Gadis bertubuh gemuk menjalani kehidupan yang sulit ditengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi standar kecantikan. Pertemanan apalagi cinta, bukanlah sesuatu yang ia impikan. Yang ia mau hanya bahagia. Apakah ia bisa berdamai dengan dirinya?
"Ayo bangun!"
Sebuah suara membangunkan Fani, ia merasa ada goncangan pelan pada tubuhnya. Dengan berat, ia mencoba membuka matanya perlahan dan melihat sosok bu Retno, ibunya.
"Fani, ayo bangun, mandi, terus sarapan." Ujarnya lagi.
Fani bangun dan duduk di tepi ranjangnya.
"Bu, aku boleh izin gak masuk sekolah?" Tanya Fani hati-hati.
Bu Retno melirik tajam anaknya.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Gak enak badan."
Bu Retno memegang dahi Fani lalu mengelus pelan rambutnya.
"Sekolah, ya. Kamu sudah kelas 12, Fan. Kalau besok masih sakit, ibu yang minta izin ke sekolah." Bu Retno berlalu keluar dari kamar Fani.
Fani mendesah kecewa, ia tahu akan sulit merubah fikiran dan keputusan ibunya itu. Dengan terpaksa, akhirnya Fani mandi dan bersiap ke sekolah.
Seusai bersiap, Fani mengeluarkan alat ukur berat badan dari bawah ranjangnya. Ia berdecak kesal melihat angka 85 dari alat tersebut.
"Ck! Padahal beberapa hari yang lalu masih 84. Kok malah naik, sih?"
Fani mendesah kesal, mengingat angka-angka itu hanya akan membawa Fani pada rangkaian hal-hal yang kurang menyenangkan.
Fani mengambil tasnya dan pamit pada ibunya.
"Bu, aku berangkat, ya."
"Loh, langsung berangkat? Gak sarapan dulu?"
"Diet!" ujar Fani berlalu.
Hari ini, Fani bertekad untuk berangkat ke sekolah berjalan kaki karena jarak rumahnya ke sekolah tidak begitu jauh. Fani melirik jam di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul 6.30, ia berfikir bahwa tidak apa-apa meskipun sedikit telat.
Gerbang sekolah sudah mulai terlihat, namun bel sekolah sudah berbunyi. Mendengar itu, Fani panik dan berlari.
"Ayo dipercepat larinya!" Teriak pak Prapto, guru Matematika, sekaligus wakil kepala sekolah.
Fani bersusah payah mempercepat gerakan larinya.
"Mangkanya jangan gendut!"
Fani menghiraukan kalimat pedas gurunya itu dan berhasil melewati gerbang, ia buru-buru menuju kelasnya. Beruntung, guru datang tepat setelah Fani duduk di bangkunya.
"Selamat pagi, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?" Bu Tri, guru Fisika, memulai kelas pagi dengan salam hangatnya, lalu mulai menerangkan lanjutan materi Listrik Statis.
"Sebelum kelas selesai, kumpulkan tugas yang ibu beri minggu kemarin, ya."
Para siswa mulai mengumpulkan buku tugasnya ke meja guru, beberapa siswa terlihat menatap Fani dengan sinis. Fani mencoba untuk tidak peduli.
"Gabby? Silahkan kerjakan nomor 1 di papan tulis, ya. Selagi Gabby mengerjakan, ibu akan mengoreksi tugas kalian."
Gabby terlihat sedikit kesal dan maju ke depan, tangannya meraih spidol namun gerakannya terhenti sampai disitu, ia tak menuliskan apapun di papan tulis.
"Kenapa tidak dikerjakan, Gabby?" tanya bu Tri.
"Hmm.. anu bu, saya..."
Bu Tri membuka tumpukkan buku dimejanya satu persatu.
"Di meja saya gak ada bukumu, kamu belum mengerjakan tugas?"
Gabby melirik gengnya, Tami dan Nuri pun tampak kebingungan.
"Tami? Nuri? Kalian belum mengerjakan tugas juga?" bu Tri kembali bertanya.
Tami dan Nuri menundukkan kepalanya, bu Tri terlihat kesal.
"Ini bukan pertama kalinya kalian tidak mengerjakan tugas. Kalian bertiga, ayo ikut saya ke ruang bimbingan!"
Bu Tri menyelesaikan pelajaran lalu membawa Gabby dan temannya ke ruang bimbingan.
Satu jam berlalu dan kelas Fisika selesai, kelas selanjutnya adalah kelas Bahasa Inggris, namun bu Yuli tidak dapat menghadiri kelas, kelas pun akhirnya bebas.
Gabby dan kedua temannya telah selesai bimbingan dengan bu Tri dan wali kelas. Ketiga siswa itu jelas kesal, mereka menghampiri Fani dan menarik rambutnya.
"Awww!!!" teriak Fani kesakitan.
"Gara-gara lo, ya! Gue jadi dapet hukuman!" maki Gabby.
"Kenapa jadi salah gue?"
"Gausah ngelak lo! Lo udah janji buat ngasih kita contekkan dan datang pagi-pagi! Tapi, lo malah sengaja datang telat!" ujar Nuri.
"Gue gak janji, dan gue telat karena gak dapet angkot.."
"Alah! Banyak alesan lo!" teriak Tami.
Gabby kembali menarik rambut Fani hingga Fani meringis kesakitan.
"Jangan ngelawan lo, gendut! Tau diri dikit! Sekarang mending lo kerjain tugas kita!" Gabby melirik Nuri.
Nuri melemparkan tiga buku ke muka Fani.
"Awas kalau gak lo kerjain!"
Gabby dan kedua temannya meninggalkan Fani yang hampir menangis. Fani mengedarkan pandangannya pada semua teman sekelasnya, ada yang memandang iba namun tak bisa membantu, dan ada juga yang memandang rendah. Hal seperti ini adalah hal yang selalu Fani lalui selama sekolah, bukan hanya di kelas 12, bukan hanya Gabby dan temannya, bullyan dan cacian menjadi makanan sehari-hari. Mengadu pada guru awalnya adalah cara Fani mencari perlindungan, namun semakin lama, guru-guru terkesan lelah dan meremehkan perundungan pada Fani, Fani pun akhirnya menyerah.
ššš
Jam istirahat dimulai, Fani membeli air mineral dan duduk di bangku kantin. Fani duduk sendirian karena tak punya teman dekat, belum lama ia duduk, ia melihat Gabby dan kedua temannya, Fani pun bangkit dari duduknya agar bisa menghindar. Namun, Gabby dan temannya menghentikan Fani dengan menarik lengannya.
"Mau kemana, lo?" tanya Nuri.
"Duduk!" perintah Gabby.
Fani hanya diam dan tetap berdiri, ia tak ingin menuruti Gabby lagi.
"Duduk!" Gabby meninggikan suaranya.
Melihat Fani yang tidak menurut, Gabby menendang kaki Fani sehingga Fani terduduk dan meringis.
"Gila! Kakinya gede banget, sampe sakit kaki gue nendang dia." Ujar Gabby.
Nuri dan Tami tertawa terbahak-bahak. Siswa-siswa yang lain hanya memperhatikan dan sesekali berbisik dengan yang lain.
"Tugas kita udah lo kerjain belum?" tanya Gabby.
"Buku-bukunya udah gue simpen di meja kalian." Sahut Fani.
"Cepet juga lo ngerjain tugasnya. Bagus deh, jadi..."
"Gue gak mau ngerjain tugas lo." Fani memotong kalimat Nuri.
"Hah? Kok lo makin kurang ajar, ya? Nyari mati, hah?" teriak Nuri.
"Udah gak apa-apa, guys. Biarin aja." Ucap Gabby.
Fani, Nuri dan Tami terkejut mendengar Gabby.
"Kalau dia gak mau, ya udah biar, jangan dipaksa."
"Serius lo, Gab?" tanya Nuri tak percaya.
"Iya, mungkin dia capek, jadi.."
Gabby menghentikan kalimatnya dan mengambil air mineral di meja.
"Nih! Gue siram, biar seger!!!"
Gabby menyiramkan satu botol air mineral pada Fani, melihat itu kedua teman Gabby kembali terbahak.
"Ambilin lagi, Tam." Pinta Gabby.
Fani terkejut dan berusaha menutupi tubuhnya karena seragamnya basah.
"Kenapa ditutup? Malu? Lemak semua, sih. Nih gab, airnya." Ejek Tami sambil menyodorkan botol air mineral pada Gabby.
Fani tak lagi bisa menahan diri dan mulai berteriak.
"Gue gendut itu bukan dosa!! Kenapa kalian selalu memperlakukan gue kayak sampah? Padahal tingkah kalian yang kayak gini, itu yang lebih pantes disebut sampah!"
Muka Gabby merah padam karena diteriaki Fani.
"Lo! Jaga mulut lo, ya!"
Gabby berusaha menyiram Fani, namun ada tangan yang menghentikannya.
"Udah! Cukup!" ujarnya.
"Yuda? Lo ngapain, sih?" tanya Gabby.
"Udah cukup, Gab. Kasian Fani."
"Lo kenapa jadi belain dia? Lo harusnya dukung gue, karena lo itu pacar gue! Lo mau putus?" ancam Gabby.
"Iya. Kita putus aja." Tukas Yuda.
Setelah tiga tahun menikah yang penuh rahasia, Elsa tidak pernah bertemu dengan suaminya yang penuh teka-teki sampai dia diberikan surat cerai dan mengetahui suaminya mengejar orang lain secara berlebihan. Dia tersentak kembali ke dunia nyata dan bercerai. Setelah itu, Elsa mengungkap berbagai kepribadiannya: seorang dokter terhormat, agen rahasia legendaris, peretas ulung, desainer terkenal, pengemudi mobil balap yang mahir, dan ilmuwan terkemuka. Ketika bakatnya yang beragam diketahui, mantan suaminya diliputi penyesalan. Dengan putus asa, dia memohon, "Elsa, beri aku kesempatan lagi! Semua harta bendaku, bahkan nyawaku, adalah milikmu."
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. āSayaaang, aku keluar laghiiiiā¦ā Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. āLanjut yank?ā
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?