Warning! Kontent Dewasa. Demi mendapatkan obat untuk kesembuhan ayahnya, Navila rela memberikan tubuhnya kepada tentara kerajaan Erdan. Dia hanya berniat sekali, namun terus terjebak dalam permintaan Sang Jenderal. Sedangkan Sang Jenderal malah terjebak dalam perasaannya sendiri. Mereka sadar pertemuan dan perasaan di antara mereka hanya singkat karena ada perang antar dua kerajaan. Dapatkah cinta mereka saling tersampaikan meski perang sedang berkecamuk di antara kerajaan mereka?
Suara mesin truk mengerang di jalan yang kasar. Truk itu merupakan truk militer tapi yang dibawanya bukanlah tentara sehat atau yang terluka, bukanlah kotak-kotak amunisi atau persediaan makanan, dan bukanlah tawanan dari musuh yang tertangkap. Truk itu membawa para pelacur dari kota.
Di dalam kargo truk setengah terbuka itu, belasan perempuan muda mengenakan mantel dan sarung tangan hangat. Wajah mereka memakai riasan untuk mengikat pelanggan mereka- para tentara berpangkat rendah atau beberapa perwira. Banyak dari mereka yang diam dan tak saling bercerita karena mereka tahu tak ada kebanggaan dari perbuatan mereka.
"Navila, kamu tak membawa sarung tangan hangatmu?" tanya Adeline dengan menggenggam tangan Navila.
Navila menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan hangatnya genggaman Adeline yang tulus. Jangankan sarung tangan, mantel hangat pun tak Navila bawa. Perang yang telah berkecamuk bertahun-tahun memaksanya menjual pakaiannya satu persatu. Ia ingat telah menjual mantel dan sarung tangan hangatnya satu bulan yang lalu. Meski musim dingin segera tiba, tapi kelaparan tiba lebih dahulu.
"Tenanglah, kamu akan mendapatkannya malam ini," ucap Gia dengan nada genit. Tiba-tiba raut wajah Gia berubah dengan tajam, sesuatu seperti terlintas dalam pikirannya. Sorot matanya mengamati Navila dari kaki ke kepala dan mimik wajahnya semakin tajam bercampur kesal.
"Aku akan pastikan hal buruk padamu bila kamu menggoda Mayor Nezkov," ancam Gia tanpa dimengerti Navila.
"Mungkin dia bisa mendapat seorang perwira," sahut perempuan di samping Gia yang tampak iri.
"Dia harusnya melayani dua puluh tentara Erdan malam ini," sahut perempuan lain yang tak terlihat oleh Navila- mungkin Nina atau Tia karena suaranya mirip.
Navila menggenggam erat tangan Adeline, satu-satunya sahabat yang ia punya. Meskipun sebagian besar perempuan-perempuan itu dari kota yang sama dengan dirinya. Navila tak akrab dengan mereka dan hanya Adeline yang paling ia kenal.
"Tak perlu dengarkan mereka," bisik Adeline.
"Si kutu buku ini akhirnya menjadi pelacur," ledek Gia lagi.
"Hahaha." Semua pelacur tertawa dalam truk.
Navila hanya diam mendengarkan makian itu. Rasa gugup dan malunya bercampur dalam detak jantung yang sangat kencang. Ini pertama kalinya ia menuju Benteng Esthaz. Tempat di mana para tentara Kerajaan Erdan singgah sebelum menyerang Ibukota Kerajaan Agelan. Tempat di mana para perempuan kota menyewakan tubuhnya untuk terus hidup. Tempat mendapatkan keping-keping perak dan makanan-makanan yang lebih menjanjikan.
"Aku harus mendapatkan obat untuk Ayah," bisik Navila pada Adeline.
Satu-satunya alasan Navila menjual diri dan keperawanannya karena ayahnya sakit. Ia perlu obat, tapi tak ada yang menjual obat karena semua obat ada di Ibukota, tapi semua obat di sana untuk para tentara.
"Itu sulit," jawab Adeline dengan berbisik. "Aku akan bicara pada Tuan Deus. Semoga dia bisa mengaturnya."
"Ya, semoga," ucap Navila dengan lirih tapi penuh harapan.
Truk berhenti, terdengar suara pria yang saling bercakap-cakap. Suara mereka saling menertawakan isi dari truk yang penuh pelacur. Navila merasakan perubahan suasana di dalam truk itu menjadi tegang. Bahkan senyum Gia yang tadinya penuh dengan kesombongan sebagai pelacur, kini hilang. Genggaman tangan Adeline semakin kuat. Navila tak menyangka para perempuan akan gugup meski mereka datang dengan suka rela dan bukan pertama kalinya ke benteng itu.
Truk kembali melaju pelan, dinding benteng mulai terlihat, dan pos keamanan di gerbang telah terlewat. Kurang dari setengah menit, truk berhenti. Seorang tentara membuka pintu kargo setinggi kursi duduk. Seorang pria dengan kumis panjang menanti. Pria itu tidak terlalu tua atau muda, tapi kumis panjangnya membuat kesan pria itu berumur 40 tahunan.
"Dia adalah Tuan Deus," bisik Adeline.
Navila bisa melihat sorot mata pria itu seperti sedang menghitung dan menilai. Tangannya bersedekap dan memegang dagunya yang mulus, senyumnya datar penuh ketidakpedulian, dan ekspresinya tidak terlihat puas.
"Hanya ini?" Tuan Deus bertanya pada seorang tentara di sampingnya.
Para perempuan mulai turun, empat perempuan pertama telah turun, kemudian Gia dan dua orang temannya. Navila menggenggam erat tangan Adeline. Rasa gugup dan kecemasannya membuat kaki Navila sedikit gemetar.
"Seperti biasa Tuan tapi beberapa tidak ikut," jawab tentara itu. Senapan laras panjang ia sampirkan di punggung dengan santai. Sang tentara tersenyum lebar saat para bidadari pelacur turun dari truk.
"Malam ini kita kedatangan tamu penting. Seorang jenderal datang dan tak ada barang bagus untuknya? Mengecewakan, seharusnya aku membawa lebih banyak perempuan lagi." Tuan Deus memandang para perempuan yang telah turun dengan kecewa.
Navila ditarik oleh tangan Adeline untuk turun, ia tak bisa menolak, ia sudah terlambat untuk berubah pikiran. Navila tak bisa mundur, ia perlu mendapatkan obat untuk ayahnya.
"T-tuan Deus bisakah kami berbicara sebentar dengan Tuan?" ucap Adeline dengan sedikit gemetar.
Navila hanya diam.
"Apa maumu pelacur?" tengok Tuan Deus.
"Temanku ingin mendapat bayaran malam ini dengan obat," jawab Adeline.
Mata Tuan Deus membulat dengan lebar, ia terlihat kesal mendengar permintaan obat itu. Sorot matanya beralih ke Navila, pria itu tiba-tiba menaikkan senyum yang mengangkat satu pipinya. Navila menundukkan pandangannya, menatap mata yang memiliki derajat lebih tinggi merupakan penghinaan. Kini dirinya adalah seorang pelacur yang lebih rendah dari tuan muncikari.
"Aku baru pertama kali melihatmu," ucap Tuan Deus.
"Dia baru, Tuan," jawab Adeline yang mengiyakan.
Navila mulai mengangkat pandangannya, ia bisa melihat ketertarikan di wajah Tuan Deus. Matanya berseri-seri seperti sedang menemukan sebuah berlian. Akan tetapi Navila bisa merasakan kelicikan dari pria itu.
"Aku tidak bisa membayarmu dengan obat, tapi aku tahu siapa yang bisa membayarmu dengan obat, bahkan apa pun permintaanmu, Cantik," ucap Tuan Deus terdengar menjanjikan.
Navila mengangguk dengan pasrah, "Aku membutuhkan obat dan Tuan akan mendapatkan apa pun yang Anda minta."
Tuan Deus tersenyum lebar, Navila terbayang permintaan buruk yang harus dibayarkan.
Kiara tidak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi seorang istri dari Keith Wilson, gurunya sendiri di usianya yang masih 17 tahun. Ia dan Keith menikah bukan karena saling cinta, melainkan perjodohan yang sudah diatur oleh kedua orangtua mereka. Meski Kiara menentang keras, tapi tidak dengan Keith yang justru menerimanya dengan ikhlas. Kiara tak sadar bahwa ada niat tersembunyi dari perjodohan yang terkesan mendadak dan terburu-buru itu. Belum lagi, Kiara sendiri dibuat tak percaya pada sikap Keith setelah menjadi suaminya yang bersikap sangat posesif serta mengekang ruang geraknya karena larangan-larangan aneh yang pria itu beri. Permasalahan perlahan kian datang mengguncang kehidupan baru Kiara, dimulai dari kekecewaan teman-temannya tentang berita pernikahannya yang ia sembunyikan, lalu hubungan Keith dengan wanita yang jelas mencintai suaminya itu, serta kenyataan dan fakta pahit tentang hidupnya juga masalalunya yang selama ini disembunyikan oleh kedua orangtuanya. Akankah Kiara berhasil melalui dan menyembuhkan luka hatinya itu? Memaafkan masalalu dan menerima Keith kembali yang jelas sudah menyakiti hatinya, yang sayangnya sudah terjatuh dalam pada suaminya tersebut?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."