Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Jadi Istri Kedua Sang Ceo
Jadi Istri Kedua Sang Ceo

Jadi Istri Kedua Sang Ceo

4.3
103 Bab
374 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Akhir dari jodoh dengan sang kekasih telah membuatnya putus asa, di hadapan mayat yang tak lagi bernyawa itu. Menangis dan berteriak pun tak mungkin mengembalikan tubuh sang kekasih. Putus asa, satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Lania Herbert. Itu semua terjadi, hanya karena sang kekasih bernama Fero ingin menyelamatkannya dari kecelakaan. Merasa bersalah, dan tak lagi punya apa-apa. Lania memutuskan untuk menabrakkan diri pada mobil. Namun, itulah awal dari kehidupannya di dunia dengan penuh perjuangan yang lebih berat dari sebelumnya. Dia menjadi istri kedua seorang CEO, di dunia yang hancur karena Sarang monster yang disebut Dungeon.

Bab 1 Hancur

Lania Herbert POVS

"Selamat tinggal Lania, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Aku malu mengungkapkannya, tapi ... aku mencintaimu!" kalimat yang aku tunggu agar bisa terucap dari bibir pria yang menjadi cahaya hidupku ini telah terwujud.Terpaku tanpa bisa berucap.

Mendengar kalimat itu, hatiku serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, siapa yang tak bahagia, saat kalimat seperti itu terucap dari seseorang yang disukai? Semua terasa bagai mimpi. Seperti kesadaran kembali. Aku membalas; "Fer, a ..." belum sempat terucap, kedua tangannya langsung mendorong tubuhku ke pinggir jalan.

Jariku berusaha menggapainya. Tapi tak bisa! Tanganku terlalu pendek!Hanya ada satu pertanyaan di benakku. Kenapa dia melakukannya? Begitu melihat ekspresinya. Matanya menyipit, dengan sudut mata dipenuhi cairan bening yang siap untuk mengalir.

Tangannya melambai, seakan mengucapkan perpisahan.Tunggu?! Perpisahan? Aku kembali teringat ucapannya tadi. Selamat tinggal. Waktu terasa berhenti dan lambat. Namun kembali berlalu dengan cepat. Sangat-sangat cepat. Hingga aku tak sadar.Tiada waktu berlalu lama.

Suara klakson mobil terdengar. kemudian, menghempas tubuhnya dengan satu kedipan mata. Mataku terbelalak. Tubuhku tak mampu merespon, bahkan untuk bergerak saja tak bisa.

Sepercik rasa ngilu dan sakit merayap masuk memenuhi sudut hati. Teriakan orang-orang di sekitar mulai membuatku sadar. Melihat ke arah sekeliling. Banyak orang mengerumuniku. Aku sadar, jika saat ini sedang terbaring di pinggir jalan akibat dorongannya.

Mataku kembali membola dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca. Pikiranku saat ini hanya ada satu. Fero! "Nak? Apa kamu tak apa?" Pertanyaan demi pertanyaan tak aku pedulikan. Tubuhku berusaha bangkit. "Fero!" seruku pelan. Tubuhku sakit. Tapi ini belum seberapa dengan apa yang Faro alami! Tuhan, jika kau ada, kabulkanlah harapanku.

Aku rela tersiksa di bawah tekananmu, aku rela menjalani takdir penuh darah darimu. Tapi jangan ambil Fero dariku! Kumohon! Hanya itu. Begitu aku bangkit dan berdiri dengan kedua kaki. Aku mulai melangkah.

Ke tempat banyak orang berkerumun. Fero-Fero-Fero dan Fero. Hanya itu yang penuh di dalam pikiranku saat ini. Aku berharap kamu selamat. Tanganku mengepal. Langkahku semakin cepat menuju keberadaannya. Aku menyingirkan orang-orang dan berusaha mencari jalan untuk bertemu dengannya. Sampai di tempat paling depan. Seluruh tubuhku bergetar. Gravitasi terasa semakin berat setiap detik melihatnya terbaring tak berdaya.

Rasanya begitu berat untuk berdiri. Kedua tanganku memegang mulut. Sesak dan hancur, tubuhnya dipenuhi cairan kental merah, matanya meringis seakan menahan rasa sakit luar biasa.

Langsung saja aku berlari mendekat dan duduk, sembari memangku kepalanya dengan rasa sesak. "Ni–a, ma–af a–ku tak bi–sa men–jadi cahaya la–gi untuk–mu," ungkapnya terbata-bata, mengulurkan tangan menyentuh wajahku.

Kuraih tangan itu dan menempelkannya pada pipi, menggerakkannya agar bisa mengelus. Perlahan, air mataku turun. "Jangan berkata seperti itu Fero, kamu ... kamu pasti bisa bertahan, harusnya ... harusnya aku yang berada di posisimu saat ini," sesalku menggenggam tangannya yang mengelus pipiku.

Kepala Fero bergerak menggeleng perlahan, tanda bahwa dia tak setuju dengan ungkapanku. "Ja–ngan ber–kata seper–ti i–tu, a–ku ba–hagia tak me–lihatmu ter–siksa rasa sakit ini," lirihnya disertai batuk darah.

Bukannya lega, kalimat seperti itu membuat hati, jiwa dan ragaku hancur di saat yang bersamaan. Apa hidup memang selalu seperti ini? Berkorban dan berkorban, namun akhirnya tak mendapatkan apa-apa.

Andai dunia memang adil, seperti yang banyak orang katakan. Kenapa itu tak berlaku pada kami. Kudekatkan wajah kami, hingga hidung saling bersentuhan, dan rambutku menjuntai, seakan membentuk tirai.

Bau amis, dan sakit dari luka tak lagi kupedulikan. "Fero, kamu harus selamat, oke. Tadi ... kamu bilang cinta padaku bukan. Jika iya, maka buktikan Fero. Bertahan, kita belum pernah melakukan kencan secara resmi. Lalu, kamu ingin pergi begitu saja? Seperti tak pernah terjadi apa-apa?" lirihku diiringi air mata.

Hancur sudah pertahananku. Rasa ini tak lagi bisa dibendung oleh kalimat seperti apa pun. Fero terdiam, tapi ia tetap menatapku penuh cinta dan sayang. Kenapa saat diungkapkan, ini menjadi pertemuan terakhir.

"Ni–a, cin–ta itu tak ha–nya pem–buktian atau ucapan, ta–pi ketulusan. A–ku me–nyelamatkan–mu tu–lus dari lu–buk hati terdalam."

Tak bisa kubalas kalimat itu. Di waktu bersamaan, sosoknya berhasil membuatku senang, takut dan khawatir yang tak pernah kurasakan di saat bersamaan. Seberapa kerasnya hidupku, rasa sakit yang lalu tak pernah dalam seperti luka saat ini.

Suara Ambulans menggema, para penonton menyingkir. Beberapa petugas dengan seragamnya datang, membawaku dan Fero ke dalam mobil mereka, dan langsung menuju rumah sakit. Selama perjalanan.

Genggaman tangan hangatnya tak pernah kulepaskan, aku ingin memberitahunya, di saat-saat seperti ini, tak akan pernah aku menjauh dari sisinya. Jika Fero melindungi, maka akulah yang akan menemani.

Tak perlu ada janji sakral yang perlu terucap, hanya dengan bersama seperti ini. Aku sangat berharap, bila waktu berhenti, dan membuat perasaan ini jadi abadi dalam kenangan bahagia. Lama-kelamaan. Tubuh Fero menggelinjang, dengan mata membola.

Aku langsung panik, dan mendekat ke tubuhnya, tanpa melepaskan genggaman tangnnya yang bergetar. "Fero?" panggilku. Tak ada respon. Kucoba memanggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada respon.

Kugerakkan tubuhnya, tetap tak merespon. Hanya ada guncangan dahsyat pada tubuhnya. Aku terdiam. Kalimat yang terlintas dalam kepalaku saat ini hanya satu. Fero menghadapi sakratul maut.Aku menggelengkan kepala, menolak kalimat itu. Tak mungkin Fero meninggalkanku. Karena ia tadi mengucapkan kalimat cinta dan penuh pengertian padaku bukan. Namun, semakin menepis pemikiran itu.

Rasa takut kehilangannya semakin memenuhi setiap sudut ragaku. Mobil ambulans terasa berhenti. Mungkin kami sudah sampai. Pihak petugas medis membuka pintu dan menarik brankar Fero.

Mereka juga membawaku, dan menuntunku. Awalnya, terjadi pertentangan karena mereka ingin membawaku ke ruang pengobatan. Kalau itu terjadi, aku dan Fero akan berpisah. Tidak, kali ini tidak.

Perdebatan itu tak berlangsung lama, karena akhirnya mereka setuju. Aku ikut mendorong brankan Fero menuju ruang Unit Gawat Darurat. Disuruh menunggu di depan pintu. Raut cemas terlukis pada wajahku.Mondar-mandir ke sana kemari bagai setrika, sesekali mengintip melalui pintu kaca ruangan. Berharap bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Sayangnya, itu hanya harapan. Lampu merah terus menyala di atas pintu.

Menggigit kuku hingga bersih pun masih belum bisa membuat waktu berjalan cepat, agar para dokter keluar dan memberitahukan kabar baik padaku. Tuhan, jika memang kau ada. Tolong selamatkan Fero.

Kini aku tak butuh keluarga yang kuharap bisa mengerti. Aku hanya ingin, Fero selamat. Sebab, dia lebih berharga dari pada keluarga yang kutahu. Tak apa jika Engkau tak mengabulkan harapan lain dariku. Namun, aku memohon.

Aku memohon dengan sungguh-sungguh. Selamatkan Fero, dan buat dia kembali. Karena aku ingin berganti posisi, di mana ini giliranku melindunginya. "Nona, tolong jangan mondar-mandir seperti itu, pasien lain akan pusing melihatnya.

"Suara penuh perhatian dari suster mengacaukan lamunanku. Aku langsung menatapnya tajam.

"Persetan dengan pasien lain! Saya tak peduli mereka mati atau apa! Saya sama sekali tak peduli!" bentakku.Ceklek! Suara pintu terbuka, dan aku kembali menoleh. Kulihat, lampu operasi tetap berwarna merah. Bagaimana bisa? Kenapa mereka keluar. Padahal kan belum selesai?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 103 End of War (Fire Goblin)   01-21 18:27
img
1 Bab 1 Hancur
05/03/2022
3 Bab 3 Berusaha Ikhlas
05/03/2022
4 Bab 4 Waktunya Pergi
05/03/2022
6 Bab 6 Angklung
06/03/2022
8 Bab 8 Sebuah Gerbang
10/03/2022
9 Bab 9 Misi
11/03/2022
12 Bab 12 Meqsesa Asli
17/03/2022
13 Bab 13 Skill Baru
17/03/2022
15 Bab 15 Fire Goblin
19/03/2022
16 Bab 16 Fire Goblin (2)
01/04/2022
20 Bab 20 Fire Goblin (6)
11/04/2022
24 Bab 24 Prank
22/04/2022
25 Bab 25 Skill Mutlak
28/04/2022
31 Bab 31 Tubuh Asli
17/05/2022
33 Bab 33 Misi Lagi :v
25/05/2022
35 Bab 35 Mati lagi
29/05/2022
36 Bab 36 Queen of Siren
31/05/2022
37 Bab 37 Tantangan
31/05/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY