"Tidak ada pertemanan antara lelaki dan perempuan tanpa menimbulkan perasaan." Mungkin itulah yang dirasakan oleh Aulia dan beberapa suami dari temannya, juga teman suaminya. Jalang? Bukan. Dia hanya wanita yang haus kenikmatan. Memang sesekali dia melakukannya demi uang untuk bersenang-senang, tetapi sebagian besar dilakukan dengan suka rela demi kenikmatan belaka. Dia memiliki dua sahabat yang ternyata diincar juga suaminya oleh si Aulia ini. Bagaimana nasib persahabatan mereka? Juga bagaimana dengan rumah tangga Aulia? Berantakan atau ...?
"Mmmppp!"
Sebuah suara aneh terdengar dari dalam bersamaan dengan lagu yang mengalun indah di telinga saat Anggit berada di teras rumah bergaya klasik yang terlihat sudah tua itu. Pintu memang terbuka, tetapi dia segan untuk masuk. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk di kursi tunggu yang ada di rumah itu. Beberapa tanaman yang sepertinya mahal berada di sudut terasnya, cantik dan tertata rapi.
Anggit memainkan ponsel sembari menunggu si empunya rumah keluar, pasalnya dia sudah ucapkan salam beberapa kali, tetapi tak kunjung dibalas, padahal mereka berdua sudah janjian. Lagian juga temannya yang satu lagi belum datang, atau mungkin Anggit yang datangnya kepagian.
Perempuan berparas cantik itu melihat lagi jam di ponselnya, tertera pukul 8.00 WIB. Berarti dia sudah menunggu sekitar 10 menit.
"Mah, masuk aja yuk!" kata anak Anggit yang sudah terlihat lelah menunggu.
"Jangan dong, nggak sopan. Nungguin Tante ya bentar lagi."
Anggit masih saja sabar menunggu bersama anak perempuannya yang sedang meminum susu kotak kesukaannya.
Sangat lama, tetapi teman yang satu lagi juga belum datang.
'Ke mana sih, Kinan? Apa lagi mampir ke rumah ibunya yah.' gumam Anggit kesal.
"Nyebelin banget sih, selalu ngaret begini."
Saat sedang menunggu, suara itu samar-samar terdengar lagi, bahkan suara yang tidak sepatutnya terdengar di saat seperti ini. Ada suara janggal yang mengganggu pendengaran seorang Anggit. Makin dia perhatikan suara itu makin meresahkan saja, suara dua orang berbeda jenis kelamin, Anggit meyakini hal itu.
"Siapa sih yang nganu pagi-pagi gini? Tapi, suara itu kek dari dalam rumah ini deh." Gumam Anggit lagi.
"Apa iya suami Aulia belum berangkat kerja? Padahal kan sudah sesiang ini. Aneh!" lanjutnya.
Beberapa saat Anggit mendengarkan, akhirnya suara itu hilang. Sekejap kemudian seorang lelaki yang diketahui adalah suami Kinan datang entah dari mana.
"Dah lama, Nggit?" tanyanya. Wajahnya berpeluh sekali, seperti habis angkat beban.
"Mayan lah, kalau gue ngerokok mungkin dah abis sebungkus," jawab Anggit asal.
"Lah ada-ada aja."
"Bini lo mana?" tanya Anggit sambil menatap tajam ke arah lelaki itu.
"Dia pergi ke pasar."
"Sama Aulia?" tanya Anggit heran.
"Enggak loh. Kayaknya Aulia di dalem," jawabnya sambil menyulut sebatang rokok.
"Terus lo dari mana? Jangan bilang lo abis main kuda-kudaan sama Aulia," tuduh Anggit sambil mendelik tajam.
"Gila kamu, aku nggak bakal gitu lah!" elaknya lalu menjauh.
Gelagatnya sama sekali nggak bisa dipercaya, tetapi Anggit memilih untuk menyimpan semuanya sampai dia benar-benar melihat kejadian itu sendiri.
Dari dalam rumah belum ada tanda-tanda ada orang yang mau keluar, kali ini gemercik air terdengar jelas di telinga Anggit, tidak lama kemudian berhenti.
Tidak lama menunggu di teras rumah Aulia, Kinan datang membawa anaknya yang masih kecil, sekitar empat bulanan.
"Eh, lo dah sampe, Cuy! Masuk aja!" Kinan langsung masuk ke rumah Aulia tanpa permisi karena memang rumahnya terbuka.
"Ga pa-pa emang? Yang punya rumah belum nyuruh masuk loh." Anggit terlihat kikuk dengan hal itu karena dia memang tidak pernah melakukan itu.
"Santai aja dah biasa keluar masuk, boleh ini sama si Aulia." Kinan langsung masuk dan menggelar sebuah tikar karena lantainya memang hanya dialasi karpet kotak-kotak.
Depannya memang terlihat masih bagus tetapi di dalam rumah terlihat rapuh, bahkan di salah satu sudutnya ada yang kayunya sudah keropos. Di sekitar rumah berdinding batu bata, memang agak timpang dengan rumahnya yang bergaya klasik dan rapuh. Antara depan rumah dan bagian dalam juga tak kalah timpang.
Anggit yang baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu terus saja menyisir setiap inci sudut rumah itu, sedangkan anaknya yang berusia 4 tahun itu duduk sambil memainkan sebuah mainan yang entah milik siapa.
Beberapa lama menanti, akhirnya Aulia datang dari arah belakang dengan kepala terbalut dengan handuk yang terlihat basah.
"Lo habis mandi?" tanya Anggit keheranan.
"Iya, kenapa?"
"Ga pa-pa tanya doang!" Anggit menjawab dengan ketus. Dia semakin yakin kalau memang ada yang aneh dengan Aulia dan suami si Kinan.
"Cuy, mau masak apa kita hari ini?" tanya Kinan sambil menepuk pantat sang anak.
"Seblak aja keknya cocok," usul Anggit santai.
"Iya boleh, minumnya es buah ya." sahut Aulia semangat.
"Siapa yang mau ke pasar?" tanya Kinan.
"Kalian aja ya." Aulia menyodorkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah.
Anggit menatap wajah si Aulia dengan wajah kesal. "Segini doang? Parah!" batin Anggit.
"Udah nggak usah, biar pakai duit gue aja!" kesal Anggit sambil bersiap menuju keluar.
"Yang bener?" Kinan dan Aulia bertanya bersamaan. Mereka sepertinya terkejut dengan sikap Anggit.
"Iya, gampang, toh gue juga makan. Lo iuran gas sama nasi, Li. Terus lo Kinan, iuran minyak, ambil aja di rumah emak lo, sama bumbu. Cabe sama bahan yang buat seblak biar gue."
"Ya udah mendingan lo yang beli bahannya, terserah mau apa aja. Biar gue sama Aulia siapin yang lain." jawab Kinan.
"Iya, sama aku belum masak nasi juga, sih," jawab Aulia dengan polosnya.
Belum masak nasi padahal sudah hampir jam sembilan tapi belum masak nasi, anak-anak sama suaminya dia kasih makan apa pagi tadi.
Anggit keluar rumah itu bersama anaknya. "Heh! Kunci motor lo mana!"
"Tangkap!" Kinan melemparkan kunci motornya ke arah Anggit. Dan Anggit pun pergi ke pasar bersama anaknya.
"Eh, Ai, itu si Anggit duitnya banyak yah?" selidik Aulia.
"Ya banyak kali, kan dia suaminya kerja kantoran, ya pantes lah kalau duitnya banyak." Jawab Kinan sekenanya.
"Oh iya, mending kita sering-sering kayak gini yah. Hihi."
"Betul!" Keduanya saling tos.
Keduanya saling tersenyum dan memandang.
"Gimana hubunganmu sama dia?" tanya Kinan iseng.
"Masih lah. Cuma ya dia belum bisa ke sini. Surabaya ke Jogja kan jauh." jawab si Aulia sambil terus mengoperasikan ponselnya.
"Iya sih, cuma kan dia masih sering telepon atau ya kasih duit lah." Kinan masih terus mencoba menyelidik.
"Ya masih. Itu tadi sisa duit dari dia minggu lalu."
"Lha? Kukira itu dari suamimu. Kok malah dari selingkuhan?" Kinan terlihat begitu heran.
"Ya gitulah adanya. Mau gimana lagi. Suamiku kan emang kerjanya cuma kuli, mana utang ibu mertuaku banyak dan bapak mertuaku udah nggak ada." Keluh Aulia.
"Oh, iya yah. Tapi ya mending lah kamu masih dapat uang dari selingkuhan. Hahaha."
"Betul!" Aulia mengacungkan jempolnya.
"Aku aja dulu gitu. Cuma sejak ada ini bayi, ga bisa ngapa-ngapain. Apalagi pas dulu sempet ketahuan sama istri selingkuhanku."
"Eh? Pernah ketahuan? Kok bisa?"
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Bermula dari kebiasaan bergonta-ganti wanita setiap malam, pemilik nama lengkap Rafael Aditya Syahreza menjerat seorang gadis yang tak sengaja menjadi pemuas ranjangnya malam itu. Gadis itu bernama Vanessa dan merupakan kekasih Adrian, adik kandungnya. Seperti mendapat keberuntungan, Rafael menggunakan segala cara untuk memiliki Vanessa. Selain untuk mengejar kepuasan, ia juga berniat membalaskan dendam. Mampukah Rafael membuat Vanessa jatuh ke dalam pelukannya dan membalas rasa sakit hati di masa lalu? Dan apakah Adrian akan diam saja saat miliknya direbut oleh sang kakak? Bagaimana perasaan Vanessa mengetahui jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh Rafael untuk balas dendam semata? Dan apakah yang akan Vanessa lakukan ketika Rafael menjelaskan semuanya?
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.