/0/3770/coverbig.jpg?v=6d14eee0638421ce639c5528fcffbbc8)
Damien Allard, pria dari keluarga kaya yang otomatis berkelas namun berpenampilan biasa dan sederhana. Damien meyakini cinta sesungguhnya hanya dapat diperolehnya tanpa menunjukkan kekayaannya pada wanita. Sayangnya, wanita yang dekat dengannya bersifat matre, manja, kekanak-kanakan dan banyak misteri. Damien menjadi tidak percaya lagi dengan cinta yang ditawarkan wanita karena menurutnya penuh kebohongan dan kepalsuan. Semesta mempertemukan Damien dengan Cindy. Wanita yang tidak matre tetapi orangtuanya yang matre. Cindy adalah sosok wanita berpendidikan, cerdas dan mandiri tetapi berasal dari keluarga biasa. Cindy hadir sebagai wanita yang dipaksa orangtuanya harus menikah dengan pria kaya tanpa peduli dengan perasaan cinta. Bagi orangtua Cindy, Damien hanyalah sesosok pria biasa yang tidak memiliki apa-apa, Damien tidak lebih dari sekedar orang kepercayaan, kacung bagi majikannya. Damien dan Cindy sama-sama pengagum cinta yang tidak peduli dengan kekayaan. Bagi Cindy, berjuang bersama adalah hal teromantis dalam cinta, sementara bagi Damien cinta tulus datang dari kesederhanaan. Novel ini pun akan memberi kejutan-kejutan mencengangkan bagi orangtua Cindy yang matre. Akankah Cindy berhasil membawa Damien menjadi menantu yang dapat diterima oleh orangtuanya yang matre sehingga Damien dan Cindy bisa menyatukan pemahaman mereka tentang makna cinta dalam pernikahan?
Suasana khusyuk bercampur bahagia di Hall Montpellier Business School nampak jelas di wajah setiap mahasiswa yang diwisuda hari ini. Damien Allard menjadi salah satu di antaranya.
Saat announcer menyebut nama Damien lengkap dengan gelarnya sebagai Sarjana Administrasi Bisnis Internasional, Alma dan Paul saling berpandangan dengan senyum haru bercampur bahagia.
Damien lulus dengan baik dan siap membentangkan sayapnya di bisnis nyata sesuai keinginannya. Alma dan Paul sebagai orangtuanya sudah menyatakan siap mendukungnya. Pendanaan tentu tidak menjadi masalah berarti bagi mereka, kekayaan tidak kurang untuk dukungan itu.
"So, bisnis apa yang kamu pilih, Damien?" tanya Paul dengan wajah sumringah ketika mereka makan malam bersama merayakan wisuda Damien.
Bahasa Indonesia Paul tergolong lancar meski ciri khas sengau pelafalan bahasa Perancis-nya sulit hilang saat dia berbicara. Bisa dimaklumi karena Paul seratus persen berdarah Perancis. Aeris juga antusias menunggu jawaban kakak kesayangannya itu.
"Fashion? What do you think about it, Dad?" ujar Damien meminta pendapat ayahnya.
"In Indonesian, please!" tegur Alma dengan tatapan tajam pada Damien sambil tangannya tidak berhenti menyiapkan makanan di piring Paul.
"Ups, maaf, Mam." Damien merangkul pundak ibunya sebagai permintaan maafnya dan Alma tidak bisa berbuat banyak jika diperlakukan seperti itu.
Paul dan Aeris ikut-ikutan tersenyum melihat Damien yang hampir kena sanksi dari Alma. Alma pun hanya mampu tersenyum melihat Damien yang kini bukan lagi kanak-kanak, "Dia bertumbuh lebih cepat dari yang kukira," gumam Alma.
"Pertanyaan Damien, Hun ?" lanjut Alma memberi isyarat pada Paul untuk menjawab Damien.
"Tidak masalah, tentu Mommy akan menurunkan ilmu tentang bisnis butiknya padamu. Bukan begitu, Hun?" sahut Paul sambil memandang Alma dengan penuh cinta. Cinta yang menurut Damien dan Aeris, tidak pernah pudar di antara kedua orangtuanya itu.
Senyum manis Alma membalas tatapan cinta Paul, "Of course, tentu saja. Di kota mana kamu akan memulai bisnis itu, Dam?"
"Indonesia." Damien memberi jawaban dengan keyakinan yang nampak hampir sempurna karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta.
"Indonesia?" seru Alma yang terkejut dengan jawaban Damien.
Damien mengangguk-anggukkan kepalanya dengan raut wajah yang terus tersenyum pada Alma. Pemikiran tentang bisnis di Indonesia bukan tanpa dasar. Tanpa sepengetahuan Alma, enam bulan terakhir ini, rencana proyek bisnis di kampusnya dilakukan Damien dengan menempatkan Indonesia sebagai objek riset bisnisnya.
Tanggapan dan tambahan analisa Profesornya atas riset itu begitu positif dan menjanjikan. Damien tertantang untuk mewujudkan hasil risetnya itu.
"Kamu serius dengan pilihanmu? Mengenalkan Indonesia padamu dan Aeris bukan berarti kalian harus ke Indonesia, Boy."Alma seolah mengklarifikasi apa yang selalu dilakukannya pada Damien dan Aeris sejak mereka kecil. Mengenalkan Indonesia, mulai dari bahasa, keragaman budaya dan tempat-tempat eksotisnya.
"Yes, Mam. Itu hasil riset bisnis milikku yang mendapat respon positif dari profesorku. Mungkin memang ada sedikit pengaruh ceritamu tentang Indonesia, Mam," jawab Damien dengan senyum mengembang.
"Itu bukan masalah besar, Hun. Oh, ayolah Honey. Damien pun memiliki darah Indonesia darimu. So, tidak masalah jika dia memilih Indonesia, right?" Genggaman tangan Paul yang disertai gelengan kepalanya saat mengucapkan itu sangat cukup untuk menenangkan Alma.
"Rupanya Mommy tidak sanggup berjauhan denganmu, Dam," celoteh mulut mungil Aeris yang disambut dengan gelak tawa Paul, Alma, dan Damien.
"Oke, oke. I'm sorry, Damien,"tukas Alma dengan kedua telapak tangan terbuka menghadap Damien dan kepala menggeleng-geleng.
"Thanks, Mam. Aku akan merindukanmu," cetus Damien.
"Owh, so sweet, Boy," lontar Alma dengan bahagia.
Makan malam keluarga yang sebentar lagi salah satu dari mereka akan terpisah benua dan momentum bahagia seperti ini pasti akan sulit untuk sering dilakukan seperti biasanya.
"Wait, beri Mommy waktu mempersiapkan hal-hal di sana dengan bantuan Pak'Dhe Bimo. Mommy akan hubungi dia. Oke, Boy?" tawar Alma dengan wajah memohon. Setidaknya Alma masih ingin memastikan bahwa Damien akan baik-baik saja selama di Indonesia.
Alma terlalu khawatir karena Damien lahir dan besar di Paris. Menurut Alma, pasti banyak hal yang perlu Damien sesuaikan di Indonesia. Alma juga sudah tidak memiliki rumah di Indonesia, khususnya di ibukota karena Damien akan merintis bisnisnya dengan basis daerah itu.
***
[Mas Bimo, Alma minta bantuan,] ungkap Alma ketika sudah terdengar suara Bimo – kakaknya, menyahutnya dari seberang. Di Paris jam masih menunjukkan pukul enam pagi, sementara di rumah Bimo jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, ada perbedaan waktu enam jam.
[Apa yang kamu perlukan, Al?]
[Begini Mas, Damien akan memulai bisnisnya di Indonesia. Bisa Alma minta bantuan Mas Bimo untuk carikan rumah di ibukota dan bodyguard untuk Damien. Saya berharap bodyguard yang dewasa usia maupun pemikiran untuk mendampingi Damien, Mas.]
[Kenapa harus dengan bodyguard, Al. Di sini juga kampung halaman anakmu, dia akan diterima dengan baik di sini,] ujar Bimo sedikit protes karena adik perempuannya itu terdengar sangat khawatir dengan anaknya yang memilih tinggal di Indonesia.
[No, Mas Bim. Bukan seperti itu, dunia bisnis tidak sebaik yang kita kira. Aku hanya ingin memastikan ada yang menjaga Damien di sana,] Alma mencoba membela diri. Tidak bisa dipungkiri jika sejujurnya dia mengkhawatirkan Damien.
[Oke, akhir minggu ini, aku berangkat ke ibukota untuk melihat-lihat dan memberi kabar padamu, Al.] Janji Bimo untuk Alma.
[Terima kasih, Mas Bim, salamku untuk Mbak Anik dan anak-anak. Kunantikan kabar darimu secepatnya, Mas.] Alma pun memutus sambungan teleponnya sambil menarik nafas lega. Setidaknya ada kakaknya yang akan membantu mencarikan rumah dan bodyguard untuk Damien.
Bimo kembali menempati kursi makan yang tadi ditinggalkannya karena harus menerima panggilan dari Alma yang sudah memilih hijrah permanen ke Perancis karena mengikuti Paul.
"Sita, kamu kembali ke ibukota bersama Ayah saja di akhir minggu," titah Bimo pada anak perempuannya yang sedang menempuh kuliah di ibukota.
"Ada apa? Alma dan Paul baik-baik saja, bukan?" tanya Anik yang terdengar sedikit cemas.
"Tidak ada yang mengkhawatirkan, An. Alma hanya minta bantuan kita carikan rumah dan bodyguard untuk Damien. Damien akan memulai bisnisnya di ibukota," jawab Bimo dengan tenang agar kekhawatiran Anik berhenti.
"Wow, Damien akan tinggal di Indonesia?" gumam Sita dengan antusiasme yang disimpannya dalam hati.
Sita berpikir untuk mengenalkan Mieke pada Damien, "Jika Damien bisa dekat dengan Mieke maka aku bisa ikut leluasa menikmati semua fasilitas di rumah Damien. Pasti rumahnya mewah, uang mereka 'kan banyak."
Sita senyum-senyum sendiri membayangkan hari yang akan segera datang itu. Bisa jadi dia bisa menumpang tinggal di rumah Damien itu. Sekalian bisa ikut menikmati kemewahan keluarga Allard.
Mieke harus bisa mengendalikan Damien. Jika itu berhasil maka Sita akan menjadi orang penting bagi Damien maupun Mieke, lalu dia bisa memanfaatkan fasilitas dari mereka untuk bersenang-senang dengan Alex. Itulah yang ada di kepala Sita.
"Di mana-mana pria itu sama saja, takluknya hanya pada kemolekan wanita lalu mereka akan bersedia memberikan apa saja. Damien juga akan takluk pada Mieke, kita lihat saja." Sita bergumam dengan yakinnya.
Bersambung ....
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Tinggal di sebuah kampung pedesaan di daerah Cianjur, JawaBarat. Membuat dia masih polos karena jarang bergaul dengan teman sebayanya, dari sebelum menikah sampai sekarang sudah menikah mempunyai seorang suami pun Sita masih tidak suka bergaul dan bersosialisasi dengan teman atau ibu-ibu di kampungnya. Sita keluar rumah hanya sebatas belanja, ataupun mengikuti kajian di Madrasah dekat rumahnya setiap hari Jum'at dan Minggu. Dia menikahpun hasil dari perjodohan kedua orangtuanya. Akibat kepolosannya itu, suaminya Danu sering mengeluhkan sikap istrinya itu yang pasif ketika berhubungan badan dengannya. Namun Sita tidak tahu harus bagaimana karena memang dia sangat amat teramat polos, mengenai pergaulan anak muda zaman sekarang saja dia tidak tahu menahu, apalagi tentang masalah sex yang di kehidupannya tidak pernah diajarkan sex education. Mungkin itu juga penyebab Sita dan Danu belum dikaruniai seorang anak, karena tidak menikmati sex.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."