar sana. Sempurna dan tak memiliki celah kekurangan. Namun, siapa sangka semua itu berubah di kala Xena bertemu dengan Morgan Louise—sosok pria tampan yang mampu menggetarkan hatinya, bahkan membangkitkan hasrat memilikinya. Morgan telah berhasil, membuat Xena tergila-gila pada pria itu. Sayang, perasaan cinta Xena telah terjebak pada kenyataan pahit tentang Morgan Louise. Kenyataan yang telah menghancurkannya. Bagaikan di ambang jurang, mampukah Xena bertahan? *** Follow me on IG: abigail_kusuma95
Adult content 21+ Farida Istri yang terluka, suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Perasaan tersakiti membuatnya terjebak kedalam peristiwa yang membuat Farida terhanyut dalam nafsu dan hasrat. Ini hanya cerita fiktif. Kalau ada kesamaan nama, jabatan dan tempat itu hanya kebetulan belaka
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?