/0/5959/coverbig.jpg?v=543782c8ea248f792ca58290f3555fb4)
Salmah gadis desa yang hidup dalam garis kemiskinan harus berjuang lebih keras lagi ketika nasib membawanya pada pemerkosaan terhadap dirinya sehingga melahirkan seorang anak yang BERNAMA Ayuna. Setelah tiga tahun kemudian sang pemerkosa Jhondra Mahardika datang untuk merebut Ayuna dari Salmah ketika istri Jhondra yang BERNAMA Dinda Kirana tidak bisa hamil lagi untuk selamanya karena rahim Dinda di angkat setelah diagnosis penyakit yang di deritanya. Mau tidak mau untuk mempertahankan Ayuna, Salmah terpaksa menikah dengan Jhondra sebagai istri kedua. Namun pernikahan yang di rasakan oleh nya bukan seperti pernikahan pada umumnya. Salmah menderita dengan pernikahan itu.
"Assalamu'alaikum, Nek."
Salmah mengetuk daun pintu mewah di hadapannya. Hingga beberapa kali barulah muncul si pemilik rumah yang dipanggil Salmah dengan sebutan Nenek.
"Wa'alaikum salam. Siapa?" daun pintu pun dibuka.
Wajah wanita tua itu terlihat tidak senang dengan kehadiran Salmah. Tanpa basa-basi ia langsung ingin menutup kembali pintu. Akan tetapi Salmah berusaha menahannya agar tetap pada kondisi terbuka.
"Tunggu, Nek! aku mohon!" wajah Salmah mengiba pada wanita tua itu.
"Apa lagi? pasti ingin menyusahkan lagi," ketus Wanita tua itu yang tidak lain adalah Nenek kandung Salmah.
"Ibu sedang sakit Nek, tolong pinjam uang untuk bawa ibu berobat!"
"Sudah Kuduga," sinis tatapan sang Nenek. Lalu ia melanjutkan ucapannya, "Tidak ada yang namanya pinjaman! Itu resikonya kalau durhaka kepada orang tua. Dibilang jangan menikah dengan Ayahmu itu.
Hidupnya miskin melarat, mana bisa membahagiakan Ibumu. Sekarang jalani saja! Toh itu pilihannya sendiri. Sudah sana kamu pulang!"
Pintu ditutup dengan keras hingga membuat Salmah terkejut.
Ini bukan yang pertama kali, namun tidak membuat Salmah jera. Kepada siapa lagi ia akan meminta bantuan kalau tidak kepada keluarga sendiri. Namun yang dianggap keluarga, tidak pernah sedikitpun peduli.
Begitu juga dengan Bibi dan Pamannya yang lain. Mereka semua sama saja, selalu menghina Ayah dan Ibu Salmah.
Menurut mereka, Ibu Salmah tidak ada lagi hubungan keluarga antara mereka semenjak Ibu Salmah memilih menikahi Ayah Salmah.
Menurut mereka, Ayah Salmah tidak sederajat dengan mereka.
Sepanjang perjalanan menuju pulang, uraian air mata berlinang di pipi Salmah.
Ia tidak habis pikir mengapa ada keluarga seperti itu?
Mungkin bisa dibenarkan semua sikap mereka karena rasa kecewa terhadap anak mereka. Namun adakah hati orang tua sekeras itu, membiarkan anaknya sendiri dalam kesusahan?
Salmah berdiri lesu di ambang pintu rumahnya yang reot. Terlihat Sang Ayah sedang menuntun ibunya keluar dari rumah reot mereka itu.
"Salmah, dari mana saja kamu nak?" ujar Pak Zainal melihat pada wajah putri bungsunya.
"Dari rumah Nenek Ayah."
Winda langsung menegakkan kepalanya. Menatap Salmah penuh marah.
"Apa yang kau harapkan di rumah itu, Salmah? sudah berapa kali Ibu melarangmu? lupakan mereka! anggap kita tidak punya keluarga di sini."
"Tapi, Bu. Ibu sedang membutuhkan biaya untuk berobat."
"Salmah, apa kamu tidak mencintai Ayahmu? apa kamu akan melukai hatinya dan pergi merendahkan harga dirinya di depan keluarga yang tidak menyukai Ayahmu ini?"
Air mata Winda berlinang. Ia terkulai lemah dalam dekapan suami yang selama ini sudah menjadi nahkoda dalam mengarungi samudera rumah tangga.
Meskipun Zainal tidak kaya seperti yang diharapkan orang tua Winda. Meskipun hidupnya dalam garis kemiskinan, namun Winda tidak pernah menyesal menikah dengan Zainal.
Bahkan ia sangat bahagia, karena Zainal selalu memperlakukan dia dengan baik dan lemah lembut.
"Sudah, Buk. Jangan marah, kamu lagi tidak sehat."
Zainal mencoba meredam amarah sang istri. Meskipun ia selalu tersakiti oleh keluarga Winda, tidak sedikit pun ia ingin menaruh dendam di hati. Menurutnya itu hanya akan membuat dirinya sendiri tidak tenang. Ia hanya mencoba mengikhlaskan semuanya kepada Sang maha kuasa.
"Maafkan Salmah, Ibu! Salmah hanya sangat khawatir dengan kondisi Ibu." Salmah meremas jari-jari tangannya dan menundukkan kepalanya, ada penyesalan di dalam hatinya saat ini.
"Ya sudah, kita bawa Ibumu ke puskesmas sekarang!"
Zainal menggendong Winda hati-hati. Berjalan setapak demi setapak menuju puskesmas terdekat. Salmah pun mengekori langkah sang Ayah dari belakang.
Setibanya di puskesmas, Winda langsung diperiksa.
Seorang Dokter muda lagi tampan yang kini memeriksa Winda saat ini. Di sampingnya pun terdapat beberapa orang Dokter muda juga.
"Apa keluhannya, Ibu?" tanya sang Dokter.
"Badan saya lemas sekali Dokter, terus dada saya sakit sekali." jawab Winda sambil terbatuk-batuk.
"Mari silahkan, Ibu berbaring dulu ya!"
Stetoskop ditempelkan pada bagian dada Winda. Tensimeter pun juga di tangannya.
"Banyak bawa istirahat ya, Bu! dan ini obatnya. Bila setelah ini belum ada perubahan, bawa kembali ke sini." ucap sang Dokter muda dengan tersenyum ramah.
*****
Sore hari yang begitu indah. Rona langit mengukir bagaikan curahan tinta sang seniman.
Angin sepoi-sepoi menambah suasana nyaman saat ini.
Jhondra Mahardika, seorang Dokter muda, berparas tampan nan menggoda siapa saja lawan jenisnya yang menatap.
Dia dan dua temannya yang lain sedang menjalani internship selama sembilan bulan di sebuah desa.
Bertugas di sebuah puskesmas sebelum ia benar-benar dilepas untuk melakukan tugas Dokternya tanpa pengawasan dari Dokter senior.
Sore ini Jhondra sedang memetik tali gitarnya. Melantunkan lagu-lagu bersama kedua temannya.
Salmah lewat dengan menundukkan kepalanya karena merasa sungkan melewati rumah kost Jhondra.
Evan yang mengenakan kaos dan celana pendek sedang menepuk pahanya sendiri, mengikuti alunan suara gitar Jhondra langsung menghentikan aktivitasnya.
"Sore, Neng," sapa Evan ramah terhadap Salmah.
Sekilas Salmah melirik arah suara itu dan tersenyum kaku lalu menundukkan kepalanya kembali seraya melangkah menuju masjid. Ia sangat pemalu terlebih lagi kurang percaya diri. Bullying yang kerap ia terima dari teman-temannya juga keluarganya sendiri membuat rasa percaya diri itu memudar. Ia seakan tidak pantas bergaul, atau pun memiliki kehidupan.
Seburuk itulah dampak bullying bagi Salmah.
Salmah mengisi harinya selalu menyendiri tanpa merasakan perasaan seperti yang dirasakan oleh remaja lazimnya.
Untuk mengisi kekosongan harinya itu, setiap sore sebelum masuk waktu magrib, Salmah mengajari anak-anak desa mengaji dengan tanpa imbalan. Karena ia sangat senang melakukannya.
"Shodaqollahul Adzim"
Salmah menyudahi mengaji sore ini, karena waktu magrib telah tiba.
Anak-anak berhamburan berlarian keluar masjid untuk mengambil wudhu. Begitu pula dengan Salmah.
"Eh, Neng, yang tadi bukan?" sapa Evan saat berpapasan dengan Salmah di depan tempat berwudhu.
Salmah hanya tersenyum kaku dan menganggukkan sedikit kepalanya.
"Neng, Ibunya yang berobat kemarin bukan?" tanya Evan lagi.
"Iya,"
Kali ini Salmah menatap serius pada Evan.
"Kenalkan saya Dokter Evan, dan ini Dokter Jhondra dan yang ini Dokter Gavin." Evan menunjukkan kedua temannya dan memperkenalkan mereka kepada Salmah.
"Bagaimana keadaan Ibunya? sudah mendingan?" tanya Evan lagi.
Salmah kemudian tersadar selama itu Evan berbicara, selama itu pula ia memperhatikannya.
Lalu buru-buru ia kembali menunduk.
"Alhamdulillah sudah mendingan, Dokter," jawab Salmah.
"Alhamdulillah. Rumah Neng yang sebelum rumah kost itu kan?"
"Iya, Dokter."
"Wah, berarti kita bertetangga."
Suara adzan pun berkumandang Salmah permisi dari sana untuk mengambil wudhu yang sempat tertunda.
Saat mereka sedang berwudhu, Jhondra mengatakan kepada Evan, jangan kegenitan. Harus menjaga wibawa karena mereka adalah Dokter.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.