"Menjadi milikku adalah keharusan bagimu, karena aku menginginkan hal itu. Tubuhmu, jiwamu, setiap jengkal kulitmu. Hanya aku yang boleh memilikinya, dan hanya aku."
"Menjadi milikku adalah keharusan bagimu, karena aku menginginkan hal itu. Tubuhmu, jiwamu, setiap jengkal kulitmu. Hanya aku yang boleh memilikinya, dan hanya aku."
...
Blade Corp, sebuah perusahaan multinasional yang sedang merangkak menuju nomor satu di dalam negeri. Akan terjadi sebuah insiden yang menggemparkan hari itu, ketika seorang gadis yang selalu menjadi bulan-bulanan CEO di perusahaan tersebut tiba-tiba dipaksa menjadi kekasih sang CEO.
Ini tentang Eva, seorang gadis yang selalu dipandang sebelah mata tiba-tiba saja menarik banyak sekali perhatian kala dia mampu membuat CEO-nya terobsesi padanya. Ini tentang Eva, yang bahkan nyaris tidak mengerti kenapa CEO-nya melakukan ini padanya, dan apa alasan di balik ini semua.
Ini tentang Eva, yang ingin melepaskan diri dari dominasi dan rasa obsesi yang menguasai CEO-nya.
Deret bangku departemen bagian penjualan sudah mulai sepi, apalagi pada musim akhir seasonal seperti sekarang ini. Ruangan kantor berbentuk cubicle yang berpetak-petak itu kini serupa labirin yang tak berpenghuni, walau masih terdengar suara ketukan keyboard jauh di sana.
"Senangnya mereka bisa pulang," hela Evalina Megan Perth. Dia adalah salah satu karyawan paling junior di departemen tersebut. Wajahnya yang berbentuk oval itu kini seperti meleleh bersama semangatnya yang mulai surut.
Kepalanya melongok di atas meja kerjanya sendiri, melewati ujung ruang cubicle miliknya untuk melihat gerumbulan orang-orang yang sudah berarak di depan pintu keluar dan meninggalkan meja masing-masing. Bel pulang sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu, lautan manusia segera meledak setelah itu.
"Huh, apa yang bisa dilakukan karyawan junior dengan banyak pekerjaan sepertiku?" parau gadis berusia dua puluh tahun itu. Tangannya yang ramping dengan kuku jari yang lentik itu kini berdiri untuk menyangga wajahnya yang mulai pucat karena kelelahan bekerja.
Di tengah semua itu, seseorang menegur Eva, "Yang bisa kau lakukan hanyalah menyelesaikan laporan bulanan milikmu dan serahkan laporan itu pada Tuan Arthur."
BLUSH! Belum apa-apa Eva sudah merona di tempatnya. Wajah pucat pasi layaknya mayat hidup miliknya telah mendapat pompaan darah dari jantungnya yang berdebar-debar. Eva tau suara itu, Eva tau suara yang menegurnya itu.
Dengan rona pipi yang sudah tidak bisa disembunyikan, Eva pun mendongakkan wajahnya pelan. Dalam kondisi normal dan bersemu seperti sekarang ini Eva layaknya seorang peri cantik yang sangat ramah, begitu berbeda dari yang tadi yang terlihat layu dan hampir meranggas.
"Oh, hai Kak Jeremy. Apa Kakak sudah mau pulang?" deham Eva dengan malu-malu setelah dia mampu merapikan rambutnya dengan gerakan kilat. Untuk menambah kesan manis dan imut, Eva sengaja menyelipkan rambut di belakang telinganya dengan manja.
Jeremy terkekeh geli. "Ya, aku memang akan pulang sekarang, dan sedihnya melihat juniorku harus tersiksa karena perintah langsung dari CEO-ku," komentar Jeremy dengan tulus. Setelannya yang selalu rapi telah membalut sempurna tubuhnya yang sehat, yang agak padat karena otot. Senyumannya yang sangat manis itu seperti memberikan serbuk-serbuk sari pada Eva hingga membuat gadis itu berlinang air mata karena terharu.
'Tampannya,' leleh Eva bersama senyuman bodohnya.
Jeremy yang biasa mendapatkan perlakuan manis dari para gadis itu pun memaklumi reaksi berlebihan Eva, reaksi yang tak lain adalah tersenyum tanpa henti dengan mata kosong seperti berfantasi. Sekali lagi Jeremy tersenyum lalu menempuk pelan pundak Eva. Lelaki yang didaulat sebagai karyawan paling populer di perusahaan itu pun berkata, "Baiklah, aku pulang sekarang. Semoga pekerjaanmu lancar. Bye."
"B – byeeee." Eva seperti menjadi linglung seketika. Senyumannya yang bodoh tak lekas terhapuskan dari wajah cantik miliknya. Poninya yang menutupi dahi seolah memberikan hujan cinta penuh letupan merah muda yang diterbangi sayap kupu-kupu.
Eva tersentuh, dia jatuh cinta, dan semua itu karena Jeremy. "Gadis mana yang tidak akan jatuh cinta padanya?"
Di samping semua itu diam-diam seorang gadis lain tengah mengawasi Eva yang tengah kasmaran, dan juga Jeremy yang bereaksi biasa saja. Gadis itu adalah Sonia, teman dekat Eva di kantor tersebut. Sonia yang berperawakan tinggi bak model, ramping tapi terkesan kurus, dengan rambut ikal tak alami hasil salon kini mendekat pada meja Eva yang sudah tinggal lima langkah dari posisinya sekarang ini.
Tas branded warna hitam berbahan kulit buaya saat ini sedang Sonia tenteng. Dagunya mendongak dengan langkah kaki melenggak-lenggok bak model. Mungkin Sonia tengah lupa bahwa saat ini dia sedang berada di kantor, bukannya di atas catwalk.
Sonia melipat lengan panjangnya. Masih dengan dagu mendongak dia memandangi Eva yang tak bisa berhenti untuk melongok demi memandang kepergian Jeremy, si pujaan hati. Sekitar lima menit Sonia berdiri dalam diam, menjadi pengamat sampai akhirnya dia kehilangan kesabaran.
"Hey, hentikan lamunanmu itu! Kak Jeremy bisa langsung tau kalau kau menaksirnya. Kau mau membongkar rahasiamu sebelum valentine hah?" cerocos Sonia tanpa basa-basi, dia juga tidak memprediksi apakah nantinya Eva mendengar semua ocehannya atau sebaliknya.
Terkejut, Eva lantas membenahi posisinya. Dia juga merapikan rambut dan bajunya, seakan dia baru saja berbuat sebuah kesalahan. Setidaknya gadis itu mendengar teguran teman dekatnya yang bermulut blak-blakan.
"Oh iya aku lupa. Aduh, untung kau mengingatkan aku!" Eva tiba-tiba bingung sendiri. Dia meraba-raba meja kayu miliknya seolah dia buta. Tangannya turun demi menjelajahi laci meja dan lalu membukanya. Nampak sebuah kotak kado dengan bungkus warna biru di dalamnya, ada hiasan pita dan lalu tempelan surat bertuliskan, "Dear Kak Jeremy, From Eva."
Eva menghembuskan napas sangat lega. "Untunglah kadonya masih di dalam laci." Sambil memeluk kado itu, Eva tak berhenti mengucap syukur.
Sonia mencibir sendiri. Bibirnya yang penuh lipstick dengan riasan bold itu terlihat menyungging tak beraturan. "Tidak akan ada yang mencuri kado itu di dalam lacimu, jadi kau jangan memikirkan soal itu. Yang terpenting sekarang adalah kau harus mempersiapkan dirimu untuk mengakui perasaanmu pada Kak Jeremy besok malam." Besok malam adalah hari valentine.
Melihat Sonia yang melipat lengan dan mendongak angkuh justru menghilangkan semangat Eva. Pasalnya adalah yang dia taksir sekarang itu seorang Jeremy, lelaki paling populer di perusahaan, yang digilai oleh seluruh gadis dari semua kalangan. "Aku tidak yakin. Aku hanya takut jika Kak Jeremy menolakku, atau dia sudah punya pacar."
"Apa pun keputusannya dan apa pun yang terjadi kau tetap harus mencobanya. Tidak akan ada yang tau hasilnya kan? Sebagai teman dekat yang akan menjadi sahabatmu, aku selalu menendangmu dari belakang."
Eva mengernyit, "Bukankah seharusnya mendorongku dari belakang ya?"
"Terserah aku, aku kan putrinya di sini."
"Baik, Tuan Putri!" geleng Eva dengan agak menyindir. Tapi itu tidak membuat Sonia tersinggung sama sekali. Sonia adalah seorang gadis bermental baja dengan kepercayaan diri tak tertandingi.
"Ok, aku pulang dulu kalau begitu. Semoga berhasil dengan laporanmu malam ini, dan semoga kau berhasil dengan pernyataan cintamu besok." Sonia berkedip, lalu mengecup pelan puncak kepala Sonia sebelum pergi.
"Sumpah dia tidak perlu melakukan itu," desis Eva sembari melirik pada teman dekatnya itu, yang kini sudah berlenggak-lenggok bersama sepatu hak tinggi berwarna mencolok di kakinya.
Untuk beberapa saat gadis dengan rambut lurus hitam legam sebahu itu mencibiri Sonia tanpa henti. Eva juga menyebutkan semua keburukan Sonia dalam bisikan layaknya mantra yang sakti mandraguna, sampai seseorang mengetuk bagian luar meja bentuk cubicle miliknya, hingga membuat Eva mendongak dan kemudian membelalak.
Si pengetuk meja adalah Arthur Raymond Blade, yang merupakan CEO di perusahaan tersebut. Bukan hal lumrah bagi Arthur untuk turun langsung dan menemui seorang karyawan ecek-ecek seperti Eva, dan bukan hal yang lumrah bagi Arthur untuk tiba-tiba turun dan pergi memeriksa sendiri pada ruangan kantor para karyawan tersebut.
Jika Arthur mampu mengubah kebiasaannya, maka itu berarti bencana!
"Tu – Tuan Arthur!" Eva buru-buru berdiri. Semua semangatnya berkat Jeremy, dan semua energinya yang menggebu untuk menyumpahi Sonia kini telah surut. Bagai tikus yang terpojok di antara beribu predator, Eva hanya bisa menunduk bersama keringatnya yang tak bisa berhenti membasahi muka, tubuh, dan kepalanya. Wajahnya mulai pucat pasi dengan bibir yang tergigit penuh.
"Aku tunggu laporanmu satu jam lagi di ruanganku." Hanya itu yang dikatakan oleh Arthur. Suara bass miliknya bisa mengancam dalam satu semburan paling lirih. Belum lagi matanya yang sangat dingin dan kelam di banyak kesempatan, dan wajahnya yang selalu pucat karena aura mengerikan miliknya.
Eva menelan ludah dengan kesulitan, bahkan Eva hampir tidak bisa bernapas kala merasakan ledakan jantungnya yang menggila, yang rasanya mempersempit paru-parunya. Dan ruangan kantor yang tadinya serasa gerah karena banyaknya pekerjaan yang menanti itu tiba-tiba terasa sangat dingin dan membeku, sampai membuat Eva kini menggigil pelan.
Jika Jeremy adalah surga dunia di perusahaan itu, yang bisa memekarkan kelopak paling rapuh di dalam hati Eva, maka Arthur adalah kebalikannya. CEO itu adalah neraka bagi Eva, dan mungkin bagi semua karyawan di perusahaan itu. Akan tetapi akhir-akhir ini nampaknya semua karyawan setuju bahwa hanya Eva yang mendapat neraka paling ganas dari Arthur.
Hal itu terjadi karena Arthur secara sengaja memberikan banyak pekerjaan melimpah tanpa henti pada Eva, hanya pada Eva, seakan CEO itu menaruh dendam paling pekat di seluruh bumi ini pada gadis itu, dan seakan Arthur ingin melihat kematian Eva di depan matanya demi bersiap untuk memakan dan melumat gadis itu.
Hanya Eva, hanya gadis itu, yang merasakan dominasi paling mematikan dari sang CEO. Hingga membuatnya ingin pergi dan melarikan diri, terlebih setelah Arthur menuntut Eva untuk menjadi kekasihnya suatu saat nanti.
***
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."
Menceritakan kisah Laura dan pacarnya ardhy Kisah cinta mereka penuh dengan dinamika dan fantasy sexual yang tidak biasa Laura selalu di paksa oleh ardhy agar mau melakukan hubungan badan dengan orang lain hanya demi memenuhi kepuasan fantasy sexualnya
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.