Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Usai Dimadu
Usai Dimadu

Usai Dimadu

5.0
41 Bab
1.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.

Bab 1 Sesal

Wajah langit malam itu, entah kenapa begitu terasa kelu. Ada riak-riak kesal mengentak, ada bulir-bulir sesal mengalir tak henti, pun ada gelegak murka yang kian tak tertahan.

Andai saja kumiliki dua hati atau mungkin dua jiwa, maka tidak mustahil yang satunya lagi akan kuhabisi tanpa ampun. Karena rasa nyeri ini, terlalu banyak mengambil dari apa yang pernah ada dalam diriku.

Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.

Hari itu....

"Wike itu siapa, Mi? Terus kenapa Umi maksa banget? Apa ada satu hal saja yang pantas Abi pertimbangkan tentangnya? Selain hanya karena usianya yang terlalu terlambat untuk mendapatkan jodoh dengan cara biasa?"

Dengan raut wajah teduh, Kang Zayyin mengajakku bicara. Entah mungkin karena ia lelah menanggapi ocehanku tentang menikah lagi atau memang hidayah sudah tiba dan membuka pintu nalarnya.

"Abi betul. Memang harusnya Abi tau salah satu penyebab dari kengototan Umi kali ini. Hingga gak berkesan bahwa apa yang diminta Umi itu hanyalah buah pikiran yang sifatnya selintas aja. Pikiran orang picik yang nggak ada nilai."

"Iya. Abi harap begitu."

"Bi, Teh Wike itu selain pernah menjadi guru ngajinya Umi, beliau juga masih ada ikatan saudara dengan Umi dari pihak Abah. Ayahnya beliau, adalah salah satu ulama yang begitu disegani. Hingga Umi pikir, jika Abi bisa menjadi qawwam untuknya, maka kehadiran keturunan kalian nanti pasti akan sangat dibutuhkan masyarakat. Keturunan ulama, Bi. Itulah yang sejatinya paling menggoda hati Umi untuk menolongnya. Eh, bukan menolong mungkin, ya. Tapi saling bekerja sama."

"Abi mau tanya satu hal sama Umi."

"Aih, Abiiii. Boleh, dong!" Aku menyeru seraya menjawil pipinya jahil. Biasanya priaku itu akan tersenyum malu-malu saat kukerjai seperti itu.

"Jujur, sampai kapan pun hati Abi akan terpaut sama Umi. Umi di mata Abi adalah segalanya. Tapi, Abi nggak mau bersikap kejam kepada perempuan lain hanya gara-gara hal itu. Egois namanya kalau Abi bertahan dengan bersikukuh merawat perasaan diantara kita sementara orang yang baru datang Abi biarkan begitu saja. Abi nggak mau dzalim."

"Ma-maksudnya?"

"Apa Umi ngijinin Abi memperlakukannya sama seperti perlakuan Abi ke Umi? Apa Umi ngijinin Abi bersikap selayaknya seorang suami terhadapnya? Yang artinya akan datang kesempatan untuk kami menjadi dekat, atau bahkan jauh lebih dekat dari keadaan kita saat ini?"

"Umi ngijinin," balasku cepat.

"Mi?!"

"Udah, ya, Bi. Kalau Abi pikir dengan kata-kata yang memanas-manasi seperti itu tekad Umi luluh, Abi salah."

"Baiklah. Ikhtiar Abi untuk mengingatkan rasanya sudah lebih dari cukup. Mangga, Abi setuju. Tentu dengan segala konsekwensi yang harus ditanggung berdua. Suka mau pun dukanya."

***

Meski namaku Marwah, orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Umi Nay.

Saat ditakdirkan memiliki suami yang akhlaknya sebaik Kang Zayyin, sebenarnya sedikit pun aku tak bermimpi untuk membaginya dengan perempuan lain. Apalagi dengan cara aku sendiri yang memilih dan memintanya. Ah, ya, tepatnya bukan meminta, akan tetapi memaksanya.

"Please, Mi. Jangan aneh-aneh. Abi nggak minat sama sekali, lho dengan usulan Umi itu," ucapnya tempo hari.

"Diniatkan menolong saja, Bi. Insya Allah barakah," gumamku manja.

"Menolong ada adabnya juga, Mi. Masa dengan menyakiti hati istri? Impossible banget itu!"

"Siapa bilang Umi sakit hati? Ini kan usulan Umi. Jelas udah Umi pikirin baik-baik atuh. Abi harus yakin, kalau istri Abi yang secantik bidadarinya di surga nanti itu, hatinya sudah termanage dengan sangat baik. Insya Allah nggak akan ada yang namanya cemburu atau marah. Justru Umi akan bantu Abi sebaik mungkin untuk bersifat adil."

***

"Hallo, iya, iya, Bu. Abi segera ke sana. Sabar, ya."

Suara keras Kang Zayyin yang tengah berbicara di telepon, bagai menamparku kembali dengan kenyataan.

Tak lama, pria itu menoleh padaku. Matanya seperti memohon pengertianku.

"Pergilah, Bi. Mungkin Faqih demam lagi atau mencret lagi. Atau mungkin rumah kalian mendadak didatangi tamu angin topan hingga segala yang ada di sana habis terbawa angin. Dan istrimu butuh dewa kebaikan yang menjelma pada dirimu."

Dengan air mata berlinang, aku menelungkup di kasur, usai bicara tadi. Kemudian membenamkan wajah di bantal. Andai berani, mungkin jalan kematian sudah sejak kemarin aku ambil.

"Mi, jangan seperti ini dong. Abi jadi nggak enak. Abi ngerasa bersalah terus. Bukankah keadaan berubah menjadi seperti ini juga karena keputusanmu yang gegabah itu?"

"Udahlah, Bi. Apa pun yang orang lain katakan jika memang pada dasarnya Abi tengah dibutakan ya buta saja."

"Abi buta karena apa Mi? Karena apa?" Mulai sedikit terpancing, pria yang kini bertampang kusut itu bicara dengan nada tinggi.

"Karena cinta, Bi. Iya kan?" balasku parau.

"Nggak, Mi. Abi nggak mungkin bisa mengkhianati Umi. Saat ini Abi hadir lebih banyak di sana hanya karena sebuah tanggung jawab saja, Mi. Tanggung jawab sama Faqih."

"Really?" Lalu dengan renyah tawaku berderai. Kini posisiku duduk di bibir kasur dengan tangan menyilang di dada.

"Istighfar, Mi!"

"Abi jangan cemaskan Umi, key. Isi kepala Umi masih cukup waras, iman juga masih tetep tertanam dalam dada. Mungkin Abilah yang jauh lebih membutuhkan waktu untuk merenung kembali serta bermuhasabah. Merenungi kenapa keluarga kita menjadi semrawut begini rupa. Padahal niatan Umi di awal itu baik. Umi hanya ingin perempuan lain yang kesulitan mendapatkan jodoh bisa merasakan indahnya berumah tangga. Tapi tidak dengan merenggut semua yang pada awalnya begitu indah kita miliki."

"Mi? Wike nggak merebut apa pun dari Umi. Wike hanya mendapatkan apa yang selayaknya dia dapatkan."

Mendengar hal itu, rasa nyeri bagai enggan permisi dulu. Ia mendesak-desak masuk ke dalam sanubari serta mulai mengaburkan nyaris semua akal budi yang selama ini senantiasa kupelihara.

"Boleh Umi nanya?" Tanyaku dengan menahan segumpal geram.

"Iya."

Apakah sekarang perasaan Abi terhadap Umi masih tetap sama seperti dulu seperti sebelum perempuan itu hadir atau hanya rasa kesal saja yang mendominasi?"

Alih-alih menjawab, pria itu malah mendekat dan duduk menyimpuh di pangkuanku.

Entah berapa lama kebekuan hadir menjadi pelengkap pertengkaran kami saat itu.

Sampai suara notifikasi pesan berbunyi dan seperti membangunkan Kang Zayyin dari tidurnya.

"Mi, A-Abi, ...."

"Pergilah, Bi. Doakan Umi kuat, doakan Umi sama Nay tetap memiliki prasangka baik pada Abi."

"Abi pamit, Mi." Abinya Kanaya pun berlalu setelah mencium dahiku sekilas.

Ah, pria. Terbuat dari apakah hati kalian. Hingga tak bisa memahami sedikit pun bahasa-bahasa yang disampaikan belahan jiwamu.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 41 Salah yang Fatal   01-21 17:37
img
1 Bab 1 Sesal
01/04/2022
5 Bab 5 Teka-teki Wike
02/04/2022
7 Bab 7 Bismillah Aja
02/04/2022
9 Bab 9 Berdamai
02/04/2022
11 Bab 11 Berdebar-debar
10/06/2022
13 Bab 13 Rela
10/06/2022
20 Bab 20 Tersipu-sipu
11/06/2022
21 Bab 21 Dua Wajah
12/06/2022
27 Bab 27 Hampa
12/06/2022
30 Bab 30 Fatamorgana
14/06/2022
31 Bab 31 Pelipur Lara
14/06/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY