"Gila lu, ngapain ikutin gue? Pergi nggak, gue ceburin ke empang baru tahu rasa!" decak Adrian. "Ampun ... gue cuma ingetin lu doang. Dia makhluk astral, beda ama kite," sanggah Wandi. "Elehh, lu mau merebutnya dari gue, kan? Ngaku nggak lu?" desis Adrian semakin kesal. "Sumpeh, Brow kagak!" Persahabatan bagai kepompong Andrian dan Wandi merenggang lantaran seorang gadis aneh tapi nyata bernama Hesta. Gadis yang terlihat cantik paripurna di mata Adrian namun, menakutkan bagi Wandi. Peristiwa buruk sering terjadi semenjak kehadiran Hesta. Semua berawal dari pohon beringin, yang sempat Adrian dan Wandi sambangi. Ada apa dengan pohon beringin tersebut? Mampukah Wandi menyadarkan Adrian atas cinta konyolnya? Bagaimana kisah sejoli Adrian dan Hesta? Dapatkah mereka bersatu di tengah misteri yang membelenggu keduanya?
Dua anak ABG sedang berkendara sepeda motor sambil berbincang, menyusuri jalan raya Tawangmangu Karang Anyar. Jalan yang setiap hari mereka lewati saat pergi ke sekolah, Adrian dan Wandi.
"Brow, lu tadi denger nggak? Ada suara desahan di rumahku?"
"Kagak, jangan bilang itu bapak ama emak lu? Udah konslet otak lu Wandi."
Citt ... suara bunyi ban sepeda motor mereka berderit. Dua anak laki-laki yang berumur enam belas tahun turun dari sepeda motor dan menuntunnya di bawah pohon beringin yang sangat besar. Terlihat dari raut wajah mereka nampak segar oleh sapuan udara pagi yang masih sejuk. Tempat yang sunyi dan sepi seolah tempat tersebut tidak terjamah, membuat bulu kuduk berdiri. Ada aura mencekam yang tiba-tiba menyeruak membuat kedua pemuda tersebut saling pandang, seram.
"Dingin sekali pagi ini," kata Adrian sambil memegang setir sepeda motor bututnya di tepi jalan raya yang masih sepi. Mereka berhenti di bawah pohon beringin yang sangat besar. Adrian dan Wandi, nama kedua anak itu, yang kemudian melihat sekeliling tampak banyak sekali kotoran burung di tanah. Mata Adrian yang membonceng melotot tangannya menekan hidungnya yang mancung kecoklatan.
"Duduk saja sini, enggak panas! Lagian masih pagi ngapain kita di sini? Kurang kerjaan aja," sahut Wandi yang turun dan duduk di bawah pohon tanpa melihat kondisi tempatnya duduk. Matanya menatap sekeliling yang sepi tanpa seorang pun lewat. Berkali- kali mata sipit itu mengerjap dan tangannya mengusap kepala.
"Woi, lu gak liat tuh ....!" ucap Adrian sambil tangannya menunjuk ke arah tanah di sekitar Wandi yang terlihat banyak kotoran burung yang sudah kering.
"Napa?" tanya Wandi yang masih asyik menyibakkan rambutnya yang keriting sedikit basah. Tangannya mulai menggaris kepalanya berkali-kali merapikan yang ada di atasnya.
"Astaga, nih anak kagak liat yang lu pakai duduk? Wan, Wan, lu jadi anak polos amat ya!" ucap Adrian tanpa melihat ke arah temannya yang masih sibuk dengan sisiran tangan di kepalanya.
Tiba-tiba ... plukk ...
"Pff ... wuekkk ... apa-an nih?"
Wandi tiba-tiba menurunkan tangannya, melihat telapak tangannya dan mencium. Dia meludah dan kepalanya menggeleng kencang dengan mimik wajah mengerut.
"Hahaha ... lu napa? Ada kotoran? Hahaha ... rasain lu, dari tadi gue bilangin kagak denger. Noh, liat atas lu! Ada penghuninya, hahaha ...." Tangan Adrian memegangi perut dan tertawa terpingkal-pingkal. Sementara Wandi dengan wajah masam berdiri berjalan menjauh dari Adrian dan mencari daun yang basah. Setelah menemukan, dengan cepat tangan Wandi yang sudah basah mengusap kepalanya dengan kasar.
"Wuekk ... cuihh ... aduh, gimana nih Yan? Kog kagak ilang baunya? Tolongin guee ....!"
Wandi mendekati Adrian yang masih menertawakan dirinya. Namun naas, Adrian semakin menjauh darinya. Bukan Adrian, jika tidak jahil dengan Wandi temannya yang sudah dianggap sebagai saudara. Mereka selalu bersama-sama hampir setiap saat dari mulai kecil. Teman sepermainan yang sama-sama anak semata wayang. Wandi bertetangga dengan Adrian, mereka kerap menginap di rumah bergantian jika kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Wandi anak penakut, dan sering di buli teman-temannya. Berkat Adrian yang pemberani dan kelewat pe-denya, Wandi merasa bisa hidup dengan tenang di samping temannya itu. Meskipun Adrian sering kali menjahilinya, namun dia juga melindungi Wandi jika ada masalah dengan temannya yang lain.
"Napa, mo gue tambahin lagi kotorannya? Hahaha ... Wan, Wan, sonoh! Jangan deketin gue! Awas lu ya!"
Wandi yang mulanya berjalan dengan jarak hanya beberapa meter akhirnya berhenti, dan menatap Adrian dengan mata berair. Mulai akan jatuh, air yang dari tadi menggantung di pelupuk matanya. Sedangkan Adrian dengan santainya melangkah pergi dari tempat itu dan berjalan masuk ke dalam hutan. Dia tidak memperdulikan Wandi yang terus saja menatap kepergiannya dari tempa itu.
Adrian, anak bengal yang selalu bikin ulah di mana-mana. Dia sering membuat kesal Wandi, karena temannya itu sering bertindak konyol dan takut dia tinggalkan. Adrian sendiri tidak pernah merasa terbebani ketika Wandi sering kali membuntuti kemana saja dia pergi. Bahkan Adrian rela mengeluarkan uang demi temannya itu, karena memang ekonomi kedua orang tua Wandi sangat jauh dari kata cukup. Rasa kasihan Adrian meskipun sering dibilang anak bengal oleh banyak teman sekolahnya, tidak membuat Adrian sakit hati, cuek tanpa ingin dipuji oleh siapa pun.
Mata Wandi tiba-tiba membola hendak keluar, melihat Adrian kembali membawa air di dalam kantong plastik. Bibirnya yang hitam tebal merekah dan menapakkan giginya yang putih kusam belum terkena pasta gigi pagi. Tubuhnya yang lebih kecil dari Adrian terduduk di tanah yang masih basah oleh embun. Bahkan mulutnya tidak juga menutup saat temannya sudah berada di sampingnya.
"Mulut lu ditutup napa? Bau tuh, kagak sedap-sedapnya lu Wan," ucap Adrian sambil mengulurkan air yang ada di kantog plastik sambil menutup hidung dengan tangan kanannya.
Bukan menerima air, tapi Wadi mberusaha mendekati Adrian dan memeluk teman sekaligus sahabatnya itu dengan kencang. Hal itu membuat Adrian kaget dan balik mendorong tubuh kecil itu hingga terjatuh ke tanah. Brukk ....
"Aduh."
Wandi memegang pantat dan mengelusnya sambil meringis. Dia sudah terbiasa sengan kelakuan Adrain yang seenak jidatnya. Dengan berani dia peluk temannya untuk mencari sekutu merasakan bau yang sama dengannya. Akibatnya Adrian marah dan berteriak.
"Woii, lu kira gue apa-an? Gay?"
Adrian mengancam akan meninggalkan wandi, meskipun itu hanya dalam cadaan. Dasar Wandi, dia ketakutan saat ucapan itu keluar dari bibir temannya. Membuat Adrian tertawa sambil menepuk jidat.
"Dasar, kapan gue ninggalin elu? Sampai ujung dunia juga lu tetap buntutin gue. Udah cepetan bersihin itu!! Gue dah laper nih, lu mau makan kagak?"
Adrian duduk di atas sepeda motornya menunggu Wandi yang sedang sibuk membersihkan kotoran burung yang terjatuh di kepalanya. Dua orang anak yang terlihat jauh secara fisik. Adrian tampan dan bertubuh kekar, sedangkan Wandi bertubuh kecil dan terlihat kurus seperti kurang makan. Hal ini lah yang sering menjadi bahan cemo'ohan teman-temannya. Dan Adrian selalu di depannya menolong Wandi jika sudah mulai terdesak dibuli oleh temannya.
Beberapa saat Wandi selesai membersihkan kotoran burung, Adrian segera menyalakan sepeda motornya. Sepeda motor Honda CB yang masih bagus dan terlihat terawat. Adrian memang rajin membersihkan dan mengutak- atik sepeda motor kesayangannya itu. Meskipun bisa minta di belikan yang baru dan lebih bergaya, namun tidak dilakukannya. Dia anak yang sederhana tanpa pernah memamerkan kekayaan kedua orang tuanya.
Namun seseorang memanggilnya hingga Adrian mematikan mesin motor itu.
"Hai, kalian!" terdengar suara kakek memanggil. Keduanya melihat sekeliling dan terpaku pada sosok kakek yang muncul dari belakang pohon beringin yang seiring daun-daun berjatuhan, rontok tersapu angin.
"Kakek panggil kami?" tanya Adrian menyenggol Wandi agar meberi isyarat supaya turun dari motornya.
"Siapa lagi yang ada di sini? Mau apa kalian pagi- pagi ribut di tempat ini? Pergi cepat ...!"
Kakek yang saat ini bicara menatap dengan pandangan tajam ke arah Adrian dan Wandi. Tubuhnya yang hanya berbalut kaos putih singlet dan celana kolor selutut, tampak sedikit membungkuk. Tidak ada yang istimewa darinya, hanya suaranya yang terdengar keras membuat dua anak terlihat saling memandang dan bergegas kembali naik ke sepeda motornya.
"I- iya Kek, kami akan pergi. Jangan khawatir!" ucap Adrian sambil mencubit Wandi yang masih terdiam melihat kedatangan kakek yang tiba-tiba itu.
"Awas ya, jangan sampai kalian datang lagi dan buat keributan di tempat ini! Kalian bisa rasakan akibatnya jika bandel!" ucap kakek dan tetap menatap tajam ke arah Adrian dan Wandi.
Akhirnya keduanya kembali naik sepeda motor milik Adrian dan bergegas menancapkan gas dengan cepat pergi dari tempa itu. Hawa pagi yang sangat dingin membuat keduanya menggigil dan saling memeluk di atas sepeda yang melaju kencang menembus jalan raya yang masih sepi.
"Kabur ...!"
Kiara seorang gadis yang baru saja lulus sekolah, harus menjadi istri ketiga dari seorang CEO bernama Andra. Hasrat hidup Kiara yang besar, ingin menjadi gadis yang baik pupus sudah. Beberapa hari menjadi istri Andra membuatnya menahan siksaan gairah yang muncul di dalam dirinya. Andra yang semula hanya menginginkan Kiara mengandung anaknya, kini menuntut lebih kepada gadis itu untuk menjadi istrinya secara utuh. Sementara Mimi, istri pertamanya, tidak terima Kiara menjadi sosok yang disayang oleh Andra. Mimi berusaha memisahkan mereka dengan segala cara, agar keduanya dapat terpisah. Mimi meminta bantuan teman Kiara yang dulu pernah dekat dengan gadis itu. Hasrat di dalam tubuh Kiara yang jarang tersentuh Andra, membuat usaha Mimi semakin lancar. Akankah Andra dan Kiara dapat bersatu? Ataukah akan berpisah selamanya?
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
Cerita Khusus Dewasa... Banyak sekali adegan panas di konten ini. Mohon Bijak dalam Membaca. Basah, Tegang, bukan Tanggung Jawab Autor. Menceritakan seorang pria tampan, bekerja sebagai sopir, hingga akhirnya, seorang majikan dan anaknya terlibat perang diatas ranjang.