/0/3417/coverbig.jpg?v=0709970bfecd1f5fe412002907769292)
Deli ingin mencari ketenangan dari semua masalah yang sedang dihadapinya, dengan cara menumpang hidup di rumah Dena–Adik Kandungnya
Jam di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas siang, cuaca terasa sangat panas hari ini. Alhamdulillah, semuanya selesai tepat waktu sesuai perkiraanku. Mengamati dan memastikan kembali keadaan rumah, rasanya senang melihat semua sudah bersih dan rapi. Sejak pagi, aku dan Nisa bekerjasama menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Satu per satu ku tutup pintu kabinet di dapur. Bahan makanan serta keperluan sehari-hari lainnya, baru saja selesai ditata rapi sesuai tempatnya. Ku lepas rasa lelah dengan duduk bersandar di kursi. Terlintas dalam pikiran ingin menikmati segelas es teh manis, pasti terasa sangat segar di tenggorokan.
Saat ini yang ada di rumah hanya aku dan Nisa–Anak Sulungku. Sejak selesai menyantap sarapan pagi, Bang Hasyim–Suamiku dan Zio–Anak Bungsuku pergi bersama-sama mengikuti kegiatan gotong royong. Hari ini semua warga di sini wajib ikut berperan serta membersihkan saluran air yang tersumbat di ujung komplek perumahan.
Dua hari yang lalu, sedari pagi hingga sore hujan turun sangat deras. Tadi pagi saat aku pergi ke pasar untuk berbelanja, luapan air selokan masih menggenang setinggi mata kaki di depan gerbang masuk komplek. Menurut informasi dari tetangga sebelah rumah, saluran air yang berada di ujung komplek tersumbat oleh banyak sekali sampah.
Perlahan ku aduk seduhan teh di dalam gelas dengan dua sendok makan gula. Dari kulkas, ku ambil beberapa buah es batu kecil kemudian memasukkannya ke dalam gelas. Samar-samar terdengar seperti suara ketukan pintu. Ku hentikan adukan sendok di gelas, mencoba mendengar lebih jelas.
"Assalamu'alaikum ...." Kini terdengar suara seseorang mengucap salam.
Nisa yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga terdengar menyahut salam. Ku lihat dia mematikan televisi, kemudian beranjak pergi ke pintu depan. Ruang keluarga dan dapur rumah tidak ada sekat, apapun yang terjadi di ruang keluarga bisa terlihat dari dapur.
'Wa'alaikumsalam ... eh, Tante Deli. Mari masuk, Tante! Sendirian aja, ya?" Sesaat hening, tak terdengar jawaban apapun dari lawan bicara Nisa. Tak lama terdengar seperti suara gesekan benda berat bergeser di lantai.
Ternyata Kak Deli yang datang, tapi tadi tak terdengar suara mobil travel yang mengantarnya. Biasanya dia ke sini bersama anak atau menantunya, kali ini kenapa hanya datang sendirian?.
"Sini, Nisa bantu bawa kopernya!" Santun terdengar suara Nisa menyambut kedatangan Tantenya. Kureguk es teh manis hingga tersisa setengah gelas, setelahnya kembali menajamkan telinga menyimak percakapan Nisa dengan Kak Deli.
"Iya, Nisa. Terimakasih, loh, hati-hati berat! Makin tinggi aja kamu, Nisa. Kok, malah jadi kelihatan kurus banget. Nggak bagus tahu, kurus kayak gini!" Teganya Kak Deli mengomentari tubuh Nisa. Seolah sangat perhatian pada keponakannya itu, padahal di telingaku terdengar seperti sedang menghinanya.
"Nih ada sedikit oleh-oleh dari kampung, kasih sana ke Mamak mu!" titah Kak Deli.
Sesaat tak terdengar apapun, aku mengernyitkan kening.
"Ngapain lagi kamu, Nisa? Sana, cepat panggil Mamakmu!" hardik Kak Deli pada Nisa. Aku tersentak. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Nisa, sehingga Kak Deli meninggikan suaranya.
Baru saja hendak beranjak, derap langkah Nisa terdengar semakin dekat. Yang pertama terlihat adalah raut wajahnya yang murung dan juga kesal. Anak perempuanku yang mulai beranjak remaja ini, tertunduk lesu melangkah ke arahku.
"Mak ... Tante Deli sudah datang! Bawa koper besar, loh! Nisa bantu angkat tadi, ternyata berat banget. Jangan-jangan ... isinya batu!" celetuk Nisa dengan polosnya.
Hah! Koper Besar? Apa Kak Deli berencana tinggal lama di rumahku? Apa terjadi sesuatu di kampung, atau Kak Deli hanya ingin liburan saja. Aku terus menduga-duga, apa sebenarnya tujuan kedatangan Kak Deli ke sini. Semakin dipikirkan rasanya sangat aneh, tak mungkin Kak Deli meninggalkan usaha warung makan yang dikelolanya di kampung.
Usaha warung makan itu dulunya milik almarhum Ibu, Kak Deli meneruskannya setelah kondisi kesehatan Ibu semakin memburuk. Dari hasil usaha warung itu lah, Kak Deli mencukupi kebutuhan hidup dia dan anak-anaknya.
Nama ku Dena, aku saudara satu-satunya Kak Deli. Ibu kami sudah wafat 10 tahun yang lalu, sedangkan Ayah sudah menikah lagi setahun setelah Ibu wafat.
Seketika lamunanku buyar, saat Nisa menyentak lenganku pelan.
"Mak ... dengar Nisa, tidak?" rengeknya.
"I–iya, Sayang! Mamak dengar, kok."
"Tadi Tante Deli sempet-sempetnya komentar, kalo Nisa terlalu kurus. Lah, emangnya Nisa kurus banget, ya? Nyinyir banget sih mulut Tante Deli, Nisa nggak suka!" Setengah berbisik Nisa berbicara, seperti takut terdengar oleh Kak Deli. Ternyata Nisa paham dan masih ingat tabiat Tantenya itu.
"Nisa nggak lupa, kan? Apa pesan Mamak, bila ada yang memperlakukan Nisa seperti Tante Deli tadi? Ambil nafas tiga kali dari hidung, dan hembuskan dari mulut. Ucap Istighfar sebanyaknya dalam hati, terus ... kasih deh senyum termanis yang Nisa punya!" Kuusap-usap bahunya menenangkan, menatap gemas wajahnya yang mulai tersenyum.
Nisa mengulurkan tangannya padaku, memberikan satu bungkusan plastik yang dibawanya.
"Nih Mak, Tante Deli bilang ini buat Mamak! Oleh-oleh dari kampung katanya, boleh Nisa lihat tidak apa isinya?" Pasti dia mengira isi plastik ini jajanan kampung kesukaannya. Camilan adalah makanan favorit Nisa, kalau belum dapat yang diinginkannya pasti akan terus menggangguku.
"Kalau isinya camilan bolehlah, ya, Nisa minta? Buat besok dibawa ke rumah Lia, jadi Mamak besok nggak perlu bikinkan Nisa camilan lagi." Tuh kan benar dugaan ku. Belum lagi sempat menjawab, Nisa sudah merebut plastik yang diberikannya tadi. Padahal aku sendiri belum melihat apa isi di dalamnya.
"Eh ... anak ini, main rebut aja! Sana bilang Tante Deli, tunggu sebentar. Mamak mau ganti baju dulu!" Nisa mendengus kesal, terpaksa memberikan lagi plastik berisi oleh-oleh itu kepadaku.
Dari dalam kamar, samar ku dengar Nisa mengobrol dengan Kak Deli. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengar dengan jelas.
Selesai berganti pakaian dan sedikit memoles wajah agar tak terlihat pucat. Aku tersentak saat hendak melangkah keluar kamar, tiba-tiba saja Nisa sudah menghadang di depan pintu. Matanya mengamatiku dengan seksama, seperti sedang mencari-cari sesuatu.
"Mana Mak bungkusan tadi, apa sih isinya? Nisa mau, Mak!" Alisnya dinaik turunkan, tangan kanannya diangkat setinggi dada menadah padaku, sedang tangan kirinya berkacak pinggang. Tingkah Nisa membuatku tertawa terbahak-bahak, ada saja ulahnya di rumah selama libur sekolah ini.
"Tuh, Mamak taruh di atas meja dapur." Tanganku menunjuk ke arah plastik yang dicari Nisa.
"Makan siang dulu, Mamak sudah masak lauk kesukaanmu. Itu oleh-oleh bisa dimakan nanti saja, tunggu Adek sama Bapak pulang, ya!" sambungku lagi.
"Iya, Mak! Oh iya, Jadi nanti malam Nisa tidur sama Tante Deli, ya? Nisa tidur sama adek Zio aja, ya, Mak?" Mulut Nisa mencebik, tangannya menggoyang-goyangkan lenganku berusaha membujuk.
Ku sentil ujung hidung Nisa, mengacak-acak rambut pendeknya agar dia segera menyingkir dari depan pintu kamar. Nisa memasang raut wajah sedih, terlihat kecewa karena aku tak mau memenuhi permintaannya.
Di ruang tamu, terlihat Kak Deli duduk santai di sofa. Sepertinya tengah asyik menonton sesuatu di ponselnya.
Sebenarnya aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Biasanya Kak Deli akan memberi kabar jauh hari sebelum keberangkatannya, bila ingin mengunjungiku di sini. Tadi malam, setelah adzan isya berkumandang Kak Deli menelponku. Katanya baru saja berangkat dari rumah, akan menuju kota tempat tinggal ku sekarang.
Aku tak sempat menanyakan apa-apa, takut Kak Deli tersinggung dan marah. Tabiatnya yang mudah marah dan keras kepala, membuatku berpikir berulang kali untuk bertanya. Daripada nanti dapat amukannya saat sampai di rumahku, lebih baik aku diam dan mengiyakan saja ucapannya.
Setelah panggilan berakhir, langsung saja ku beritahukan hal ini pada Bang Hasyim. Dia hanya mengangguk saja, tanda bahwa setuju dan tak keberatan akan kedatangan Kak Deli.
"Maaf, ya! Kakak jadi menunggu lama. Dena baru selesai beresin dapur, mumpung hari minggu," celotehku pada Kak Deli. Yang ku ajak bicara terkesan cuek dan tak peduli.
"Kamar yang biasa ku tempati sudah siap, kan? tanya Kak Deli tanpa melihat ke arahku sama sekali.
"Se–sementara, Kak Deli sekamar sama Nisa dulu, ya? Di kamar tamu banyak stok barang pesanan pelanggan, rencananya nanti sore baru diambil pemiliknya, Kak!" Aku tersenyum kecut, saat Kak Deli spontan menoleh kearahku. Wajahnya memancarkan rasa tak suka atas jawabanku tadi.
"Ya sudah, bilang Nisa tolong bikinin minuman dingin dan bawakan ke kamar. Aku mau istirahat dulu, capek banget rasanya!" Pandangan Kak Deli tak lepas dari layar ponsel, dia perlahan beranjak menuju koper yang diletakkan Nisa didekat meja tamu.
"Kenapa Kak Deli tak langsung memintaku menyiapkan minuman yang dimintanya, malah menyuruhku bilang ke Nisa? Aneh!" Monolog ku sambil menggelengkan kepala.
Langkahku terhenti, saat hendak beranjak menuju dapur. Ku perhatikan apa yang sedang dilakukan Kak Deli. Raut wajahnya tak menunjukkan kelelahan, penuh senyum seperti sedang kasmaran. Dengan pandangan masih ke layar ponsel, Kak Deli melangkah tertatih menyeret koper besar menuju ke kamar Nisa.
Di dapur, kuambil sebotol minuman dingin dari dalam kulkas. Membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Di atas nampan bermotif bunga, ku letakkan setoples nastar keju beserta gelas berisi minuman dingin tadi.
Saat hendak beranjak membawa nampan, terasa getar ponsel di saku gamisku. Di layar terlihat ada pesan masuk, rupanya dari Bang Anto. Keningku mengernyit, tak paham dengan isi pesan itu.
Belum hilang kebingunganku, dering panggilan masuk di ponsel membuatku tersentak. Tertera nama Bang Anto, namun tak langsung ku terima panggilan teleponnya. Aku bergegas membawa nampan menuju ruang keluarga, terlihat Nisa sedang menonton tayangan televisi.
"Nisa ... tolong antarkan ini ke Tante Deli di kamarmu, ya. Jangan lupa, ketuk pintu terlebih dahulu!"
"Siap ... Mak!" Nisa langsung beranjak mendekat. Dengan sigap dia mengambil nampan di tanganku, kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur Nisa tak pernah protes dan mengeluh saat diminta bantuan apapun.
Dering ponsel masih terdengar, ku percepat langkah menuju kamarku. Jemariku menggeser tombol hijau di layar ponsel, setelah sebelumnya pintu kamar ku pastikan tertutup rapat dan terkunci.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Semua orang terkejut ketika tersiar berita bahwa Raivan Bertolius telah bertunangan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pengantin wanita yang beruntung itu dikatakan hanyalah seorang gadis biasa yang dibesarkan di pedesaan dan tidak dikenal. Suatu malam, wanita iru muncul di sebuah pesta dan mengejutkan semua orang yang hadir. "Astaga, dia terlalu cantik!" Semua pria meneteskan air liur dan para wanita cemburu. Apa yang tidak mereka ketahui adalah bahwa wanita yang dikenal sebagai gadis desa itu sebenarnya adalah pewaris kekayaan triliunan. Tak lama kemudian, rahasia wanita itu terungkap satu per satu. Para elit membicarakannya tanpa henti. "Ya tuhan! Jadi ayahnya adalah orang terkaya di dunia? "Dia juga seorang desainer yang hebat dan misterius, dikagumi banyak orang!" Meskipun begitu, tetap banyak orang tidak percaya bahwa Raivan bisa jatuh cinta padanya. Namun, mereka terkejut lagi. Raivan membungkam semua penentangnya dengan pernyataan, "Saya sangat mencintai tunangan saya yang cantik dan kami akan segera menikah." Ada dua pertanyaan di benak semua orang: mengapa gadis itu menyembunyikan identitasnya? Mengapa Raivan tiba-tiba jatuh cinta padanya?
Hanya butuh satu detik bagi dunia seseorang untuk runtuh. Inilah yang terjadi dalam kasus Hannah. Selama empat tahun, dia memberikan segalanya pada suaminya, tetapi suatu hari, pria itu berkata tanpa emosi ,"Ayo kita bercerai." Hannah menyadari bahwa semua usahanya di tahun-tahun sebelumnya sia-sia. Suaminya tidak pernah benar-benar peduli padanya. Saat dia masih memproses kata-kata mengejutkan itu, suara pria yang acuh tak acuh itu datang. "Berhentilah bersikap terkejut. Aku tidak pernah bilang aku mencintaimu. Hatiku selalu menjadi milik Eliana. Aku hanya menikahimu untuk menyingkirkan orang tuaku. Bodoh bagimu untuk berpikir sebaliknya." Hati Hannah hancur berkeping-keping saat dia menandatangani surat cerai, menandai berakhirnya masanya sebagai istri yang setia. Wanita kuat dalam dirinya segera muncul keluar. Pada saat itu, dia bersumpah untuk tidak pernah bergantung pada belas kasihan seorang pria. Auranya luar biasa saat dia memulai perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri dan mengatur takdirnya sendiri. Pada saat dia kembali, dia telah mengalami begitu banyak pertumbuhan dan sekarang benar-benar berbeda dari istri penurut yang pernah dikenal semua orang. "Apa yang kamu lakukan di sini, Hannah? Apakah ini trik terbarumu untuk menarik perhatianku?" Suami Hannah yang selalu sombong bertanya. Sebelum dia bisa membalas, seorang CEO yang mendominasi muncul entah dari mana dan menariknya ke pelukannya. Dia tersenyum padanya dan berkata dengan berani pada mantan suaminya, "Hanya sedikit perhatian, Tuan. Ini istriku tercinta. Menjauhlah!" Mantan suami Hannah tidak bisa memercayai telinganya. Dia pikir tidak ada pria yang akan menikahi mantan istrinya, tetapi wanita itu membuktikan bahwa dia salah. Dia kira wanita itu sama sekali tidak berarti. Sedikit yang dia tahu bahwa wanita itu meremehkan dirinya sendiri dan masih banyak lagi yang akan datang ....
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?