/0/6622/coverbig.jpg?v=e7eae051dee0b354c3ccd49c8e69f246)
Aku tak pernah tahu arti sebuah kehilangan, sebelum akhirnya istri yang kusia-sia dan kucampakkan keberadaannya meninggalkanku dari rumah. Dia benar-benar pergi dan tak kembali. Bodohnya aku karena telah salah menilainya. Dia cantik, dia baik, dia juga begitu menjaga kehormatannya, hanya saja karena kenaifanku, aku justru memandangnya sebelah mata. Diana ... aku menyesal menduakanmu. Kau berhak bahagia dengan lelaki yang jauh lebih memuliakanmu daripada aku.
"Dasar istri katrok! Kampungan! Malu-maluin aja!"
Aku menyentak kasar pegangan Diana. Sebal. Bisa-bisanya ia mempermalukanku di depan teman-teman kantor. Kupikir mendandaninya saja bisa mengcover sedikit sifat kampungannya itu. Ternyata aku salah. Ia tak berubah. Diana tetap kampungan. Bayangkan saja. Ia melepas sendalnya saat masuk aula pesta. Belum lagi saat menaiki lift. Ia menjerit ketakutan. Mengundang gelak tawa teman-temanku. Bodohnya aku yang tak berpikir dua kali untuk mengajak Diana datang kemari.
Aku malu! Istri orang-orang berkelas masa iya kampungan begini? Kalau saja bukan karena Ibu. Mana mau aku nikah sama Diana! Huh!
"Bajunya terlalu terbuka, Mas," ucap Diana sambil menutupi bagian pahanya. Sengaja kupilihkan gaun yang cukup mini dan ada belahan di bagian tengah. Diana itu cantik, tubuhnya bagus, tapi sayang tak pernah dipamerkan. Oh, ayolah. Lihat istri teman-temanku yang tanpa malu memamerkan body goal mereka. Sesekali, aku pun ingin pamer milikku.
"Terbuka apanya sih? Wajar aja kok. Kamu tuh harus bisa menempatkan diri. Masa iya diundang pesta, kamu datang kayak ibu-ibu mau pengajian. Halah!"
"Tapi nggak gini juga, Mas. Aku risih!"
"Udah, deh. Jangan manja dan lebay. Kamu begini malu-maluin suami tauk!"
"Mas, aku risih. Orang-orang melihatku begini. Aku nggak nyaman."
"Makanya jaga sikap! Huh! Menyebalkan!"
Aku membuang napas kasar. Tahu gini, mending bawa Susan aja, sekretarisku di kantor.
"Mas ..."
Diana terus merengek. Sia-sia mencoba berbicara padanya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Tak ada orang. Hanya beberapa petugas catering yang membawai piring. Sengaja kubawa Diana ke halaman belakang gedung.
"Sudahlah, kamu tunggu di mobil saja. Balik ke parkiran sana. Aku mau ke dalam. Malu dilihat teman-teman," ucapku.
Diana menggeleng.
"Takut nyasar, Mas. Aku juga takut kalau sendirian."
"Lah kamu di dalam malu-maluin. Udah sana! Jangan banyak protes!"
Aku membalik badan. Berjalan meninggalkan Diana. Kucoba abai dan terus berjalan.
"Mas ... Mas ..."
Diana menarik ujung jas yang kukenakan. Tepat di anak tangga bagian belakang. Nyaris saja aku jatuh. Kesal, kudorong Diana hingga ia terjerembab ke belakang. Biarlah ia yang jatuh. Bukan aku. Nasib apes sebenarnya punya istri model begini!
"Astagfirullah, Pak! Bapak keterlaluan!"
Seorang pria dengan tergesa berjalan mendekat. Dari pakaian yang ia kenakan. Kentara sekali bahwa ia adalah pegawai catering yang bertugas di sini. Konyolnya lagi, ia bak pahlawan kesiangan, membantu Diana berdiri.
"Hey, jangan pegang-pegang istri saya!" sentakku sambil menatapnya tajam, tak suka. Ikut campur urusan orang saja. Lagi pula, aku sama sekali tak mengenalnya.
"Lah Bapak nggak nolongin. Mana tadi istrinya jatuh gara-gara Bapak juga." Pria itu menyindirku.
"Bukan urusanmu! Cepat pergi sana atau kulaporkan pada atasanmu! Tuh, banyak piring kotor di dalam." Aku mengancam.
"Mas, sudahlah." Diana menengahi.
"Sudah apanya? Semua juga gara-gara kamu. Ayo. Pergi sana ke parkiran!" ketusku pada Diana.
"Kamu juga. Kenapa masih diam di sini? Sana pergi!" bentakku pada petugas catering.
"Dasar lelaki sinting!" gumamnya yang terdengar jelas di telingaku.
"Apa kamu bilang?"
Petugas catering tak menjawab. Ia melengos pergi. Diana pun begitu. Kali ini tanpa penolakan, ia membalik badan. Berjalan menuju parkiran. Seperti perintahku.
Masa bodoh dengan Diana. Kini saatnya menemui rekan-rekan kantor di dalam. Kucoba menghubungi nomor Susan. Ia pasti datang malam ini. Setidaknya, meski hanya melihatnya saja, aku bisa meredamkan emosiku.
"Pak!"
Binggo!
Baru saja aku memikirkan, Susan ternyata datang. Aku sengaja memutar jalan. Hingga kini berada di depan pintu utama dan akhirnya bertemu dengan Susan.
Kuamati penampilan Susan dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya diikat ke atas. Menampilkan lehernya yang jenjang nan putih. Sepasang anting bertengger di telinga. Ia juga memakai kalung berbentuk V. Gaun malam yang ia kenakan didominasi warna biru elektrik. Tanpa lengan, dengan belahan di bagian depan dada. Kain bawahnya panjang menyentuh lantai, tapi ada belahan hingga sebatas paha. Tanpa sadar aku menelan ludah. Indah sekali.
"Sendirian aja, Pak?" tanya Susan yang seketika membuyarkan lamunanku. Ia celingak-celinguk. "Ibu nggak ikut?" tanyanya lagi.
"Tadi ikut, sekarang menunggu di mobil. Kamu tahu kan, istri saya itu kurang suka jika diajak ke pesta." Aku menjawab tanpa menutup-nutupi.
"Ouh, begitu. Jadi ... Bapak mau ke dalam sendiri?"
"Enggak lah. Ngapain juga sendiri. Kan ada kamu sekarang. Kita barengan."
Aku tersenyum penuh arti. Susan mengangguk lalu membalik badan. Ia menyelipkan tangannya dan menggamit lenganku. Tanpa ragu, tanpa malu, kami berjalan beriringan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Saat kami hanya berdua saja di kantor.
Bersambung ....
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Adult content 21+ Farida Istri yang terluka, suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Perasaan tersakiti membuatnya terjebak kedalam peristiwa yang membuat Farida terhanyut dalam nafsu dan hasrat. Ini hanya cerita fiktif. Kalau ada kesamaan nama, jabatan dan tempat itu hanya kebetulan belaka
Pelan tapi pasti Wiwik pun segera kupeluk dengan lembut dan ternyata hanya diam saja. "Di mana Om.. ?" Kembali dia bertanya "Di sini.." jawabku sambil terus mempererat pelukanku kepadanya. "Ahh.. Om.. nakal..!" Perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan pelukanku.. bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk.. kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya.. lalu mencium bibirnya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. "Oh.. Om.." desahnya pelan.
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.