/0/5189/coverbig.jpg?v=5437974d142862a1ecc782cb9d938a8a)
Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.
Wajah langit malam itu, entah kenapa begitu terasa kelu. Ada riak-riak kesal mengentak, ada bulir-bulir sesal mengalir tak henti, pun ada gelegak murka yang kian tak tertahan.
Andai saja kumiliki dua hati atau mungkin dua jiwa, maka tidak mustahil yang satunya lagi akan kuhabisi tanpa ampun. Karena rasa nyeri ini, terlalu banyak mengambil dari apa yang pernah ada dalam diriku.
Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.
Hari itu....
"Wike itu siapa, Mi? Terus kenapa Umi maksa banget? Apa ada satu hal saja yang pantas Abi pertimbangkan tentangnya? Selain hanya karena usianya yang terlalu terlambat untuk mendapatkan jodoh dengan cara biasa?"
Dengan raut wajah teduh, Kang Zayyin mengajakku bicara. Entah mungkin karena ia lelah menanggapi ocehanku tentang menikah lagi atau memang hidayah sudah tiba dan membuka pintu nalarnya.
"Abi betul. Memang harusnya Abi tau salah satu penyebab dari kengototan Umi kali ini. Hingga gak berkesan bahwa apa yang diminta Umi itu hanyalah buah pikiran yang sifatnya selintas aja. Pikiran orang picik yang nggak ada nilai."
"Iya. Abi harap begitu."
"Bi, Teh Wike itu selain pernah menjadi guru ngajinya Umi, beliau juga masih ada ikatan saudara dengan Umi dari pihak Abah. Ayahnya beliau, adalah salah satu ulama yang begitu disegani. Hingga Umi pikir, jika Abi bisa menjadi qawwam untuknya, maka kehadiran keturunan kalian nanti pasti akan sangat dibutuhkan masyarakat. Keturunan ulama, Bi. Itulah yang sejatinya paling menggoda hati Umi untuk menolongnya. Eh, bukan menolong mungkin, ya. Tapi saling bekerja sama."
"Abi mau tanya satu hal sama Umi."
"Aih, Abiiii. Boleh, dong!" Aku menyeru seraya menjawil pipinya jahil. Biasanya priaku itu akan tersenyum malu-malu saat kukerjai seperti itu.
"Jujur, sampai kapan pun hati Abi akan terpaut sama Umi. Umi di mata Abi adalah segalanya. Tapi, Abi nggak mau bersikap kejam kepada perempuan lain hanya gara-gara hal itu. Egois namanya kalau Abi bertahan dengan bersikukuh merawat perasaan diantara kita sementara orang yang baru datang Abi biarkan begitu saja. Abi nggak mau dzalim."
"Ma-maksudnya?"
"Apa Umi ngijinin Abi memperlakukannya sama seperti perlakuan Abi ke Umi? Apa Umi ngijinin Abi bersikap selayaknya seorang suami terhadapnya? Yang artinya akan datang kesempatan untuk kami menjadi dekat, atau bahkan jauh lebih dekat dari keadaan kita saat ini?"
"Umi ngijinin," balasku cepat.
"Mi?!"
"Udah, ya, Bi. Kalau Abi pikir dengan kata-kata yang memanas-manasi seperti itu tekad Umi luluh, Abi salah."
"Baiklah. Ikhtiar Abi untuk mengingatkan rasanya sudah lebih dari cukup. Mangga, Abi setuju. Tentu dengan segala konsekwensi yang harus ditanggung berdua. Suka mau pun dukanya."
***
Meski namaku Marwah, orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Umi Nay.
Saat ditakdirkan memiliki suami yang akhlaknya sebaik Kang Zayyin, sebenarnya sedikit pun aku tak bermimpi untuk membaginya dengan perempuan lain. Apalagi dengan cara aku sendiri yang memilih dan memintanya. Ah, ya, tepatnya bukan meminta, akan tetapi memaksanya.
"Please, Mi. Jangan aneh-aneh. Abi nggak minat sama sekali, lho dengan usulan Umi itu," ucapnya tempo hari.
"Diniatkan menolong saja, Bi. Insya Allah barakah," gumamku manja.
"Menolong ada adabnya juga, Mi. Masa dengan menyakiti hati istri? Impossible banget itu!"
"Siapa bilang Umi sakit hati? Ini kan usulan Umi. Jelas udah Umi pikirin baik-baik atuh. Abi harus yakin, kalau istri Abi yang secantik bidadarinya di surga nanti itu, hatinya sudah termanage dengan sangat baik. Insya Allah nggak akan ada yang namanya cemburu atau marah. Justru Umi akan bantu Abi sebaik mungkin untuk bersifat adil."
***
"Hallo, iya, iya, Bu. Abi segera ke sana. Sabar, ya."
Suara keras Kang Zayyin yang tengah berbicara di telepon, bagai menamparku kembali dengan kenyataan.
Tak lama, pria itu menoleh padaku. Matanya seperti memohon pengertianku.
"Pergilah, Bi. Mungkin Faqih demam lagi atau mencret lagi. Atau mungkin rumah kalian mendadak didatangi tamu angin topan hingga segala yang ada di sana habis terbawa angin. Dan istrimu butuh dewa kebaikan yang menjelma pada dirimu."
Dengan air mata berlinang, aku menelungkup di kasur, usai bicara tadi. Kemudian membenamkan wajah di bantal. Andai berani, mungkin jalan kematian sudah sejak kemarin aku ambil.
"Mi, jangan seperti ini dong. Abi jadi nggak enak. Abi ngerasa bersalah terus. Bukankah keadaan berubah menjadi seperti ini juga karena keputusanmu yang gegabah itu?"
"Udahlah, Bi. Apa pun yang orang lain katakan jika memang pada dasarnya Abi tengah dibutakan ya buta saja."
"Abi buta karena apa Mi? Karena apa?" Mulai sedikit terpancing, pria yang kini bertampang kusut itu bicara dengan nada tinggi.
"Karena cinta, Bi. Iya kan?" balasku parau.
"Nggak, Mi. Abi nggak mungkin bisa mengkhianati Umi. Saat ini Abi hadir lebih banyak di sana hanya karena sebuah tanggung jawab saja, Mi. Tanggung jawab sama Faqih."
"Really?" Lalu dengan renyah tawaku berderai. Kini posisiku duduk di bibir kasur dengan tangan menyilang di dada.
"Istighfar, Mi!"
"Abi jangan cemaskan Umi, key. Isi kepala Umi masih cukup waras, iman juga masih tetep tertanam dalam dada. Mungkin Abilah yang jauh lebih membutuhkan waktu untuk merenung kembali serta bermuhasabah. Merenungi kenapa keluarga kita menjadi semrawut begini rupa. Padahal niatan Umi di awal itu baik. Umi hanya ingin perempuan lain yang kesulitan mendapatkan jodoh bisa merasakan indahnya berumah tangga. Tapi tidak dengan merenggut semua yang pada awalnya begitu indah kita miliki."
"Mi? Wike nggak merebut apa pun dari Umi. Wike hanya mendapatkan apa yang selayaknya dia dapatkan."
Mendengar hal itu, rasa nyeri bagai enggan permisi dulu. Ia mendesak-desak masuk ke dalam sanubari serta mulai mengaburkan nyaris semua akal budi yang selama ini senantiasa kupelihara.
"Boleh Umi nanya?" Tanyaku dengan menahan segumpal geram.
"Iya."
Apakah sekarang perasaan Abi terhadap Umi masih tetap sama seperti dulu seperti sebelum perempuan itu hadir atau hanya rasa kesal saja yang mendominasi?"
Alih-alih menjawab, pria itu malah mendekat dan duduk menyimpuh di pangkuanku.
Entah berapa lama kebekuan hadir menjadi pelengkap pertengkaran kami saat itu.
Sampai suara notifikasi pesan berbunyi dan seperti membangunkan Kang Zayyin dari tidurnya.
"Mi, A-Abi, ...."
"Pergilah, Bi. Doakan Umi kuat, doakan Umi sama Nay tetap memiliki prasangka baik pada Abi."
"Abi pamit, Mi." Abinya Kanaya pun berlalu setelah mencium dahiku sekilas.
Ah, pria. Terbuat dari apakah hati kalian. Hingga tak bisa memahami sedikit pun bahasa-bahasa yang disampaikan belahan jiwamu.
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Cerita bermula, ketika Adam harus mengambil keputusan tinggal untuk sementara di rumah orang tuanya, berhubung Adam baru saja di PHK dari tempat ia bekerja sebelumnya. "Dek, kalau misalnya dek Ayu mau pergi, ngga papa kok. " "Mas, bagaimanapun keadaan kamu, aku akan tetap sama mas, jadi kemanapun mas pergi, Aku akan ikut !" jawab Ayu tegas, namun dengan nada yang membuat hati kecil Adam begitu terenyuh.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.