/0/21707/coverbig.jpg?v=65d19d6cc8fd19ff0990ac7a6a74b941)
Thomas meninggal dunia satu hari sebelum pernikahannya karena kecelakaan pesawat. Dia pun menjadi arwah lalu bertemu dengan malaikat. Malaikat itu memberi kesempatan Thomas untuk bersatu kembali lagi dengan kekasihnya. Asalkan Thomas bisa menggunakan tubuh dari orang lain. Saat dia merasuki tubuh orang lain, arwah pemilik orang lain itu tidak terima. Mampu kah Thomas mengatasinya dan bersatu lagi dengan kekasihnya?
"Marlena, Marlena!" Thomas menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Marlena dan keluarga yang lagi sibuk menata ruangan, terkejut hingga semua pasang mata menatap Thomas.
"Ada apa, Thomas? Kenapa seperti dikejar-kejar setan?" spontan Marlena bertanya dengan ekspresi bingung.
Thomas belum menjawab. Setibanya di depan Marlena dan keluarga, dia menunduk mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal terlebih dulu.
"Bagaimana jika pernikahan ini kita undur. Satu hari saja." Mendengar itu sontak semua orang yang ada di sana terkejut. Mata mereka membelalak dan bibir mereka menganga.
"Maksudmu apa, Thomas? Kamu ingin mengundur pernikahan ini? Memangnya ada apa? Kamu masih ragu?" dari sekian orang yang ada di sana, Marlenalah yang paling terkejut. Tubuhnya mendadak lebih tegak karena tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Thomas.
"Bukan. Bukan itu, Marlena. Tetapi karena cincin peninggalan ibu tertinggal di rumah Bibi Margaretha." Wajah Thomas tampak cemas.
Marlena diam sejenak. Dia belum berani memberi jawaban pada Thomas. Sesekali matanya menatap Santos, Ayahnya dan Maritha, ibunya. Seolah sedang meminta pendapat.
Tetapi mereka semua diam. Mungkin saja turut bingung dengan keadaan ini. Marlena masih menimang-nimang kemungkinan yang terjadi.
"Bagaimana kalau kita menikah tanpa cincin itu, Thomas?" tanya Marlena dengan sangat hati-hati.
"Tidak bisa, Marlena. Aku sudah pernah cerita tentang cincin itu padamu. Kamu tahu cincin itu adalah pembawa keberuntungan dan akan melanggengkan hubungan rumah tangga kita, Marlena. Cincin itu sudah turun-temurun." Thomas menggeleng cemas. Kecemasan tercetak semakin jelas di wajahnya.
Semua orang terdiam di ruangan itu. Ada yang menunduk sembari memegangi bibirnya. Ada melongo karena benar-benar berada dalam keadaan yang sulit. Sedangkan Marlena? Matanya mulai basah.
"Bagaimana ini, Ayah?" Marlena yang sudah tidak sanggup menanggung beban ini melimpahkan pada ayahnya.
"Kalau Ayah nurut kamu saja, Marlena. Tapi ada hal penting yang harus kamu ingat. Bahwa apa pun peninggalan dari orang tua bisa mendatangkan keberuntungan." Ayah memegang pundak Marlena. Tatapan matanya pada Marlena penuh makna.
Marlena mengangguk lalu melirik ke arah Maritha. Maritha hanya mengangguk kecil. Dia juga sama dengan yang lain, gelisah bimbang dan berada di posisi serba salah.
Marlena menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali menatap Thomas yang masih menunggu keputusannya dengan rasa cemas.
"Kamu tahu, sulit sekali rasanya melepaskanmu di malam pernikahan kita ini, Thomas." Suara Marlena sudah terasa berat. Gundukan air mata di matanya semakin tebal. Thomas melihat itu, ikut berkaca-kaca. Dia tidak tega sebenarnya. Tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mengambil cincin itu.
Paman Hisyam tiba-tiba maju dan berdiri di dekat mereka, "Apa kamu yakin, Thomas? Ini malam pernikahan kalian. Apa kalian bisa memastikan jika nanti semuanya akan baik-baik saja?" dia menyela ucapan Marlena.
Marlena menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya seketika gemetaran usai mendengar ucapan Paman Hisyam.
"Paman, aku berjanji akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Karena cincin itu akan membawa keberuntungan." Thomas mencoba meyakinkan Paman sekaligus semua orang yang ada di ruangan itu.
Paman Hisyam terdiam. Di pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan. Sebenarnya dia ingin melarang Thomas pergi. Akan tetapi tekadnya yang kuat, membuat Paman Hisyam hanya mengangguk pasrah pada akhirnya.
"Baiklah, Thomas. Kami akan mengizinkanmu pulang. Berjanjilah padaku, Thomas. Jagalah dirimu baik-baik di perjalanan." Marlena menggenggam tangan Thomas erat-erat. Air matanya pun mengalir. Dia tidak mampu menahannya lagi.
Thomas menarik tubuh Marlena dan memeluknya. Dia bisikan kata untuk menenangkan dan meyakinkan kekasihnya itu.
"Aku akan berjanji demi aku, demi kamu dan demi kita semua, Marlena." Thomas memegang kedua pipi Marlena. Jari-jarinya mengusap air mata Marlena yang terus-menerus mengucur.
Marlena mengangguk. Meskipun anggukan itu tidak mempunyai arti yang mendalam, dia tidak ingin membuat Thomas ragu. Biarkan Thomas pergi dengan penuh percaya diri dan tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya, itulah yang diyakini Marlena.
***
Jam 3 pagi, Thomas sudah berada di bandara diantar Marlena dan Santos. Mereka masih menunggu sampai keberangkatan Thomas tiba.
"Hati-hati, Thomas. Teruslah berdoa dan jaga dirimu baik-baik selama di perjalanan." Marlena melepaskan tangan Thomas perlahan saat Thomas hendak masuk di ruangan tunggu.
"Baik Marlena. Aku pergi dulu, Marlena, Ayah." Thomas melambaikan tangan.
Marlena dan Santos masih berdiri menatap kepergian Thomas yang semakin jauh masuk ke ruangan itu. Tanpa sadar, Marlena menggigit jemarinya.
"Apakah semua akan baik-baik saja, Ayah?" Marlena menatap Santos saat matanya mulai berkaca-kaca.
"Percayalah pada yang di atas. Semuanya akan baik-baik saja, Marlena." Santos mengangguk.
Marlena dan Santos pergi setelah mengetahui pesawat yang Thomas tumpangi telah melesat jauh ke atas. Marlena terus melambaikan tangan saat pesawat itu terbang.
"Kita harus menghubungi pihak-pihak yang terkait, Marlena. Kemarin aku sudah menghubungi beberapa pihak yang terlibat. Hanya tinggal pihak dekor dan pihak katering." Santos mengajak Marlena untuk segera masuk ke mobil.
"Baik, Ayah. Maafkan aku dan Thomas karena sudah bikin ulah lagi." Marlena menggenggam tangan Ayahnya ketika sudah berada di mobil.
"Tidak apa-apa, Marlena." Santos membalasnya. Dia usap pelan-pelan telapak tangan anak kesayangannya itu.
Mobil mereka melesat cepat dari parkiran bandara menuju jalan raya. Pagi sudah kian matang di kota itu saat Thomas menatap keadaan luar dari balik kaca pesawat.
***
"Hai, Anak muda. Kenapa sejak tadi wajahmu tampak begitu cemas?" Seorang Kakek-kakek yang masih tampak bugar tengah menyapanya. Kakek itu duduk persis di sebelah Thomas.
"Ah tidak apa-apa, Kakek. Hanya memikirkan beberapa hal saja." Thomas menoleh lalu tersenyum pada Kakek itu.
Kakek itu mengangkat alisnya lalu membalas senyuman Thomas. Thomas mengernyitkan dahi. Ada apa dengan kakek ini? Kenapa eskspresinya seperti itu?
"Kamu ingin mengambil barang yang sangat berharga ya dalam hidupmu?" ucapan Kakek itu membuat mata Thomas melebar selebar-lebarnya. Seperti ada dentuman keras di dalam dirinya karena ucapan itu.
"Em... kurang lebih seperti itu, Kek." Thomas mengangguk penasaran.
Kakek itu terkekeh lalu mengusap-usap janggutnya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Bulu-bulu itu sudah beruban dan kerutan wajahnya sudah tampak.
"Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahanmu, ya?" Kakek itu bertanya lagi tanpa merasa berdosa karena telah mengejutkan Thomas berkali-kali.
Thomas kembali terbelalak. Dia tidak mengiras Kakek ini mengetahui semua tentang dirinya. Padahal sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan Kakek ini.
"Anda siapa? Kenapa bisa mengetahui banyak hal tentang diriku?" protes Thomas.
"Anak muda, Anak muda." Kakek itu malah tertawa kecil bukannya menjawab.
Thomas mencoba mengingat-ingat. Siapa tahu dia pernah bertemu dengan Kakek ini, atau mungkin dia merupakan salah satu keluarga Marlena.
"Selama mungkin kamu memikirkan siapa aku, selama itu pula kamu tidak pernah mengetahuiku. Aku bukan keluargamu atau keluarga calon istrimu." Kakek tersenyum jumawa.
Kening Thomas berkeringat. Memangnya siapa kakek ini? Dia bisa membaca pikiranku dan dia tahu semuanya tentangku? Batin Thomas seraya menatap penasaran pada Kakek itu.
Bersambung...
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.