Kara tak menyangka, kesucian yang selama ini sangat dijaganya lenyap dalam satu malam. Hidupnya seketika berubah drastis. Dirinya diasingkan, dikucilkan, dan bahkan tak diperlakukan selayaknya manusia lagi. Kara sangat terpuruk, akan tetapi tetap mencoba bertahan demi sang anak. Hingga akhirnya setelah sekian tahun berlalu, dirinya kembali dipertemukan dengan sesosok pria yang telah memberikannya penderitaan yang amat mendalam. Pria itu semakin menjerat hidupnya. Lantas, akankah Kara sanggup kembali bertahan? Lalu, bagaimana jika pria itu akan merebut anaknya nanti? Akankah Kara rela melepaskan darah dagingnya begitu saja kepada pria yang telah membuat hidupnya hancur?
"Ughh!"
Suara lenguhan itu seketika membuat seorang gadis cantik terbangun dari tidurnya. Dengan kepala yang terasa pening, Kara berupaya bangkit. Ia mengerjap beberapa saat melihat sekitar yang terasa asing, hingga sedetik kemudian kedua netranya membulat sempurna ketika merasakan sebuah tangan kekar yang memeluk pinggangnya dengan begitu posesif.
Deghh!
"Astaga! Apa yang telah terjadi? Siapa dia? Kenapa dia bisa tertidur di sini bersamaku? Apa yang sudah .... "
Drrrtt!
"Bapak?" gumam gadis tersebut semakin tak berdaya.
Belum selesai dengan keterkejutannya, tiba-tiba saja Kara dikejutkan dengan hal lain. Sang ayah menelepon, sehingga dirinya semakin bingung hendak melakukan apa.
Sesak sudah napas Kara saat ini, dirinya tak sanggup membayangkan bagaimana ekspresi ayahnya nanti ketika mengetahui dirinya yang sedang berada di pelukan lelaki asing dengan pakaian yang entah tercecer ke mana.
"Maafkan Kara, Pak! Maaf, karena Kara sudah mengecewakan Bapak!" lirihnya pelan hampir tak bersuara.
Dengan meremas kencang ponselnya, tangis Kara akhirnya pecah. Kedua netranya kian memanas, seiring dengan semakin nyatanya mimpi buruk yang ada di hadapannya. Ia sama sekali tak menyangka, bahwa kesucian yang selama ini sangat dijaganya tiba-tiba terenggut begitu saja dalam satu malam.
"Kau yakin tidak akan menyesalinya? Kalau memang maumu seperti itu, dengan senang hati aku akan mengabulkannya!" ujar suara bariton yang seketika terdengar sangat mengalun di benaknya.
Setelahnya, Kara bisa kembali merasakan sebuah kecupan dan sentuhan yang sangat melenakannya. Bayangan itu, entah kenapa masih terasa sangat nyata. Kara benar-benar masih bisa merasakannya, hingga semakin lama tetes air matanya kian deras tak tertahankan.
Andai saja ia tak gegabah menerima ajakan berpesta teman-temannya, semua kejadian ini pasti tidak akan pernah terjadi di kehidupannya.
"No, Kara! Kamu harus segera keluar dari tempat ini! Dia bukan lelaki baik, karena telah memanfaatkan keadaanmu semalam!" desis gadis itu pelan memperingati diri sendiri.
Dengan mencengkram erat selimut yang telah menjadi saksi percintaannya, Kara akhirnya berusaha bangkit. Cepat-cepat ia menyeka bulir air matanya, dan beranjak. Namun sayang, pergerakan yang dibuatnya itu malah membuat seseorang yang tak diharapkan bangun. Kedua netra lelaki tersebut seketika memicing ke arahnya, hingga sedetik kemudian tangan kekarnya kembali menarik tubuhnya dan mengungkungnya tanpa celah.
"Mau ke mana kau, Sayang? Setelah semalam kau mendapatkan kepuasan dariku, lalu sekarang kau mau pergi begitu saja? Heumm?" tanya pria itu dengan salah satu alis tebalnya yang mengangkat ke atas.
Walau baru saja terbangun, aura intimidasi lelaki tersebut terasa kuat. Tatapan matanya yang tajam dan sedikit sayu, cukup membuat Kara mengatupkan bibirnya ketakutan. Hingga perlahan, degup jantungnya semakin bergerak cepat dengan peluh keringat yang mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Aku mohon! Tolong lepaskan aku! Ini sebuah kesalahan! Tidak seharusnya aku di sini!" lirihnya terpejam dengan tetes air mata yang kembali turun.
Kara mengigit kuat-kuat bibirnya, sambil terus mencengkram selimut yang ada di sampingnya. Ia mencoba menahan isak tangis, dan menghindar dari lelaki yang ada di atasnya. Namun sayang, semua usahanya itu nampak sia-sia saja. Tenaganya jauh lebih lemah dari lelaki tersebut, hingga membuatnya semakin tak berjarak.
"Kau pikir, kau bisa lepas begitu saja dariku?" bisik suara bariton itu setelahnya.
"Aku mohon, lepaskan ak...."
Belum sempat Kara menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja lelaki itu telah bergerak maju dan meraup bibir merahnya lebih dulu. Lelaki tersebut terus menyesapnya tanpa jeda, seolah sedang kecanduan permen manis. Dan terus membungkamnya, hingga hampir membuatnya kehabisan napas.
"Kau tentu tidak akan bisa pergi begitu saja dariku, Sayang! Kau sudah masuk ke dalam kehidupan seorang Barra Piterson! Dan kau tidak akan bisa keluar begitu saja, tanpa aku biarkan!" tekan lelaki itu sekali lagi, hingga membuat sekujur tubuh Kara kembali terasa merinding.
Deghh!
Barra Piterson? Rasanya Kara pernah mendengar nama itu. Entah di mana persisnya, akan tetapi yang jelas nama tersebut sepertinya pernah berseliweran di beberapa portal berita.
Tanpa memberikan jeda untuk Kara berpikir, lelaki yang bernama Barra itu seketika kembali bergerak menyesap lembut bibir menggoda yang ada di hadapannya. Ia benar-benar terus melakukannya dengan sangat bersemangat, seolah tak mau melewati satu bagian apa pun yang ada di dalam sana.
Barra, memanglah bukan lelaki biasa. Rupa wajah dan bentuk tubuhnya bagai pahatan sempurna yang menggambarkan tokoh para dewa, akan tetapi sayang sikap dan sifatnya bagai iblis yang tak kenal kata ampun.
"Balas kecupanku seperti semalam! Aku lebih suka dirimu yang liar dibandingkan yang cengeng seperti ini!" titah Barra semakin memaksa, seraya sedikit menghentakkan tubuh mulus di bawahnya.
"Barra! Tolong! Aku harus pulang! Bapakku sedang sak...."
Kara tak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena lagi-lagi Barra telah lebih dulu melakukan semua yang diinginkannya. Segala pemberontakannya bagai angin belaka. Lelaki itu semakin tanpa ampun membuatnya tak berdaya, hingga sekujur tubuhnya kian bergetar ketakutan.
"Cukup sudah sandiwaramu! Kau pikir, aku akan tertipu begitu saja dengan aktingmu? Heumm?" geram lelaki itu sekali lagi, hingga membuat Kara semakin menggeleng takut.
"Semalam kau sendiri yang datang dan menggodaku, akan tetapi sekarang? Kenapa tiba-tiba saja sikapmu berubah, seolah aku yang sudah memaksamu lebih dulu? Mimpi apa yang telah merubahmu seperti ini?" lanjut Barra kian tertahan dengan semakin mencengkram erat tangan Kara yang memberontak.
Dengan deru napas yang semakin menggebu, Barra kian menatap tajam kedua netra hitam Kara secara bergantian. Ia seketika merasa aneh, hingga setelahnya salah satu tangan kekarnya langsung mencengkram erat wajah cantik itu dengan kasar.
"Apa kau adalah salah satu orang suruhan musuhku untuk merusak nama baikku? Siapa namamu? Dan siapa juga nama orang yang telah mengirimkanmu ke sin-"
Bughh!
"Sia! Kau!"
Barra kehilangan kata-kata, tepat setelah Kara membenturkan kening di ujung hidung mancungnya. Darahnya mendidih, hingga membuat rahang tegasnya mengeras. Namun ketika hendak mencengkram kembali, sosok yang telah menghangatkan ranjangnya itu malah lebih dulu bergerak lincah meloloskan diri.
Dengan segera Kara merebut paksa sebuah selimut untuk menutupi dirinya, hingga lantas bergerak cepat meraih beberapa pakaiannya yang tercecer di atas lantai. Ia langsung membawanya berlari masuk ke dalam sebuah ruangan yang diyakininya sebagai toilet, sampai akhirnya ....
Brakkk!
Gadis itu terpeleset, ketika merasakan sensasi perih di area pangkal pahanya. Kara meringis kesakitan, hingga sedetik kemudian dirinya merasa melayang ke udara dengan tangan kekar yang berada di salah satu bahu dan juga lipatan kakinya.
"Sudah aku bilang bukan? Kau tidak akan bisa pergi begitu saja! Kau lupa telah berbuat apa saja semalam? Kau sudah berhasil membangunkan singa buas yang sudah lama tertidur! Jadi sekarang, jelaskan padaku siapa kau sebenarnya?"
Nara tidak menyangka, jika hasil penantiannya selama ini akan berujung pada sebuah surat perceraian. Nara dikhianati dan dibohongi oleh suaminya sendiri, hingga kehidupannya hancur. Nara sempat tak mempunyai harapan untuk hidup, hingga hadir seorang pria yang menjadi dewa penolongnya. Dia adalah Dimas, yang menawarkan sebuah bentuk kerja sama balas dendam padanya. Akankah rencana Nara dengan pria itu berhasil? Atau Nara malah akan terjebak dengan segala rencanya sendiri dan membuat hidupnya semakin hancur?
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Kehidupan Leanna penuh dengan kesulitan sampai Paman Nate-nya, yang tidak memiliki hubungan kerabat dengannya, menawarinya sebuah tempat tinggal. Dia sangat jatuh cinta pada Nate, tetapi karena Nate akan menikah, pria itu dengan kejam mengirimnya ke luar negeri. Sebagai tanggapan, Leanna membenamkan dirinya dalam studi andrologi. Ketika dia kembali, dia terkenal karena karyanya dalam memecahkan masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan infertilitas. Suatu hari, Nate menjebaknya di kamar tidurnya. "Melihat berbagai pria setiap hari, ya? Bagaimana kalau kamu memeriksaku dan melihat apakah aku memiliki masalah?" Leanna tertawa licik dan dengan cepat melepaskan ikat pinggangnya. "Itukah sebabnya kamu bertunangan tapi belum menikah? Mengalami masalah di kamar tidur?" "Ingin mencobanya sendiri?" "Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik bereksperimen denganmu."
Ayahnya menjadi seorang pengkhianat pada group mafia terbesar di negaranya bernama group Limson, membuat Arabella harus hidup dalam bahaya. Bagaimana tidak, Arabella harus menjadi tawanan kamar Tuan Stanley yang merupakan ketua mafia group Limson atau dia berkeliaran diluar sana dan diburu oleh anggota mafia lainnya.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"