/0/20895/coverbig.jpg?v=94c835cd0f536597f1fafe8826bc55ee)
Seorang anak laki-laki berencana memberi cokelat pada gadis yang disukainya saat istirahat sekolah. Tapi, ketika teman-temannya mulai menggodanya, rencananya gagal. Akankah ia tetap punya keberanian untuk memberikannya di hari lain?
Pagi itu, Fajar duduk di sudut kelas dengan pandangan terpaku pada sekotak cokelat di atas mejanya. Dia menyembunyikan senyum kecilnya, merasa malu tapi bersemangat pada saat yang sama. Cokelat itu bukan sekadar cokelat biasa. Bagi Fajar, cokelat itu adalah wujud perasaannya yang selama ini hanya dia pendam dalam hati.
Di ujung sana, Mila tampak sibuk bercanda dengan teman-temannya. Senyumnya lebar, tertawa renyah, dan seketika suasana di sekitar seolah menjadi lebih cerah. Entah kenapa, Fajar merasa hari-harinya di sekolah jauh lebih berwarna sejak Mila pindah ke kelasnya beberapa bulan yang lalu. Ia menyukai cara Mila selalu bersikap baik pada semua orang, tak terkecuali dirinya yang pendiam.
"Fajar, kok senyum-senyum sendiri?" Ardi, sahabatnya, menepuk pundak Fajar sambil melirik cokelat di mejanya. "Oh, ini... buat Mila, ya?"
Fajar buru-buru menyembunyikan cokelat itu ke dalam laci. "Hush, jangan keras-keras!" bisiknya, wajahnya merah padam.
Ardi terkekeh kecil. "Santai, Faj. Kalau kamu suka sama Mila, bilang aja! Enggak perlu malu."
Fajar menghela napas panjang, lalu menggeleng. "Gimana cara bilangnya? Aku nggak tahu harus ngomong apa. Jadi... ya, aku pikir mungkin kalau kasih cokelat ini, dia bisa tahu."
"Kasih aja pas istirahat nanti," saran Ardi. "Tapi jangan lupa, jangan gugup!"
Fajar menelan ludah. Meskipun sudah mempersiapkan cokelat itu sejak semalam, nyalinya tetap saja menciut setiap kali membayangkan harus memberikannya langsung ke Mila.
Bel masuk berbunyi, dan pelajaran pun dimulai. Sepanjang pelajaran, Fajar sibuk mencuri pandang ke arah Mila. Setiap kali Mila tertawa atau tersenyum, Fajar merasa semakin gugup, tapi dia juga semakin yakin-hari ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya, walaupun lewat cokelat.
Saat bel istirahat berbunyi, Fajar merapikan barang-barangnya dan menguatkan hati. Dia melihat Mila keluar kelas bersama teman-temannya, menuju kantin. Fajar berjalan pelan di belakang, menunggu momen yang tepat.
Namun, Ardi yang dari tadi mengamati langkahnya, tiba-tiba berbisik dengan nada menggoda. "Fajar, ayo, sekarang atau enggak sama sekali!"
Mata Fajar terbelalak. "Ssst, Ardi, jangan keras-keras!"
Ardi tertawa kecil sambil mendorong Fajar mendekati Mila yang baru saja duduk di meja kantin bersama teman-temannya.
Fajar menahan napas, lalu menghampiri mereka dengan langkah sedikit gemetar. Di tangannya, ia menggenggam sekotak cokelat yang telah ia siapkan. Jantungnya berdebar-debar. Dia berusaha bersikap tenang, tetapi bayangan tentang Mila menolak atau teman-temannya mengejek membuatnya semakin gugup.
Namun, saat Fajar baru saja mendekati meja Mila, seorang teman sekelas mereka, Beni, melihat cokelat itu dan berseru, "Eh, cokelat, Fajar? Buat siapa tuh? Jangan-jangan buat Mila?"
Wajah Fajar langsung memerah. Teman-teman Mila mulai tertawa kecil, dan Mila pun tersenyum sambil menatap Fajar dengan heran. "Fajar... itu cokelat buat aku?"
Fajar terdiam sejenak, tak sanggup menjawab. Suasana terasa semakin canggung. Dia ingin berbicara, tapi kata-katanya seolah tertahan di tenggorokan. Beni dan teman-teman lain terus menertawakannya, membuat Fajar semakin gugup.
"A... anu..." Fajar bergumam pelan sambil menundukkan kepala, tak berani menatap Mila.
Akhirnya, ia merasa terlalu malu untuk melanjutkan rencananya. Fajar buru-buru memasukkan cokelat itu ke dalam sakunya dan berkata cepat, "Eh, maaf, aku... cuma bercanda kok."
Tanpa menunggu tanggapan, Fajar langsung berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan kantin dengan perasaan campur aduk-antara malu, kecewa, dan marah pada dirinya sendiri. Di belakang, Ardi hanya bisa menatap sahabatnya itu dengan raut prihatin, sementara Mila terlihat bingung dengan kejadian yang barusan terjadi.
Setelah kejadian itu, Fajar duduk sendirian di halaman belakang sekolah, memandangi cokelat yang masih ada di tangannya. Dia merasa bodoh. Semua rencananya untuk memberi cokelat itu kepada Mila malah berantakan.
Tak lama kemudian, Ardi menghampirinya dan duduk di samping. "Fajar... jangan terlalu disesali, bro. Emang nggak mudah, tapi kamu udah berani buat nyoba, itu udah keren."
Fajar mendesah panjang. "Iya, tapi... aku malah jadi bahan ejekan mereka. Aku nggak tahu apa Mila bakal suka kalau aku kasih cokelat ini lagi."
Ardi menepuk pundak Fajar. "Besok coba lagi, Faj. Kalau kamu benar-benar suka sama Mila, jangan gampang nyerah. Siapa tahu, Mila juga punya perasaan yang sama."
Fajar hanya mengangguk pelan, mencoba menyemangati dirinya kembali. Mungkin, besok adalah hari yang lebih baik.
Fajar duduk termenung di halaman belakang sekolah sambil memandangi cokelat yang masih ia genggam. Bayangan Mila tersenyum dan melontarkan pertanyaan sederhana tadi-"Itu cokelat buat aku?"-terus berputar di pikirannya. Ada sedikit penyesalan mengendap di hatinya karena tidak berani menjawab pertanyaan itu dengan jujur.
Suara Ardi yang memecah kesunyian mengagetkannya. "Fajar, kamu nggak mau makan siang? Sudah bel pulang nih, ayo balik."
Fajar menoleh, menatap sahabatnya dengan senyum tipis. "Kamu benar, Di. Aku harusnya nggak nyerah segampang ini. Tapi... kenapa aku malah kayak gini, ya?"
Ardi tersenyum, kali ini tanpa nada menggoda seperti biasanya. "Itu wajar, Faj. Semua orang pasti merasa gugup waktu mau bilang suka sama seseorang. Tapi ingat, kalau nggak sekarang, kapan lagi?"
Fajar mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia tahu benar bahwa Ardi benar. Ia harus punya keberanian lebih, atau momen seperti ini akan terus lewat begitu saja tanpa hasil. Akhirnya, Fajar menghela napas dalam dan menatap cokelat itu dengan tekad baru.
"Kamu nggak takut teman-teman bakal mengejek lagi?" tanya Ardi sambil melirik cokelat di tangan Fajar.
"Aku... aku bakal coba nggak peduli sama mereka, Di," jawab Fajar, mencoba menguatkan dirinya. "Aku bakal kasih cokelat ini langsung ke Mila besok, dan nggak akan mundur lagi."
Ardi menepuk pundak Fajar dan tersenyum lebar. "Nah, gitu dong! Besok, kalau ada yang ganggu, biar aku yang hadapi mereka. Kamu fokus aja sama Mila."
Mendengar dukungan Ardi, Fajar merasa lebih lega. Mereka lalu bangkit berdiri, siap pulang ke rumah. Namun, sebelum mereka beranjak, tiba-tiba suara lembut yang familiar terdengar di belakang mereka.
"Fajar?"
Fajar dan Ardi menoleh serentak. Mila berdiri beberapa langkah dari mereka, membawa buku di tangannya dan tampak sedikit ragu. Wajah Fajar langsung memerah, dan cokelat yang ia genggam tiba-tiba terasa berat di tangan.
"Hai, Mila," sapa Ardi lebih dulu sambil menyikut Fajar, memberi tanda agar Fajar bicara. Namun, Fajar tetap terdiam, terkejut melihat Mila berdiri di depan mereka.
Mila tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Aku cuma mau bilang... kalau memang tadi cokelat itu buat aku, terima kasih ya. Maaf kalau aku bikin kamu malu."
Fajar hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Mila tidak menertawakannya, tidak seperti yang ia bayangkan selama ini. Ia hanya tersenyum dengan tatapan hangat yang membuat perasaannya membuncah.
Akhirnya, dengan gemetar, Fajar mengulurkan cokelat itu pada Mila. "Ini... sebenarnya tadi aku memang mau kasih ini buat kamu."
Mila menerima cokelat itu sambil tersenyum lebar, dan matanya berbinar seolah dia benar-benar menghargai pemberian kecil itu. "Terima kasih, Fajar. Ini cokelat favoritku. Kamu benar-benar perhatian."
Fajar hanya bisa tersenyum kikuk, merasa lega sekaligus bangga. Di sampingnya, Ardi mengangguk-angguk bangga, seolah ikut merayakan kemenangan sahabatnya.
"Kalau begitu, aku permisi dulu ya. Sampai besok, Fajar... Ardi." Mila melambaikan tangan, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka dengan senyum yang manis.
Setelah Mila pergi, Fajar menoleh ke Ardi dengan wajah penuh rasa tak percaya. "Aku berhasil, Di. Aku kasih cokelatnya!"
Ardi tertawa sambil menepuk pundak Fajar dengan bangga. "Selamat, Faj! Ini baru namanya langkah pertama yang sukses!"
Dan begitu saja, hari yang awalnya penuh ketidakpastian berubah menjadi hari yang paling bahagia bagi Fajar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keberanian kecilnya itu berarti besar. Dan ia pun tahu, perasaannya pada Mila kini sudah tersampaikan dengan cara yang sederhana namun tulus.
Bersambung...
Di balik rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami diam-diam menjalani hubungan dengan teman masa mudanya. Saat rahasia ini terbongkar, ia dihadapkan pada kemarahan istri dan keluarga yang harus ia perbaiki atau ia tinggalkan.
Seorang istri yang baru mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh selama bertahun-tahun. Saat kebenaran terungkap, ia merencanakan pembalasan yang akan menguji kesetiaan dan kesabaran semua orang di sekitarnya.
Seorang wanita yang menikah dengan pria yang tampak sempurna mulai merasakan perasaan tak terduga terhadap pria lain. Saat ia terseret dalam kisah cinta terlarang ini, ia harus memilih antara hasrat atau komitmen pernikahannya.
Seorang pria yang merasa diabaikan oleh istrinya jatuh cinta pada teman dekatnya. Perselingkuhan ini perlahan-lahan menghancurkan persahabatan dan hubungan pernikahannya, meninggalkan bekas yang sulit disembuhkan.
Seorang wanita harus memilih antara kekasih rahasianya yang penuh gairah atau suami yang selalu mendukungnya. Saat ia terjebak dalam kebingungan, ia menyadari bahwa pilihannya akan mengubah hidup semua orang di sekitarnya.
Mobil Alia melaju perlahan menelusuri jalan berkelok yang membelah perkebunan teh hijau membentang luas. Aroma tanah basah dan daun teh bercampur dengan embun pagi, membangkitkan nostalgia dalam dirinya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kampung halamannya ini.
BERISI BANYAK ADEGAN HOT! Rey pemuda berusia 20 tahunan mulai merasakan nafsu birahinya naik ketika hadirnya ibu tiri. Ayahnya menikah dengan wanita kembar yang memiliki paras yang cantik dan tubuh yang molek. Disitulah Rey mencari kesempatan agar bisa menyalurkan hasratnya. Yuk ikuti cerita lengkapnya !!
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Awalnya pernikahan itu baik-baik saja. Semua menjadi hangat, luka akibat masa lalu Ainayya Hikari Salvina sedikit demi sedikit mulai sembuh. Tapi pernikahan hangat itu tiba-tiba diterpa gelombang. Menghancurkan sebuah kepercayaan dan membuatnya meninggalkan rumah yang sudah mengajarkan arti sebuah keluarga harmonis. Lalu mampukah Albara Demian Dominic sang pelaku kehancuran tersebut memperbaiki rumah tangga yang sudah membuatnya sembuh dari kejadian di masa lalu? Bisakah Albara mengobati luka yang dia berikan pada istrinya? Mari kita lihat bagaimana perjalanan Albara dalam mengejar cinta istrinya kembali.
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?