/0/10791/coverbig.jpg?v=20250122182847)
Pengaruh kehidupan Barat yang dibawa Cassiopeia Arsy dengan hobi berpakaian ketat, gaya anti-mainstream, sikap sombong, angkuh dan semena-menanya menjadikan cewek itu dijuluki Devil Girl. Dalam kehidupan sekolah barunya, Cassie justru tanpa sengaja bertemu dengan Zein Damar Priyambada cowok dingin yang tak kenal senyuman sekaligus ketua OSIS paling disegani. Entah apa yang dimiliki Zein sehingga Cassie selalu tertarik untuk berada di dekatnya, meskipun kesan buruk menghiasi pertemuan pertama mereka. Mimpi buruk itu selalu ada, bahkan pada diri mereka berdua. Melalui perjalanan yang panjang, kejadian-kejadian kelam itu mulai muncul di permukaan, dan mampukah keduanya saling mengobati luka lama itu?
Sebuah sedan hitam mengkilat berhenti tepat di depan gerbang sebuah sekolah. Para siswa tampak ramai menyerbu. Seorang cewek dengan seragam serupa masih melipat kedua tangannya di dada, wajahnya cemberut dan dingin, iris matanya melirik para siswa yang baru berdatangan. Dia jelas enggan.
"Ayo turun," ujar seorang perempuan cantik yang mengenakan busana layaknya nyonya muda dengan mengapit tas di lengannya.
Dia melirik cewek itu yang masih duduk di jok belakang mobilnya.
Seorang pria yang menjadi supirnya hanya mampu diam, dia jelas tahu apa penyebab si cewek bersikap seperti itu.
"Kamu bisa terlambat, Cassie. Kita harus bertemu guru dulu," bujuk sang perempuan itu.
Tanpa kata, tangannya bergerak membuka pintu mobil lantas keluar dan menutupkan pintu dengan sekali hentakan membuat dua orang di dalam sana berjengit. Terlebih perempuan itu yang seketika memasang raut wajah yang sedih. Bagaimana putrinya berubah menjadi seperti itu? Lantas embusan napas terbuang dari hidungnya.
Tangan kekar yang terbalut kemeja biru navy itu terangkat dan mengusap lengan sang perempuan untuk menguatkannya.
"Pergilah, dia menunggumu sebelum kembali lagi ke mobil. Aku akan menunggu di sini," katanya lembut.
Perempuan itu menatapnya lamat lalu mengangguk setelah kembali mengembuskan napasnya.
"Nggak apa-apa. Suatu saat nanti, dia pasti akan paham apa yang kamu alami, Siska," ujarnya membesarkan hati sang perempuan yang bernama Siska itu.
Tatapannya tertuju pada wajah sang pria, mencari ketenangan dari lekuk senyum yang diciptakannya. Selalu, dia merasa begitu damai. Siska mengangguk kemudian turun dari mobil setelah berkata pada sang pria agar menunggunya sebentar. Arghana, pria itu mengangguk.
Sorot tajam yang merendahkan itu memindai halaman sekolah yang terbilang elit dan luas tampak terlihat jelas dari depan gerbang. Sesungguhnya ini hanyalah satu hal dari sekiannya yang dia benci. Pindaian matanya juga tak melewatkan para siswa yang baru datang. Seragamnya sama seperti yang tengah dia kenakan. Melihat pada siswa yang menatapnya lantas berbisik membuat dia menggerakan bibirnya entah menggumamkan apa.
Siska berdiri di sampingnya bermaksud untuk mengajaknya masuk ke sekolah itu. Namun, cewek itu justru hendak kembali ke mobil tapi Siska sigap menghentikannya.
"Hentikan, Cassie!" tegasnya. "Sampai kapan kamu akan di rumah? Ayo masuk dan selesaikan sekolahmu," katanya.
Tatapan tajam kembali terarah pada Siska. Sorot yang penuh kebencian itu tampak sekali dari cewek yang namanya disebut Cassie itu. Dengan kesal Cassie kembali membalik badannya lantas melangkahkan kaki menuju halaman sekolah tanpa menyapa penjaga yang sejak tadi berdiri di gerbang.
Sekali lagi Siska menghela napas, mencoba menebalkan lagi dinding kesabarannya. Menghadapi Cassie bukanlah perkara yang mudah. Putrinya itu telah melalui banyak hal yang tak menyenangkan saat usianya masih belia.
Langkah Siska mengikuti Cassie. Sebelum melewati gerbang sesaat dia menyapa penjaga dengan anggukan kepalanya yang dibalas hal serupa oleh pria berseragam itu lantas melewati pintu besi yang cukup tinggi.
Maman, penjaga itu menggeleng melihat tingkah Cassie, bahkan Arghana yang memperhatikan dari dalam mobil ikut mengembuskan napasnya, mencoba untuk sabar. Dia tahu, hadirnya bukanlah siapa-siapa bagi Cassiopeia Arsy, putri dari Siska Maharani itu. Namun, Argha telah bertekad untuk membuktikan pada Cassie siapa yang sebenarnya salah.
Para siswa masih ramai memenuhi koridor-koridor kelas ketika Cassie melangkahkan kakinya ke sana. Matanya memindai dengan tatapan benci, dinginnya menusuk siapapun yang tak sengaja menatap langsung sorot itu. Mereka yang berpapasan di tengah jalan segera melipir, memberi jalan pada Cassie. Namun, pada akhirnya mereka menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, tatapan mereka seolah baru pertama kali melihat sosok sepertinya.
"Permisi. Maaf, ruang guru di mana, ya?" Siska bertanya pada seorang siswa yang berada di belakang Cassie.
Mendengar suara ibunya bertanya Cassie mendengkus kesal.
"Anda lurus saja, lalu belok kiri, di sana adalah ruang khusus guru. Bila belok kanan, itu lapangan," jelas siswa itu.
"Oh. Terima kasih," ucap Siska.
Siswa itu mengangguk.
Cassie masih berjalan dengan angkuh. Dagunya terangkat, matanya melirik sana sini dengan dingin dan tajam lagi-lagi aura kebencian dia keluarkan.
"Sini, Cassie." Siska meraih lengan Cassie dan menariknya belok ke arah kiri sesuai instruksi siswa tadi.
Tapi lagi, Cassie mendengus kesal lantas melepaskan pegangan tangan Siska dengan kasar. Beruntungnya tidak banyak siswa di area itu. Siska sendiri memilih sibuk mencari ruang yang dimaksud meski dalam hatinya dia terluka tapi tak berdarah. Sebuah definisi yang dialaminya. Dia mencoba untuk sabar dan tabah menghadapi putri semata wayangnya yang baru kembali dari asuhan sang ayah.
Berulang kali Cassie membuang napas kasar melihat sosok Siska yang berjalan di depannya. Lagi-lagi kebencian hadir dari sorot matanya untuk perempuan yang sesungguhnya telah melahirkan dirinya ke dunia. Mengingat akan hal itu dan apa yang telah dilaluinya, membuat Cassie semakin mengatupkan rahang. Dia marah, teramat sangat marah bila mengingat akan hal itu. Sebuah kenangan yang membentuk dirinya kini.
"Ayo masuk, Cassie," tegur Siska ketika melihat putrinya hanya diam saja.
Cassie menurut. Kakinya menghentak lantai tapi tak digubris Siska yang terlanjur masuk ke ruang guru. Cassie mengikuti.
Mereka kini ada di ruangan khusus pertemuan. Seorang guru pria seusiaan Siska di pertengahan empat puluh tahun itu duduk berhadapan dengan anak dan ibu.
"Baik. Saya sudah melihat data yang diberikan kesiswaan. Berhubung Beliau akan masuk siang karena ada urusan, jadi saya akan membantu," tutur guru itu.
Sesaat kembali melihat data lalu menatap keduanya bergantian.
"Kamu bisa masuk hari ini, Cassie, dan saya adalah wali kelas dari kelas barumu," jelasnya.
Cassie hanya menatap tak peduli membuat Siska tersenyum canggung pada pria itu.
Chandra Murfi, pria yang memperkenalkan dirinya sebagai wali kelas baru di kelas Cassie itu tersenyum maklum pada Siska.
Bel masuk telah berbunyi lima menit lalu sehingga suasana terasa sepi. Ketiganya sesaat terdiam.
"Baiklah. Sepertinya waktumu sudah tiba, Cassie. Saya akan mengantarmu ke kelas baru agar bisa mengikuti jam pelajaran pertama," jelas Pak Chandra.
"Baik, Pak. Tolong bantu Cassie," ucap Siska.
"Baik Bu, tenang saja. Sudah menjadi kewajiban saya membantu anak-anak jadi jangan khawatir."
Siska mengangguk dan tersenyum. Dia mempercayakannya pada Chandra begitu berhadapan langsung dengan pria itu. Beberapa saat lalu Siska sesungguhnya cukup khawatir tapi melihat Chandra, dia bisa menitipkan Cassie dengan leluasa. Sungguh, sikap Cassie berbeda dari kebanyakan remaja Indonesia.
"Baik kalau begitu Pak, saya mohon pamit," ujar Siska kemudian.
Mendengar sang ibu mengatakan itu, Cassie lantas menatapnya. Entah kenapa, kali ini dia menurut saja, padahal sebelumnya dia bisa berontak membuat seorang guru yang ditemuinya tidak tahan.
Setelah beberapa kali berpesan pada guru baru Cassie, Siska segera pamit yang kemudian diikuti Cassie. Niatnya ikut sang ibu dengan cara menyelinap, bahkan menegakan kepalanya melewati Chandra begitu saja serta beberapa guru lain.
"Kenapa kamu ikut keluar, Cassie? Kamu harus ke kelas sekarang dan mulai belajar," tegur Siska ketika menyadari Cassie membuntutinya.
Tapi Cassie mana peduli, dia melenggang begitu saja melewati Siska.
Melihat tingkah Cassie yang begitu, mau tak mau Siska harus tegas kali ini. Dia meraih tangan Cassie, mencengkramnya kuat agar cewek itu diam sesaat.
"Sekali ini saja, Cassie! Tolong, kali ini saja turuti," pinta Siska dengan nada suara yang melas.
Sungguh, demi apapun, dia tidak bisa bersabar tetapi melihat Cassie begitu dia harus.
Iris hitam kelam yang dimiliki Cassie mengarah padanya. Siska tak gentar kali ini. Dia lelah dengan tingkah semena putrinya kepada siapapun.
Cassie menepis kasar cekalan Siska pada pergelangan tangannya hingga terlepas. Dengan raut wajah penuh amarah, Cassie menatap Siska tajam.
"Lantas apa? Itu keputusanmu untuk membawaku kembali setelah sekian tahun. Aku bilang tidak mau, kenapa masih berusaha keras untuk memperjuangkanku, hah?" katanya.
Siska terdiam. Dia jelas tahu apa maksud Cassie.
"Cassie ...."
"Hentikan! Aku tidak mau mendengar alasan basimu lagi, dan urus saja urusanmu dengan pria itu!" katanya lagi dengan penuh penekanan.
"Hati-hati kalau bicara, Cassie. Argha bukan seperti yang kamu pikirkan."
"Terus saja bela dia!" sentak Cassie dengan suara yang sedikit meninggi membuat Siska tersentak. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menerimanya! And, I won't accept you as my mother anymore! So, urus saja urusanmu, maka aku akan mengurus urusanku, Nyonya!" katanya.
Siska terdiam. Hatinya kembali tersayat dengan perkataan Cassie yang melemparkannya pada masa lalu tentang keputusannya dahulu.
Usai mengatakan itu dengan penuh penekanan, Cassie berbalik hendak pergi tetapi langkahnya terhenti kala didapatinya sosok siswa di depan, hanya berjarak sekitar lima meter tapi itu cukuplah membuat Cassie terpaku akan hadirnya sosok itu.
Apakah dia mendengarnya? Pikir Cassie. Namun, siswa itu berjalan mendekat dengan wajah datarnya seolah tak peduli dengan kehadiran Cassie. Cukuplah itu membuat Cassie merekam wajah dan sosoknya. Dalam hatinya Cassie berjanji tidak akan membiarkan siapapun mengetahui kisahnya termasuk siswa itu.
Awalnya pernikahan itu baik-baik saja. Semua menjadi hangat, luka akibat masa lalu Ainayya Hikari Salvina sedikit demi sedikit mulai sembuh. Tapi pernikahan hangat itu tiba-tiba diterpa gelombang. Menghancurkan sebuah kepercayaan dan membuatnya meninggalkan rumah yang sudah mengajarkan arti sebuah keluarga harmonis. Lalu mampukah Albara Demian Dominic sang pelaku kehancuran tersebut memperbaiki rumah tangga yang sudah membuatnya sembuh dari kejadian di masa lalu? Bisakah Albara mengobati luka yang dia berikan pada istrinya? Mari kita lihat bagaimana perjalanan Albara dalam mengejar cinta istrinya kembali.
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
BERISI BANYAK ADEGAN HOT! Rey pemuda berusia 20 tahunan mulai merasakan nafsu birahinya naik ketika hadirnya ibu tiri. Ayahnya menikah dengan wanita kembar yang memiliki paras yang cantik dan tubuh yang molek. Disitulah Rey mencari kesempatan agar bisa menyalurkan hasratnya. Yuk ikuti cerita lengkapnya !!
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.