/0/4392/coverbig.jpg?v=f8a2316b37c47f8ffa354ab9bbf1d633)
Didorong oleh sakit hati dan amarah. Yara, nekat membatalkan pernikahan di hadapan calon suami dan seluruh tamu undangan. Yara bahkan tak segan-segan melempar test pack tepat di hadapan calon suaminya. Pada akhirnya pernikahan yang diimpikan Yara, berakhir di hari H pernikahannya. Dihancurkan oleh calon suami dan rival-nya sendiri, membuat Yara depresi untuk waktu yang lama. Setelah berhasil mengumpulkan serpihan hatinya yang hancur, Yara memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan memulai hidup baru. Nahas, bukannya memulai kehidupan yang lebih baik di negara kelahirannya. Takdir justru mempertemukan Yara dengan Hayden--pria tampan yang cacat. Pernikahan impian yang diidamkan Yara bersama sang mantan calon suami pun justru gagal, dan berakhir di pelaminan bersama Hayden. Seolah dipermainkan takdir, kehidupan pernikahan Yara kembali diuji. Tidak hanya kembalinya sang mantan calon suami. Namun, rival yang menghancurkan hubungannya, serta wanita yang pernah berhubungan dengan Hayden pun memainkan intrik licik. Mantan kekasih suaminya tidak datang seorang diri. Melainkan membawa seorang anak yang 'katanya' anak dari Hayden. Mampukah Yara dan Hayden bertahan? Ataukan justru menyerah dan memilih jalan masing-masing?
Yara, tahu jika hidupnya dan semua umat manusia di muka bumi, bahkan takdir yang mereka lewati pun sudah ditetapkan oleh sang pencipta sebelumnya.
Yara, sangat tahu pula bahwa segala sesuatu yang dia inginkan. Tidak bisa dia dapatkan sesuai kehendak hati. Namun, dari semua takdir buruk yang dia alami. Kenapa takdir buruk itu harus terjadi hari ini? Hari di mana pernikahannya akan berlangsung!
Tidak pernah sedikitpun Yara berpikir dan menyangka, jika ia akan bertemu dengan rival-nya di masa lalu. Bukan hanya pertemuan tidak sengaja. Namun, wanita di hadapannya saat ini datang dengan niat untuk bertemu dengannya.
Tidak hanya jantung Yara yang seolah ingin berhenti berdetak. Namun, dunianya terasa runtuh detik itu juga, ketika wanita itu meletakkan benda berwarna putih berbentuk strip.
Dua garis merah yang terlihat jelas itu membuat dada Yara sesak. Netra dengan spektrum warna biru kehijauan itu menatap tajam ke arah benda di hadapannya.
Tanpa menyentuh benda tersebut. Yara lantas berucap, "Jangan pernah berharap aku akan terpancing, dan percaya pada ucapanmu! Apapun yang kau tunjukan saat ini, tidak akan memberikan dampak apapun padaku!" nada suara Yara terdengar dingin dan menusuk.
Sayangnya, gertakan kecil Yara tak memberikan efek apapun pada wanita yang duduk di hadapannya. Wanita dengan gincu merah itu justru membalas tatapan tajam Yara.
Perlahan bibir dengan polesan merah menyala itu bergerak lirih. Hingga terdengar suara yang tak kalah datarnya.
"Aku berani bertaruh. Pernikahanmu akan hancur! Kau tahu? Kau wanita paling naif yang pernah kutemui. Apa kau pikir selama ini Willian setia? Haha! Kau pikir dia tidak akan tergoda denganku? Sayang sekali, kau terlalu berpikir positif.
Kenyataan yang sebenarnya. Kami sudah berhubungan lebih dari tujuh bulan. Di usia ketiga bulan hubungan kalian, kami sudah bersama. Aku sempat heran, kenapa kau tidak menyadari ada yang berbeda dari sikap William.
Aku kembali teringat saat kuliah dulu. Kau seringkali menjadi korban yang dicampakkan oleh mantan kekasihmu. Kenapa? Itu karena kau terlalu bodoh, dan percaya pada seseorang yang hanya mengatakan cinta semata.
Bukankah aku sudah berbaik hati? Lebih baik kau mengetahuinya sekarang, daripada saat pernikahanmu sudah benar-benar terjadi. Dengan begitu kau bisa memutuskan sendiri. Ingin membatalkan pernikahanmu atau hidup bersama pria yang telah memiliki anak dari wanita lain di luar sana, dan wanita itu adalah aku!"
Kedua tangan Yara mengepal kuat, dengan tatapan penuh amarah. Emosinya sudah berada di ubun-ubun. Namun, Yara berusaha untuk menahannya agar tidak meledak detik itu juga.
Dengan senyum sinis yang terukir di sudut bibir. Yara, lantas berucap remeh. "Aku sudah bilang, aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan. Aku tidak akan tertipu dengan wanita licik sepertimu!"
Tak ingin meladeni wanita yang dulu selalu menjadi saingannya di kampus. Yara, lantas bangkit dari duduknya.
"Yara, tunggu!"
"Don't touch, bitch!" Yara, menghentak keras tangan wanita yang baru saja menyebarkan berita palsu padanya.
Yara, menolak percaya pada semua ucapan Dara Austin. Dia tidak ingin siapapun mengacaukan moment terpenting dalam hidupnya.
Wanita itu--Dara Austin, kembali meraih gaun yang dikenakan oleh Yara.
"Kau belum melihat semua bukti yang aku bawa!" terlihat jelas bagaimana Dara berusaha untuk membuktikan pada Yara, jika pengakuannya adalah kejadian yang sebenarnya terjadi.
Dara sempat dilanda keraguan. Sebab, dia tahu Yara adalah wanita yang berpikiran luas. Hanya dengan test pack itu saja, tidak akan bisa menggoyahkan Yara. Maka dari itu, Dara telah menyiapkan bukti kuat lainnya.
"Ini! Ambil dan cek sendiri!" Dara berhasil memberikan flashdisk dan beberapa lembar foto yang dibalik. Hingga Yara hanya bisa melihat tampak belakang foto itu.
"Aku sudah mengingatkanmu! Satu hal yang harus kau ingat. Aku tidak akan pernah mengalah, hanya karena kalian sudah menikah. Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa ayahnya!"
Yara, masih dalam posisi diam, sambil menggenggam benda yang diberikan oleh Dara, sembari menatap wanita itu yang berbalik lalu melangkah lebar meninggalkan ruang make up.
BRAK!
Saat pintu ruangan itu dibanting dari belakang oleh Dara, saat itu pula Yara menghela napas panjang.
Kembali ia meletakkan semua barang itu di atas meja, tepat di samping test pack.
Iris spektrum dua warna itu memandang lekat ke arah strip putih dengan dua garis merah. Bohong jika Yara mengatakan dirinya baik-baik saja, dan masih bisa berpikir positif.
Sebagai wanita, tentu saja perasaanya akan memburuk ketika mendengar berita wanita lain sedang mengandung anak dari kekasihnya.
William, adalah sosok yang telah menghabiskan waktu dengannya selama setahun. Yara, mengamanahkan kepercayaan besar pada pria yang sebentar lagi akan mengucap janji pernikahan dengannya.
Kehadiran Dara tentu saja membuatnya berasumsi negatif, dan Yara benar-benar tidak nyaman dengan perasaannya saat ini. Entah mengapa hati kecilnya memberi peringatan, dan pikirannya menjadi buruk pada William.
Yara, tidak pernah berpikir buruk pada William selama ini. Pria itu bahkan tidak pernah mengecewakannya. William adalah salah satu pria dari sekian miliar kaum adam di dunia ini, yang berhasil meluluhkan hatinya.
Yara, bahkan sampai mengambil keputusan besar untuk menjadi istri, dan membina rumah tangga yang hanya diisi kebahagiaan di masa depan. Namun, kenapa tiba-tiba terjadi seperti ini?
"Aku jangan sampai masuk dalam jebakan licik, Dara! Bukankah aku tahu jika dia bukan wanita yang baik?! Tapi kenapa sekarang aku bisa menaruh curiga pada William?!" Yara, mulai bicara sendiri sambil memukul kepalanya agar tidak lagi membayangkan semua ucapan Dara.
Lalu bagaimana dengan bukti itu? Apakah seharusnya dia mengecek bukti yang Dara berikan?
"Aku ingin lihat seberapa jauh dia membohongiku!"
Tidak! Sebenarnya bukan niat itu yang terlintas dalam hati Yara. Melainkan dirinya penasaran dengan benda-benda itu. Entah nantinya yang akan dilihatnya bisa menyakiti hati ataupun tidak. Namun, yang jelas dia harus memastikan semuanya.
Jujur saja, jika semua ucapan Dara benar adanya. Yara, mungkin akan hancur hingga ke titik terendah dalam hidupnya.
Jemari lentik dengan hiasan kuku indah itu perlahan terulur ke arah lembar foto dengan posisi terbalik di hadapannya.
Waktu seolah berhenti sejenak ketika Yara mulai membalik salah satu foto tersebut.
Deg!
Refleks napas Yara tertahan dengan kelopak mata melebar. Jemari lentiknya mulai gemetar hebat.
"Tidak, ini pasti palsu!"
Detik itu pula Yara langsung membuang foto tersebut ke lantai. Bukannya berhenti, justru tangannya dengan cepat menyambar foto yang lain.
Semua gambar di foto itu serupa. Yara bisa melihat jelas dua pasang tubuh yang sedang berpelukan di sebuah kamar yang jelas bisa ia tebak sebagai apartment William.
"TIDAK! DARA, SIALAN!"
Pada akhirnya, Yara kembali membuang semua foto itu dengan dada yang terasa begitu sesak. Sangat sesak, hingga ia merasa seolah baru saja mengalami asma dadakan.
Entah gambar itu palsu ataupun asli. Namun, Yara tak bisa mengontrol hatinya yang teriris. Gilanya, bukannya berhenti. Yara, justru berniat melanjutkan niatnya dengan meraih flashdisk hitam di samping test pack itu.
Sebelum memeriksanya, terlebih dahulu Yara menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Walaupun metode itu sama sekali tidak membuat perasaannya membaik. Namun, setidaknya ia telah berusaha untuk mengontrol emosi. Yara, tidak ingin mengacaukan semuanya hanya karena emosinya lebih dulu meledak.
Yara, bangkit sambil membawa flashdisk itu, kemudian berjalan ke arah nakas lalu meraih tab dan kabel OTG.
Setelah flashdisk terhubung melalui kabel kecil tersebut. Yara, lantas mulai memeriksa file dalam flashdisk itu.
Dengan jantung berdebar kuat, Yara tetap pada niat awalnya. Mengecek file itu dari atas.
Dari folder pertama yang diperiksa. Yara menemukan beberapa foto kebersamaan William dan Dara. Bukan hanya foto biasa. Namun, hampir semua foto itu menampilkan keduanya yang terlihat dekat.
Pose William dan Dara, bahkan sangat tidak pantas untuk dianggap seperti pose teman. Tidak ada teman yang berfoto dengan gaya seperti itu. Tidak hanya pelukan, tetapi ada yang lebih ekstrim daripada itu.
Sejenak Yara memejam erat. Dadanya naik turun begitu cepat. Tangannya yang bergetar hebat tidak menghentikannya untuk melanjutkan melihat semua isi flashdisk itu.
Tidak, setelah ia terlanjur memeriksa folder pertama. Ia tidak bisa melihat setengah-setengah saja bukti itu. Setidaknya, dia harus mendapatkan celah kesalahan dari bukti yang Dara berikan, dengan begitu segala pemikiran buruknya bisa hilang, dan kembali percaya pada William sepenuhnya.
Berbekal alasan itulah, Yara kembali melanjutkan mengecek folder kedua. Sama seperti isi folder pertama. Di folder kedua itu kembali menampilkan banyak foto kebersamaan William dan Dara.
Ada perbedaan di dua folder itu. Jika di folder pertama foto keduanya berada di dalam restaurant. Foto yang ia lihat saat ini memiliki baground kamar apartemen William. Tidak hanya itu. Namun, waktu pengambilan foto-foto itu pun berbeda.
Seperti yang Dara katakan sebelumnya. Jika menghitung tanggal, bulan, dan tahun foto itu diambil. Maka dengan yakin Yara mengakui jika foto itu dipotret saat tiga bulan pertama mereka menjalin hubungan.
Yara, menggigit kuat bibir bawahnya. Berusaha untuk mengalihkan sakit hatinya. Pikirannya yang sejak tadi sudah disusupi dengan hal negatif. Semakin bertambah parah dengan melihat isi folder dalam disk itu.
Dari beberapa folder yang telah diperiksa. Kini Yara dihadapkan pada folder terakhir, yang ternyata berisi video.
Tangannya semakin bergetar hebat. Otak dan hatinya memberi peringatan keras agar tidak memutar video itu. Namun, itu adalah bukti terakhir, yang diharapkannya bisa membuat asumsi buruknya menghilang.
Walaupun ekspektasinya sangat kecil untuk terwujud. Melihat ada banyak bukti yang membuat perasaannya kacau balau. Yara, seketika mengalami krisis kepercayaan diri.
Hingga pada akhirnya. Apa yang ditakutkan Yara benar-benar terjadi. Saat video itu mulai memutar berbagai reka adegan. Detik itu pula Yara merasa dunianya runtuh. Impian pernikahan yang diidamkannya bersama William luruh bersama desakan air mata yang tak bisa lagi dibendung.
Dara, benar-benar berhasil menghancurkan semua impian besarnya bersama William.
Yara, akhirnya menyerah. Dirinya tak mampu lagi melanjutkan tontonan tak senonoh itu. Bahkan kedua tulang kakinya tak mampu lagi berdiri tegak, membuatnya terkulai dengan gaun putihnya yang menyapu lantai.
Tidak hanya riasan wajahnya yang berantakan, karena lelehan air mata. Namun, rambut panjang bergelombangnya yang telah disanggul indah pun ikut berantakan, sebab kedua tangannya sibuk menarik rambut, dan bahkan melempar hiasan mahkota yang membuatnya terlihat seperti seorang ratu.
Melampiaskan kekecewaan dan segala rasa sakit melalui tangisan keras adalah jalan terbaik untuknya saat ini.
Setengah jam Yara berada di posisi seperti itu dengan tangisan pilu yang memenuhi ruangan make up.
Larut dalam kesedihan yang mendalam. Yara, tidak menyadari jika waktu pengucapan janji pernikahan semakin dekat. Indera pendengarannya pun seolah tak mampu lagi merespon ketukan di balik daun pintu.
Yara, yang masih terbuai dalam tangisnya. Perlahan mulai mengangkat kepalanya. Dengan mata dan hidung memerah parah. Arah pandangannya lantas tertuju ke arah pintu cokelat yang masih tertutup rapat.
'Berhenti, Ara!' Yara menutup bibirnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan isakan lagi.
"Nona Yara, apa Anda berada di dalam? Buka pintunya, waktu untuk masuk ke gedung utama sebentar lagi!"
Seruan dari luar seketika membuat Yara kembali mendapatkan tenaganya. Walaupun tidak sekuat sebelumnya. Namun, ia telah mampu berdiri.
Yara, punya prinsip dalam hidupnya. Orang lain boleh melihatnya bahagia. Namun, dia tidak akan pernah membiarkan seseorang memandangnya dengan tatapan kasihan.
Kendatipun demikian, bukan berarti dirinya akan mengorbankan hidupnya di masa depan. Melewati pernikahan panjang bersama pria, yang telah mengkhianati juga membohonginya. Yara, tidak mampu dan tak sekuat itu untuk menerima kesalahan fatal William.
Sejenak Yara mengatur napas, dan memperbaiki riasannya yang berantakan. Walaupun tak bisa menutupi mata sembabnya. Setidaknya ia telah berusaha untuk tampil sedikit lebih baik di hadapan ratusan tamu undangan. Terutama di hadapan William, dan juga mungkin Dara yang tetap bertahan untuk melihat acara pernikahannya. Walaupun pada kenyataannya ia sama sekali tidak mengundang wanita itu.
Yara, menguatkan hati untuk mengambil bukti-bukti itu. Dia tidak ingin terlihat memalukan dengan menyerang William tanpa pegangan apapun untuk dijadikan sebagai pembelaan diri. Walau pada akhirnya ia akan kembali menyakiti diri sendiri. Namun, hanya inilah yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dirinya di masa depan.
Dengan menggenggam sebuah bukti konkret. Yara, lantas meninggalkan ruangan itu bersama serpihan hatinya.
**
Setiap langkah yang Yara lewati bersama dengan seorang wanita muda yang sibuk membersihkan ekor gaunnya. Dadanya terus berdebar keras. Keringat dingin, dan gemetar tubuhnya semakin terasa. Jujur saja hal itu membuat mentalnya sedikit down.
Apakah dia mampu untuk berdiri di hadapan banyak tamu undangan dengan kondisi seperti itu? Namun, jika dipikir. Dia tidak bisa membiarkan William dan Dara menang mutlak atas dirinya yang terluka.
Bukankah seharusnya dia harus membela dan membuktikan dirinya kuat, walaupun sikap tegar yang akan ditunjukkannya itu hanyalah tameng untuk menyembunyikan luka batinnya.
Hingga pada akhirnya, Yara menghentikan langkah begitu berada di depan pintu besar dengan dua daun pintu yang siap terbuka lebar untuk menyambut kedatangannya.
"Nona Yara, sebentar lagi akan masuk. Nona bisa menarik napas panjang agar lebih rileks." Wanita muda yang berada di samping Yara memberi saran dengan senyum mengembang. Sayangnya, saat ini Yara sangat tidak menginginkan senyum dari siapapun.
Denting bel mulai terdengar, bersamaan dengan Yara yang mulai menghitung mundur dalam hati.
'Tiga'
'Dua'
'Satu!'
Tepat saat dihitungan terakhir. Kedua daun pintu itu pun terbuka lebar. Lampu sorot seketika menimpa tubuh Yara. Membuat semua perhatian tertuju padanya.
Yara, menelan saliva susah payah. Sebelum benar-benar melangkah memasuki ruangan tempat di mana dirinya akan mengucapkan janji pernikahan bersama William. Yara, menghentikan wanita di sampingnya yang akan segera menyingkir.
"Nona ini apa?" wanita itu menunjukkan flashdisk yang baru saja Yara berikan.
"Aku ingin memberikan kejutan pada calon suamiku. Aku ingin file dalam disk itu tertampil di layar," jelas Yara dengan suara pelan.
Belum sempat wanita itu bertanya lebih lanjut. Yara, lebih dulu melangkah memasuki ruangan tersebut.
Jantungnya berdegup sangat keras. Hingga rasanya terasa sesak. Sesak ketika melihat senyum lepas yang tampak sempurna dari kedua sudut bibir William, yang saat ini sedang melangkah mendekat ke arahnya pula. Berniat hendak menjemputnya.
Kaki kanan Yara berhenti terlebih dahulu ketika bertemu dengan ujung sepatu pantofel William.
Uluran tangan William terasa sangat sulit untuk Yara terima. Telapak tangan yang setelah setahun penuh memberinya perlindungan. Yara, tak menyangka jika hari ini dia tahu jika tangan itu tidak hanya melindunginya seorang. Namun, mungkin ada banyak wanita lain yang pernah merasakannya pula. Memikirkan itu, dada Yara semakin sesak.
"Yara, mari melangkah bersama menuju masa depan kita. Disaksikan oleh Tuhan dan seluruh keluarga serta tamu di sini."
William berucap dengan nada lembut. Terdengar sangat manis, dan semua wanita pasti akan merasa luluh mendengarnya. Begitupun dengan Yara, yang hampir saja terbuai dalam ucapan penuh dusta William.
Seiring detik berlalu, tatapan Yara semakin tajam. Tak ada lagi binar cinta yang sering terpancar dari bola mata indahnya.
Jika saja William mampu melihat betapa Yara menyembunyikan luka dari tatapannya. Pria itu mungkin tidak akan bisa lagi tersenyum lebar seperti saat ini.
"Sayang, hei?" William mencoba menyadarkan Yara dengan bisikan pelan. Nyaris tak terdengar. Namun, indera pendengaran Yara masih sangat normal untuk mendengar alunan nada lembut itu.
Dulu ... sebelum Yara melihat bukti yang Dara berikan. Dirinya selalu menjadi penikmat suara itu. Seolah dirinya ingin mendengar suara itu setiap detiknya.
Namun, untuk saat ini. Entah mengapa dirinya benar-benar muak. Sampai-sampai napasnya ikut memberat menahan desakan emosi. Berhadapan dengan pria yang telah membohonginya, dan menorehkan luka terdalam bukanlah hal yang mudah.
Saat William hendak meraih jari-jemari Yara. Terlebih dahulu Yara menjauhkan tangannya.
Seketika William menyadari perubahan Yara. Namun, masih bersikap tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa, dan itu membuat Yara semakin sulit menahan amarah.
"Yara, kita--"
"Aku ingin memberimu kejutan!" potong Yara.
Yara, tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Tidak, sebelum dia mengetahui sifat busuk William yang pria itu sembunyikan darinya selama setahun ini.
Tak memperdulikan kebingungan william. Yara, lebih dulu berjalan ke arah istana kecil yang didekorasi dengan ribuan tangkai bunga mawar merah.
Setiap langkah yang Yara ambil. Senyum miris tak henti-hentinya tersungging dari sudut bibir. Benar-benar merasa miris, hingga rasanya ia ingin menyelesaikan semua masalah ini secepat mungkin, lalu pergi dari ruangan yang menyesakkan dada.
Yara, lantas berdiri di samping William. Menghadap pada seorang pria tua yang sedang menatap keduanya serius.
"Kita akan memulai upacara pernikahan. William August, apakah Anda bersedia, dan tanpa menerima paksaan dari siapapun untuk menjadikan Yara Ophelia sebagai istrimu?"
Setiap kalimat yang tertangkap indera pendengarannya. Ritme jantung Yara semakin bertambah kuat.
"Saya bersedia!"
Yara, merespon jawaban tegas William dengan tangan mengepal kuat.
"Yara Ophelia, apakah Anda bersedia--"
"Tidak! Bahkan sampai mati pun aku tidak bersedia!"
Tanpa keraguan sedikit pun, Yara memotong dengan suara lantang, yang mampu membuat semua tamu syok berat.
William adalah orang paling syok di antara semua yang mendengar jawaban diluar dugaan Yara.
"Yara, apa maksudmu?!" William lantas meraih kedua pundak Yara, sambil mengguncang kecil dengan tatapan melebar sempurna.
Yara, tersenyum sinis bercampur pedih begitu menyadari raut wajah pucat pasi William.
"Lepas!" detik itu pula Yara langsung menepis kedua tangan William.
"Yara--"
"Jangan menyentuhku setelah tangan kotormu itu menyentuh wanita lain! Kau lebih menjijikan daripada sampah busuk sekalipun! Bertemu dan merencanakan pernikahan denganmu, adalah kesialan paling buruk dalam hidupku!"
Suara bentakan dan bahkan hampir menjerit itu memenuhi ruangan. Lantangnya suara Yara, mampu didengar jelas oleh semua tamu undangan. Sebab, di dekat Yara dan William ada sebuah mic yang sejak awal dipasang di sana.
Semua tamu masih dalam keadaan terkejut. Harapan mereka adalah ingin mendengar janji pernikahan. Bukan justru makian dahsyat yang keluar dari bibir Yara.
William yang menyadari semua tatapan sedang tertuju pada mereka. Tak bisa menahan rasa malu luar biasa.
"Yara, jangan membuatku malu! Apa maksudmu bicara seperti itu?! Apa yang terjadi padamu? Katakan yang sejujurnya. Aku tidak mengerti, kesalahan apa yang sudah kulakukan. Kita bisa membicarakan semua ini baik-baik. Tidak sampai seperti ini. Kamu mengacaukan pernikahan kita." William berusaha untuk tidak ikut terpancing.
Tangan kiri Yara terangkat, dengan jari telunjuknya yang terarah pada wajah William.
"Kau yang seharusnya jujur padaku! Bukan aku yang menghancurkan pernikahan ini, tapi kau! Kau yang sudah menghancurkan semua impian besarku!"
"Tidak, Yara--"
"KAU BERSELINGKUH DENGAN WANITA LAIN, BRENGSEK!"
*Bersambung.
Niat hati mengunjungi kelab untuk menghilangkan stres. Joana justru memergoki kekasihnya sedang bermain panas dengan empat wanita malam sekaligus. Dilanda sakit hati berat. Joana langsung memutuskan hubungan, dan melampiaskannya pada minuman dengan kadar alkohol tinggi. Pengaruh buruk dari minuman itu, menjadi penyebab utama Joana berakhir di salah satu kamar khusus pengunjung kelab. Joana tidak menyangka dirinya akan berakhir di pelukan pria asing setelah memergoki pengkhianatan mantan kekasihnya. "Kau sudah terlanjur masuk dalam kehidupanku. Mulai detik ini, jangan pernah berharap untuk lepas dari kekuasaanku!" 'Kenapa aku harus terlibat dengan pria ini?!' Joana merasa dunianya runtuh begitu mendapati kenyataan, jika pasangan one night stand-nya malam itu adalah kakak dari mantan kekasihnya sendiri.
"Kita adalah dua orang yang tak seharusnya bersama," lirih Xena pilu. Morgan menarik dagu Xena dan berdesis, "Sejak awal, kita memang sudah ditakdirkan bersama." Xena Foster terkenal dengan kehidupan glamour dan selalu berfoya-foya. Bagi Xena, dirinya tak perlu bekerja susah payah, karena selama ini gadis itu selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Hidup Xena memang selalu menjadi idaman para gadis di luar sana. Sempurna dan tak memiliki celah kekurangan. Namun, siapa sangka semua itu berubah di kala Xena bertemu dengan Morgan Louise—sosok pria tampan yang mampu menggetarkan hatinya, bahkan membangkitkan hasrat memilikinya. Morgan telah berhasil, membuat Xena tergila-gila pada pria itu. Sayang, perasaan cinta Xena telah terjebak pada kenyataan pahit tentang Morgan Louise. Kenyataan yang telah menghancurkannya. Bagaikan di ambang jurang, mampukah Xena bertahan? *** Follow me on IG: abigail_kusuma95
Ryan Sudono adalah seorang dosen muda yang menawan dan cerdas di sebuah kampus swasta ternama di salah satu kota besar di Jakarta. Ryan Anak tunggal dari keluarga yang sangat berada dan Papa Sudono dan mama Tyas pun juga seorang dosen. Papa dan mamanya Ryan ini sangat berpengaruh dalam kehidupan Ryan karena sejak kecil Ryan sering melihat kemesraan papa mamanya itu di rumah dan juga perhatian serta support papa mamanya itu di kehidupan Ryan sampai dengan saat Ryan sudah beranjak dewasa bahkan saat Ryan sudah menikah papa mamanya masih sangat perhatian apalagi kedua ortunya itu berharap sekali agar cepat dapat momongan dari Ryan dan istrinya. Ryan Sudah beristrikan Tania yang sangat cantik. Tania sesama Dosen yang baru beberapa hari ia nikahi, Namun ada kekecewaan dengan Tania sebagai istrinya di awal-awal pernikahan mereka. Disisi lainnya sang Istri Ryan yaitu Tania yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja meski tak sekaya keluarga Ryan namun Tania juga punya kecerdasan di akademiknya yang membawa bisa berprofesi sebagai Dosen bareng sang suami, Ryan. Namun demikian, Tania punya kisah tersendiri dengan lelaki yang dulu mengejar cintanya saat ia masih SMA yaitu Robi. Mereka dipertemukan kembali saat ada acara reuni SMA. Robi ini awalnya seperti yang Tania kenal semasa di SMA dulu namun dalam perkembangannya mungkin karena lingkungan yang salah seiring berjalannya waktu si Robi ini ternyata menyimpan hal buruk yaitu memiliki profesi sebagai pengusaha pinjol yang banyak menjerat nasabahnya sehingga para nasabahnya itu terlilit hutang yang banyak ke perusahaan aplikasi pinjol milik Robi. Dan salah satu korban dari pinjolnya Robi adalah Rani mahasiswinya Ryan yang nantinya seorang dokter muda bernama Bayu lah yang berhasil melepaskan Rani dari cengkeraman kejahatan Robi. Kehidupan rumah tangga Ryan dan Tania terganggu oleh kehadiran Maya yang sejak lama sebelum Ryan menikah dengan Tania, dimana Maya diam-diam juga jatuh hati pada Ryan. Maya yang juga sahabat dari Ryan dan Tania, bekerja sebagai dosen di kampus yang sama juga dengan Ryan dan Tania. Kehidupan rumah tangga Maya dengan sang suami yang tidak sesuai harapan ini karena perjodohan dari ortunya. Maya akhirnya terpaksa menikah dengan lelaki pilihan ortunya yaitu Joko yang berwatak keras sehingga Maya merasa tidak bahagia selama hidup dengan suaminya itu. Joko dipilih oleh para ortu merkea karena Joko adalah putra dari sahabat sang mamanya Maya yang berteman akrab dengan mamanya Joko. Dengan alasan agar Joko bisa meneruskan usaha ayahnya Maya yang memiliki perusahaan properti sebagai salah satu manajer disitu maka Joko suatu saat diharapkan bisa menggantikan peran ayah mertua di perusahaan properti itu. Sampe usia pernikahan yang ke-3 tahun mereka belum dikaruniai anak. Entah siapa yang mandul yang jelas mereka berdua saling cuek dan belum periksa ke dokter tentang siapa yang mandul. Padahal idealnya sepasang suami istri mengharapkan kehadiran keturunan di keluarga mereka untuk melengkapi kebahagiaan sebuah rumah tangga. Sementara itu salah satu mahasiswinya Ryan yaitu Rani yang mungil tapi cantik dan agresif juga sangat menggebu mendekati Ryan. Rani yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas kuliahnya ditambah lagi tidak bisa fokus karena sedang bolak bali ke Bandung mengurus ibunya yang sedang sakit, disinilah Ryan terkondisi untuk terus membantu Rani dalam hal pengobatan sang ibu namun sayangnya hal ini nampaknya benar-benar dimanfaatkan Rani untuk mendekati Ryan sekaligus mengambil keuntungan dari kekayaan Ryan yang berlimpah. Padahal ada pria lain yang begitu baik yang sangat menyukai Rani yang tinggal kota bandung bersama sang ibu, yaitu Bayu seorang Dokter muda yang selalu setia melayani ibunya Rani di Rumah Sakit selama menjalani perawatan. Hubungan Ryan dan Maya semakin dekat tanpa diketahui oleh Tania apalagi kondisi rumah tangga Maya yang tidak harmonis dengan Joko sang suami membuat Maya semakin melarikan dirinya ke pelukan Ryan yang menawan itu. Ditambah lagi gairah Tania dalam berhubungan dengan Ryan sebagai sepasang suami istri sangat berbeda dengan perlakuan manis Maya ke Ryan. Pun Tania sempat terpesona oleh Robi sang mantan sewaktu di SMA nya dulu. Namun demikian dari semua itu, pada akhirnya Ryan dan Tania tetap bersatu karena ada hal yang ternyata bisa membuat mereka tetap mempersatukan mereka. Satu per satu orang-orang mencoba mengganggu kehidupan rumah tangga mereka itu berguguran alias mundur dan kembali dengan kehidupannya masing-masing secara normal kembali. Untuk Maya pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan dari lelaki yang cocok dengannya. Sedangkan tokoh antagonis seperti Robi dan Joko pada akhirnya akan kena getahnya di akhir cerita nantinya. Untuk Mahasiswinya Ryan yaitu si cantik Rani pada akhirnya jatuh ke pelukan pria yang mau secara tulus menjaga dan melindunginya sekaligus ikut merawat ibunya selama ibunya sakit yaitu Dokter Bayu.
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Novel Ena-Ena 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti CEO, Janda, Duda, Mertua, Menantu, Satpam, Tentara, Dokter, Pengusaha dan lain-lain. Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
AREA DEWASA! YANG BELUM CUKUP UMUR, MINGGIR DULU YA, CARI BACAAN SESUAI UMURNYA. NEKAT BACA CERITA INI, DOSA TANGGUNG SENDIRI. Pertemuan Anne Mary yang masih berumur 18tahun dengan Marcio Lamparska, 30tahun dalam sebuah tragedi pembunuhan di Tokyo dimana Marcio sebagai pelaku pembunuhan dan Anne yang menjadi saksi matanya membuat hubungan antara Anne dan Marcio terikat dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan karena akibat dari tragedi pembunuhan tersebut, Anne yang merupakan orang terdekat dengan korban, tertuduh menjadi tersangka utama pembunuhan. Sebelum interpol menemukan dan menangkap Anne, Marcio bersama anak buahnya sudah terlebih dahulu menculik gadis itu dan membawanya ke Murcia, Spanyol, kediaman Marcio berada. Anne Mary yang memiliki otak jenius di atas rata-rata hanyalah seorang gadis muda yang sangat lugu, polos namun memiliki mulut yang tajam pedas dan kritis sedangkan Marcio yang tanpa dia sadari sudah jatuh cinta kepada gadis muda tersebut semakin membuatnya protektif menjaga dan memberikan pelatihan-pelatihan fisik pada Anne yang tentu saja semakin membangkitkan api dendam dalam diri Anne yang membara di dalam dadanya. Anne akhirnya bersedia membuka hatinya untuk menerima perasaan Marcio agar dia bisa lebih mudah untuk membunuh pria itu yang ternyata tanpa dia sadari masuk ke dalam perangkapnya sendiri, jatuh cinta pada Marcio. Bisakah Anne melupakan Touda Akira sepenuhnya, orang yang sudah menjadi korban pembunuhan Marcio, dimana Touda merupakan cinta pertama Anne yang mencintainya secara diam-diam dan melupakan balas dendamnya pada Marcio? Bagaimana dengan Iosef, tangan kanan musuh besar Marcio yang sejak pertama kali bertemu dengan Anne, memiliki perasaan tidak biasa terhadap gadis mungil itu. Iosef juga musuh yang pernah melukai Anne namun juga menyelamatkan gadis itu dari kematian. Demi menyelamatkan Marcio, Anne terpaksa ikut pergi dengan Iosef. Iosef yang lembut, perhatian, sangat posesif dan mencintai Anne dengan nyawanya. Cinta yang tulus dan abadi namun memahami jika gadis yang dia cintai tersebut masih mengukir nama Marcio di dalam hatinya. Dalam pelarian bersama Iosef, Anne tumbuh semakin kuat, tangguh dan sangat cantik mempesona. Ayunan pedangnya sangat cepat, akurat, dan sikapnya tegas, tidak segan membunuh siapapun yang menjadi tugas dalam misinya. Akankah pertemuan kembali Anne dan Marcio bisa menumbuhkan perasaan cinta dan kerinduan di antara mereka lagi atau mereka menjadi musuh yang akan saling membunuh? Ikuti terus cerita Anne Mary ini dari seorang gadis biasa yang jelek menjadi seorang gadis muda yang sangat cantik dan memukau namun sifatnya yang sangat tidak peka akan cinta membuat para pria yang terpikat padanya selalu salah paham akan sikapnya. “Ini bukan tentang cinta dan siapa yang kamu pilih, tapi kepada siapa kamu akan berkomitmen untuk memberikan hati yang kamu yakini dia bisa menjaga hatimu dengan sangat baik,” – Anne Mary. CERITA INI EXCLUSIVE HANYA ADA DI BAKISAH!
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih