/0/21571/coverbig.jpg?v=cba1e5ef1cfc84bae149fdb0540b3382)
Sonia adalah seorang wanita muda yang baru saja merasakan kesepian mendalam setelah kehilangan suaminya, Rizal, dalam sebuah kecelakaan mendadak. Kehilangan itu tak hanya meninggalkan luka di hati, tetapi juga rasa terasing di tengah komunitas yang mulai memandangnya dengan tatapan penuh simpati sekaligus keheranan. Merasa terjebak dalam kenyataan yang sulit, Sonia memutuskan untuk memulai babak baru: pindah dari rumah lama mereka yang penuh kenangan ke sebuah apartemen kecil bersama kedua anaknya, Alif yang berusia 3 tahun, dan Hana yang berusia 8 tahun. Di lantai atas apartemen yang sama, ada Yudha, seorang duda yang sudah lama hidup sendirian sejak istrinya meninggal secara tragis. Ia dikenal sebagai sosok yang karismatik dan penuh perhatian pada putrinya, Mira, yang kini berusia 14 tahun. Meski terlihat tegar di luar, Yudha menyimpan rasa sakit yang mendalam akibat kehilangan yang sama, dan sering berjuang untuk bisa membuka hatinya kembali. Saat Sonia dan Yudha bertemu secara kebetulan di lorong apartemen yang sepi, dua jiwa yang terluka itu menemukan kenyataan pahit: mereka saling mengenal rasa sakit yang sama. Namun, apakah mereka akan sanggup mengatasi dinding yang dibangun oleh kenangan, rasa takut, dan perasaan tidak percaya terhadap cinta yang pernah mengkhianati mereka?
Sonia duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya mengetuk-ngetuk perlahan di sisi kasur. Suara hujan yang berjatuhan di luar jendela apartemen terdengar monoton, seakan menjadi pengingat bahwa dunia tak pernah berhenti, bahkan saat dirinya tengah terperangkap dalam hening yang tak berujung. Di balik mata yang lelah, tampak refleksi wajahnya di cermin kecil yang diletakkan di meja rias. Wajah itu, penuh dengan guratan letih dan senyum yang hanya muncul di permukaan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.
Sonia menarik napas panjang. Ia bisa merasakan berat yang mengalir di dadanya, seperti ada batu besar yang tidak bisa ia lepas. Begitu banyak hal yang harus ia tanggung, dan hanya satu yang selalu membuatnya bangkit setiap hari: anak-anaknya, Alif dan Hana. Mereka adalah alasan mengapa ia harus bangun pagi dan melawan rasa sakit yang kadang hampir tak tertahankan. Alif, dengan mata bulat dan tawa yang mengalir seperti air, adalah bagian kecil dari kenangan yang membuatnya terus maju. Hana, di usia delapan tahun, lebih mirip seperti dirinya, memendam perasaan dalam-dalam, menjaga rahasia di balik senyumnya.
"Ayah sudah lama pergi, kan, Ibu?" suara Hana yang lembut dari balik pintu membuat Sonia menoleh. Ia belum mendengar anaknya mendekat, tapi ketenangan dalam suara Hana membuat hatinya teriris. Anak kecil itu tahu lebih banyak dari yang Sonia kira. Kadang, ia berpikir, anak-anak memiliki intuisi yang lebih tajam dibanding orang dewasa.
Sonia berdehem, menghapus air mata yang hampir menetes. "Iya, sayang. Tapi kita masih punya satu sama lain, kan?" jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar ceria.
"Benar, Ibu. Tapi Ibu nggak usah takut, kan? Kita nggak sendirian. Ada Ibu, aku, dan Alif. Kita bisa jadi tim yang kuat," kata Hana, suaranya penuh keyakinan.
Sonia mengangguk, meskipun hatinya tahu, kekuatan yang dimilikinya hanyalah seteguh tembok yang rapuh. Di luar, hujan semakin deras, membasahi dunia yang terasa sepi. Tapi di dalam apartemen itu, suara gelak tawa Alif yang terbangun tiba-tiba mengisi ruang kosong yang mencekam.
Sonia membuka pintu kamar dan melihat Alif, dengan mata masih mengantuk, berdiri di samping tempat tidurnya. Di tangannya, ia memegang boneka beruang cokelat yang sudah kehilangan beberapa jahitan di bagian telinga.
"Selamat pagi, Ibu," ucap Alif dengan suara parau. Sonia merasakan campuran rasa sakit dan cinta yang menderu di dadanya. Meskipun ia ingin memberikan segalanya kepada anak-anaknya, kenyataannya, ia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Hari-hari berlalu seperti lautan yang tak henti-hentinya bergulung, dan Sonia hanya bisa mencoba tetap bertahan di atas ombak.
"Selamat pagi, sayang. Ibu baru saja bangun," Sonia membungkuk dan mengangkat Alif ke pelukannya, memeluk anak kecil itu dengan hangat, seakan ingin menyerap semua rasa nyaman yang diberikan Alif.
Hana yang mendengar kekacauan kecil itu mendekat, menghampiri mereka. Ia menatap Alif yang sekarang di pelukan Sonia, lalu melirik Ibu mereka. Ada kehangatan di mata Hana, tapi juga kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Sonia tahu bahwa putrinya yang cerdas itu mengerti lebih banyak tentang kesedihan yang menyelimuti rumah mereka dibanding yang Sonia kira.
"Aku sudah siap, Ibu. Aku sudah sarapan," Hana berkata, suaranya penuh perhatian.
Sonia tersenyum, meski senyumnya hanya sebentar. "Kita akan pergi ke sekolah dalam beberapa menit, oke?" Ia menatap kedua anaknya, merasa beruntung masih memiliki mereka di tengah kekacauan yang melanda hidupnya. Jika mereka bisa tersenyum dan bertahan, maka ia pun harus bisa.
Di perjalanan menuju sekolah, Sonia memandangi pemandangan kota yang tampak suram dengan langit yang masih menggelap oleh awan. Mobil-mobil berlalu-lalang, sementara orang-orang berlalu di jalanan, masing-masing dengan cerita mereka sendiri. Begitu banyak wajah yang terlihat biasa saja, namun siapa yang tahu cerita apa yang mereka simpan di balik senyum atau langkah mereka?
Ketika mobil berhenti di lampu merah, pandangan Sonia tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri di pinggir jalan. Ia mengenakan jas hujan hitam dan tampak memperhatikan langit, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Sonia menelan air liur, merasakan rasa sakit itu kembali menghantam dadanya. Ada sesuatu tentang pria itu yang mengingatkannya pada Rizal, suaminya yang sudah meninggal. Ia membiarkan kenangan itu mengalir, meski perih.
"Tunggu, Ibu, lihat itu!" Hana tiba-tiba berseru, menunjuk ke arah pria itu.
Sonia menoleh, melihat ke arah tangan Hana yang terulur. Pandangannya bertemu dengan pria itu sesaat sebelum lampu hijau menyala dan mobil melaju. Sebelum ia sempat memikirkan apa yang terjadi, pandangannya beralih pada Alif yang sibuk memainkan boneka beruangnya.
Sepulang dari mengantar anak-anak ke sekolah, Sonia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar apartemen. Udara pagi yang dingin membuatnya merasa segar, meskipun hatinya tetap diliputi kesedihan. Namun, saat ia melewati pintu apartemen sebelah, ia mendengar suara musik lembut yang mengalun dari dalam.
Tanpa sengaja, matanya tertuju pada nama di depan pintu apartemen itu: Yudha. Sonia mengingat nama itu, walau hanya sebentar. Yudha adalah tetangga yang jarang terlihat, seorang duda yang memiliki seorang putri remaja, Mira. Sonia mendengar dari beberapa orang di apartemen bahwa Yudha adalah pria yang baik, tetapi juga tertutup.
Tanpa alasan yang jelas, Sonia mengetuk pintu itu, membuat dirinya sendiri terkejut dengan keputusan yang tiba-tiba itu.
Pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Yudha, yang terlihat kaget sejenak sebelum akhirnya mengatur ekspresinya menjadi senyum ramah. Ia mengenakan kaus berwarna abu-abu dan celana panjang, rambutnya yang hitam sedikit berantakan.
"Selamat pagi, Bu Sonia. Ada yang bisa saya bantu?" kata Yudha, suaranya terdengar hangat, namun ada ketegangan di baliknya.
Sonia tersenyum canggung. "Pagi, Pak Yudha. Maaf kalau mengganggu. Saya hanya ingin... mengucapkan terima kasih, karena sudah ada di sekitar sini. Terkadang, rasanya seperti tidak ada yang peduli."
Yudha menatapnya sejenak, seperti mencoba membaca apa yang ada di dalam diri Sonia. "Kami semua di sini saling membantu, Bu. Kadang, kita hanya perlu tahu bahwa kita tidak sendirian," jawabnya, suara yang hampir berbisik.
Sonia terdiam, lalu menatap Yudha dengan mata yang mulai basah. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa menenangkan, seolah dunia di luar sana bisa berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi mereka yang terluka.
"Terima kasih, Pak Yudha," Sonia berkata, suara yang hampir hilang di tengah angin pagi yang dingin.
Yudha hanya mengangguk, lalu menatap Sonia sejenak sebelum menutup pintu. Tapi di balik pintu yang tertutup, Sonia merasakan hal yang belum lama ia rasakan: harapan. Harapan yang sangat kecil, namun cukup untuk membuatnya bertahan.
Ketika Nadia terjepit dalam kekisruhan finansial untuk membiayai pengobatan adiknya yang kritis, dia membuat keputusan impulsif yang mengubah hidupnya selamanya. Di tengah teriknya desakan dan keputusasaan, Nadia menerima tawaran dari keluarga Reza Azhar, konglomerat ternama yang memiliki kekuasaan tak terbantahkan. Istri Reza, Aulia, telah lama mencoba hamil tanpa hasil, sementara di dalam keluarga itu, kehadiran pewaris adalah impian yang harus diwujudkan. Tentu saja, Nadia tidak tahu bahwa tawaran tersebut datang dengan harga yang tinggi. Satria, ibu Reza yang licik, menginginkan warisan keluarga tetap terjaga dan sengaja merancang rencana untuk menggugah Nadia agar mendekati Reza dan memberi keturunan yang diharapkan. Awalnya, Nadia ragu-hati nuraninya menolak, sementara kesadarannya menjerit menolak pengkhianatan ini. Namun, semakin lama dia berada dalam lingkaran itu, semakin sulit baginya untuk menolak, dan hatinya, yang sudah lama terkubur dalam kesedihan, mulai terjerat dalam pusaran emosi yang membingungkan. Dan saat jantung Nadia semakin terjerat, sebuah tragedi memukul-adiknya meninggal dunia di rumah sakit. Rasa bersalah menyelimuti dirinya seperti selimut tebal, membekukan pikiran dan tubuhnya. Dengan takdir yang semakin membelit, Nadia membuat keputusan nekat. Dia melarikan diri dengan membawa rahasia terbesar dalam hidupnya-anak yang ia kandung, darah dari pria yang tak pernah tahu tentang keberadaannya. Namun, di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan ini, tak ada rahasia yang bisa tersembunyi selamanya. Ketika Satria mulai mencium bau kebohongan dan Reza akhirnya mengetahui kebenaran, pertanyaan muncul: Akankah Reza mengejar anaknya dan memulai hidup baru, ataukah Nadia, dengan ketakutan yang membara di dada, akan terus berlari, bersembunyi dalam bayang-bayang masa lalunya, mengubur rahasia itu selamanya?
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Warning 21+ mengandung konten dewasa, harap bijak dalam memilih bacaan. Winda Anita Sari merupakan istri dari Andre Wijaya. Ia harus rela tinggal dengan orang tua suaminya akibat sang ibu mertua mengalami stroke, ia harus pindah setelah dua tahun pernikahannya dengan Andre. Tinggal dengan ayah suaminya yang bersikap aneh, dan suatu ketika Anita tau bahwa ayah mertuanya yang bernama Wijaya itu adalah orang yang mengidap hiperseks. Adik iparnya Lola juga menjadi korban pelecehan oleh ayahnya sendiri, dikala sang ibu tak berdaya dan tak bisa melindungi putrinya. Anita selalu merasa was-was karna sang ayah mertua selalu menatapnya dengan tatapan penuh nafsu bahkan tak jarang Wijaya sering masuk ke kamarnya saat ia sedang tidur. Akankah Anita mampu bertahan tinggal bersama Ayah mertuanya yang hiperseks? Atau malah menjadi salah satu korban dari ayah mertuanya sendiri?
Kemudian Andre membuka atasannya memperlihatkan dada-nya yang bidang, nafasku makin memburu. Kuraba dada-nya itu dari atas sampah kebawah melawati perut, dah sampailah di selangkangannya. Sambil kuraba dan remas gemas selangkangannya “Ini yang bikin tante tadi penasaran sejak di toko Albert”. “Ini menjadi milik-mu malam ini, atau bahkan seterusnya kalau tante mau” “Buka ya sayang, tante pengen lihat punya-mu” pintuku memelas. Yang ada dia membuka celananya secara perlahan untuk menggodaku. Tak sabar aku pun jongkok membantunya biar cepat. Sekarang kepalaku sejajar dengan pinggangnya, “Hehehe gak sabar banget nih tan?” ejeknya kepadaku. Tak kupedulikan itu, yang hanya ada di dalam kepalaku adalah penis-nya yang telah membuat penasaran seharian ini. *Srettttt……